Tradisi Sungkeman saat
Lebaran Menurut Hukum Islam
Lebaran adalah momen untuk saling memaafkan,
bersilaturrahim dengan sanak famili, handai taulan, rekan-rekan dan segenap
orang yang kita kenal. Salah satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan saat
mengisi hari-hari lebaran adalah sungkem. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh
anak ke hadapan orang tua atau keluarga yang lebih tua (pinisepuh) untuk
menunjukkan tanda bakti dan rasa terima kasih atas bimbingan dari lahir sampai
dewasa. Sungkem dilakukan dengan jongkok sambil cium tangan. Sebagian kalangan
mengganggap bahwa tradisi tersebut dilarang dan tidak sejalan dengan ajaran
Nabi. Benarkah anggapan demikian?
Dalam menghukumi sungkeman, setidaknya bisa
ditinjau dari dua sisi. Pertama, hukum asal. Kedua, dari sudut pandang tradisi.
Dilihat dari sudut pandang hukum asal,
sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Posisi jongkok sambil
cium tangan merupakan ekspresi memuliakan orang yang lebih tua. Syariat tidak
melarang mengagungkan manusia selama tidak dilakukan dengan gerakan yang
menyerupai bentuk takzim kepada Allah, seperti sujud dan ruku’.
Berkaitan dengan mencium tangan orang yang
lebih tua, al-Imam al-Nawawi mengatakan:
ولا
يكره تقبيل اليد لزهد وعلم وكبر سن
“Tidak makruh mencium tangan karena
kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua.” (al-Imam al-Nawawi, Raudlah
al-Thalibin, juz 10, halaman 233)
Bahkan, sebagian ekspresi takzim kepada
orang yang lebih tua hukumnya sunah, seperti dilakukan dengan cara berdiri
dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
ويسن
القيام لمن فيه فضيلة ظاهرة من نحو صلاح أو علم أو ولادة أو ولاية مصحوبة بصيانة
“Sunah bediri untuk orang yang memiliki
keutamaan yang tampak, seperti kesalehan, keilmuan, hubungan melahirkan atau
kekuasaan yang dibarengi dengan penjagaan diri.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath
al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 4, halaman 219)
Mengomentari redaksi di atas, Syekh Abu Bakr
bin Syata mengatakan:
قوله: ويسن القيام لمن فيه فضيلة ظاهرة) أي إكراما وبرا وإحتراما
له لا رياء. (وقوله: أو
ولادة) أي ويسن القيام لمن له ولادة: كأب أو أم. (وقوله: أو ولاية) أي ولاية حكم:
كأمير وقاض.
“Ungkapan ‘Sunah bediri untuk orang yang
memiliki keutamaan yang tampak’—maksudnya, dengan motivasi memuliakan dan
bentuk kebaktian, bukan karena pamer. Ucapan ‘atau hubungan
melahirkan’—maksudnya, sunah berdiri kepada orang yang melahirkan seperti bapak
atau ibu.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 4,
halaman 219)
Lebih dari itu, menurut sebagian ulama,
memuliakan kerabat dengan cara berdiri, hukumnya bisa wajib ketika
meninggalkannya dianggap memutus tali silaturahim.
Syekh al-Qalyubi mengatakan:
ويندب
تقبيل طفل ولو لغير شفقة ووجه ميت لنحو صلاح ويد نحو عالم وصالح وصديق وشريف لأجل
غنى ونحوه والقيام لهم كذلك وبحث بعضهم وجوب ذلك في هذه الأزمنة ؛ لأن تركه صار
قطيعة
“Sunah mencium anak kecil meski karena selain
tujuan mengasihi, sunah pula mencium wajahnya mayit karena kesalehannya, sunah
pula mencium tangan orang alim, orang shaleh, kerabat, orang mulia, bukan
karena kekayaannya atau yang lain. Hukum sunah tersebut juga berlaku dalam
permasalahan berdiri kepada mereka. Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri
(memuliakan) pada masa sekarang, karena meninggalkannya merupakan bentuk
perbuatan yang memutus tali shilaturrahim.” (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah
al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 3, halaman 214)
Bila melihat dari sudut pandang tradisi, sungkeman
merupakan tradisi nenek moyang kita yang perlu dilesatarikan. Sebab, Islam
mengajarkan untuk merawat tradisi selama tidak bertentangan dengan agama. Hal
tersebut sebagai bentuk pengejawentahan dari sabda Nabi tentang berbudi pekerti
yang baik kepada sesama. Nabi bersabda:
وخالق
الناس بخلق حسن
“Berbudilah dengan akhlak yang baik kepada
manusia.” (HR. Al-Tirmidzi)
Saat ditanya apa yang dimaksud dengan etika
yang baik, Sayyidina Ali mengatakan:
هو
موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“Beretika yang baik adalah mengikuti tradisi
dalam segala hal selama bukan kemaksiatan.” (Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh
Sullam al-Taufiq, halaman 61)
Al-Imam al-Ghazali mengatakan:
وحسن
الخلق مع الناس ألا تحمل الناس على مراد نفسك، بل تحمل نفسك على مرادهم ما لم
يخالفوا الشرع
“Beretika yang baik dengan manusia adalah
engkau tidak menuntut mereka sesuai kehendakmu, namun hendaknya engkau
menyesuaikan dirimu sesuai kehendak mereka selama tidak bertentangan dengan
syari’at.” (Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad, halaman 12)
Meninggalkan tradisi yang tidak haram
merupakan akhlak yang tidak terpuji, sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Muflih
berikut ini:
لا
ينبغي الخروج من عادات الناس إلا في الحرام
“Tidak sepantasnya keluar dari tradisi
manusia kecuali dalam perkara haram.” (Ibnu Muflih, al-Adab al-Syar’iyyah,
juz 2, halaman 114)
Simpulannya, sungkeman bukan merupakan
tradisi yang haram, bahkan menjaga tradisi tersebut merupakan bentuk pengamalan
dari sabda Nabi tentang anjuran beretika yang baik kepada sesama. Demikianlah
semoga bermanfaat. Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar