Senin, 04 Juni 2018

(Ngaji of the Day) Di Mana Sebaiknya Shalat Id Dilaksanakan, Masjid atau Lapangan?


Di Mana Sebaiknya Shalat Id Dilaksanakan, Masjid atau Lapangan?

Hari raya Idul Fitri atau Lebaran selalu menjadi momen bahagia bagi umat Islam. Ia kerap dikaitkan dengan momen kemenangan setelah mereka berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Pagi harinya mereka berduyun-duyun keluar rumah untuk menunaikan shalat id. Hal yang mirip juga terjadi pada Idul Adha atau hari raya qurban yang hukumnya juga sunnah muakkadah.

Dalam praktiknya, kita dapati sebagaian masyarakat menunaikan shalat id, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, di masjid dan sebagian lain melaksanakannya di lapangan terbuka. Manakah yang sebenarnya tempat yang lebih utama untuk melangsungkan ibadah tahunan tersebut, di lapangan atau di masjid?

Yang paling utama adalah yang paling banyak menampung jamaah. Apabila masjid dan tanah lapang yang tersedia sama luasnya maka shalat id di masjid lebih dianjurkan. Sebab, dengan shalat di masjid umat Islam tidak hanya mendapat pahala shalat tapi juga pahala hanya dengan berdiam diri di sana atau i’tikaf. (Al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î karya Musthafa al-Khan, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji, juz I, h. 225)

Imam Syafi’i berkata:

أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

”Jika masjid di suatu daerah luas (cukup menampung jamaah) maka shalatlah di masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menarik kesimpulan dari pernyataan tersebut bahwa illat (alasan hukum) apakah shalat di lapangan atau di masjid yang lebih utama adalah pada sejauhmana ia sanggup menjadi tempat masyarakat berkumpul. (Fathul Bâri, jilid 5, h. 283)

Begini pula kita menjelaskan hadits dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia yang sedang duduk di shaf-shaf mereka. Lantas beliau memberi nasihat, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan maka beliau memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa`i)

Masjid yang tidak ditempati shalat id pada zaman Rasulullah tak seluas yang kita kenal sekarang sebagai Masjid Nabawi. Lapangan terbuka dipilih karena lebih banyak menampung jamaah yang hendak merayakan shalat id.

Seperti diketahui, Rasulullah memerintahkan setiap umat Islam yang tanpa halangan untuk keluar rumah, bahkan termasuk perempuan haid. Hanya saja perempuan yang sedang menstruasi tak dianjurkan bergabung dengan mereka yang akan shalat, melainkan mengambil tempat tersendiri (lihat hadits riwayat Imam Bukhari Nomor 928).

Dengan demikian, bila masjid di suatu daerah memang sempit, serambi dan halamannya pun kurang memadai untuk menampung jamaah shalat id masyarakat setempat, maka shalat di lapangan adalah lebih baik. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, maka masjid adalah lokasi terbaik untuk shalat id. Wallâhu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar