KH Achmad Shaleh
Binaspa, Potret Keteladanan Ulama Lokal
Seperti kampung
Bawean, Gresik, Jawa Timur lainnya, Burne-Binaspa pada masa awal abad 20
tradisi mistik masih sangat kental dan kuat, sementara kesadaran keagamaan
masih rendah. Kejadian-kejadian di masyarakat kerap dilihat dari sudut pandang
mistik dari pada sudung pandang ilmu pengetahuan dan agama. Sementara kegiatan
keagamaan yang hidup pun lebih banyak diikuti karena alasan trasidi dan
peninggalan nenek moyang dari pada mengerti alasan dan dalil syar’inya.
Hal ini bisa dipahami
sebab orang yang mumpuni dalam bidang agama masih sangat minim.Hanya satu dua
orang yang terdidik dan cukup menguasai ilmu agama. Minimnya lembaga agama dan
pendidikan di Binaspa berjalan cukup lama hingga seperempat awal abad 20 yakni
sekitar tahun 60-70an. Termasuk minimnya orang yang menuntut ilmu agama (tafaqquh
fiddin) ke luar daerah seperti ke Jawa juga masih sangat minin-untuk
mengatakan tidak ada.
Dalam situasi dan
kondisi daerah yang minim orang terdidik, apa lagi di daerah pedalaman seperti
Binaspa maka dirasa wajar jika hanya segilintir orang saja yang paham ilmu
agama. Sebab kala itu, masyarakat lebih berfokus pada penghidupan dari pada
pendidikan.
Masyarakat lebih
konsentrasi pada urusan pencaharian dan keletarian mata pencaharian dari pada
urusan agama dan dakwah. Di antara segelintir orang tersebut adalah KH Achmad
Sholeh, kiai yang cukup disegani dan berpengaruh di daerah Binaspa. Beliau
adalah salah satu menantu dari Kiai Badri, termasuk seorang tokoh syiar Islam
di Binaspa yang cukup berhasil.
Membincang Kiai
Sholeh, masih cukup relevan mengingat jasa dan keteladan beliau yang sangat
kuat di kawasan Binaspa dan sekitarnya. Keteladan beliau masih sangat relevan
untuk diterapkan oleh generasi saat ini sebagai bekal hidup dan berdakwah.Kiai
Soleh, demikian namanya popular, dilahirkan di Sumber Torak, Sidogedungbatu,
Sangkapura pada tahun 40an, wafat pada 2009 lalu.
Makam beliau ada
dipemakaman umum Panyalpangan, sebelah utara Burne. Kiai Sholeh adalah salah
satu putera dari pasangan Siti Num dengan Mis’ab Sumber Torak. Mis’ab adalah
salah satu tokoh masyarakat Sumber Torak yang juga mendidik santri di
kampungnya.Mushalla peninggalannya masih ada sampai sekarang.
Kiai Mis’ab, orang
tua Kiai Soleh, adalah teman dekat Kiai Hamid Pancor, tokoh yang cukup
berpengaruh di Bawean. Sama dengan Kiai Badri, yang diceritakan sebelunya, juga
teman akrab Kiai Hamid. Yang mana kelak Kiai Badri menjadi mertua Kiai Sholeh
atas permintaan Kiai Hamid.
Orang tua dan mertua
Kiai Sholeh sebenarnya sama-sama jaringan Kiai Hamid Pancor. Saking dekatnya,
saat pernikahannya, Kiai Sholeh diantar dari dalem Kiai Hamid. Hal ini pertanda
betapa Kiai Hamid dengan Kiai Mis’ab dan kiai Badri cukup dekat baik secara
emosional maupun kultural.
Konon, sebelum Kiai
Badri mengawinkan Aisyah (istri Kiai Sholeh), sempat bingung mencarikan calon
suami buat anaknya yang satu itu, yang cukup dibanggakan karena akhlak dan
ibadahnya yang baik dan tekun, perempuan yang langka pada masanya. Akhirnya
suatu saat dipersuntingkan dengan santrinya sendiri yaitu Kiai Sholeh dengan
anjuran Kiai Hamid.
Sebelum dikawinkan,
Kiai Hamid Pancor sempat melihat (menengok) calon istri Sholeh. Menurut cerita,
saat Kiai Hamid melihat Aisyah, bilau mengatakan “begus-begus, shalehah,
cocok-cocok”... artinya bagus, cocok dijadikan istri Sholeh, insyaallah
barokah, sakinah mawaddah warahmah. Perkataan beliau tersebut pertanda setuju
dan mengiyakan dilanjutknnya pernikahan. Persetujuan Kiai Hamid, yang katanya
orang Bawean adalah wali Allah, adalah nilai plus tersendiri bagi Kiai Sholeh.
Saat pernikahan
digelar, sebagaimana tradisi Bawean yang berlaku, si mempelai putera diantarkan
ke rumah mempelai perempuan. Saking dekatnya antara Kiai Hamid dengan Kiyai
Shaleh yang dinggap santrinya sendiri, beliau (Kiai Hamid) sendirilah yang
mengiringinya dan bahkan membawa payung untuk mempelai putera (Kiai sholeh)
menuju rumah mempelai puteri di kampung Burne.
Bahkan pemberangkatannya
mempelai putera bukan dari Sumber Torak (rumah Sholeh), tapi dari Pancor, dalem
Kiai Hamid. Sebuah kebanggan tersendiri buat Sholeh, sebab tidak semua santri
yang dapat pelayanan demikian dari Kiai Hamid, kiai yang terkenal karamoh
dan keberaniannya.
Menurut penuturan
Basori Alwi, putera Kiai Sholeh, saat mempelai putera (Sholeh) sampai di Burne
bersama Kiai Hamid, tiba-tiba Kiai Hamid menepuk-nepukkan tangggannya ke tanah
Burne sambil mengatakan “Sholeh….!!! Tempat kamu di sini, kamu cocok tinggal di
sini, kamu tidak akan meninggal dunia sebelum kamu naik haji ke
baituulah.”
Setelah berselang
beberapa tahun kemuida, apa yang dikatakan Kiai Hamid menjadi kenyataan, Burne
dibawah bimbingan Kiai Sholeh makin maju dan baik utamanya dari segi pendidikan
dan keagamaan. Dan fakta berikutnya, beliau baru meninggal dunia seteleh
melaksanakan ibdah haji.
Kiai sholeh sendiri
sadar dan pernah mengatakan saat akhir hayatnya, setelah beliau datang dari
Mekkah, mengatakan bahwa dirinya sudah tidak lama lagi akan dipanggil kehadirat
ilahi. Sambil mengingat dawu Kiai Hamid yang dahulu kala pernah mengatakan
bahwa dirinya tidak akan meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah haji.
Setelah menunaikan haji, bagi Kiai Sholeh kematian sudah dekat.
Sekalipun bukan santri
langsung yang ngaji ke Kiai Hamid, Kiai Sholeh termasuk orang kesayangan Kiai
Hamid.Tidak heran jika beliau terus dikawal oleh Kiai Hamid sampai ke jenjeng
pernikahan. Sebagaimana adat yang sudah berlangsung lama di Bawean, saat
diselenggarakan selamatan/walimah ursy, ada panitia yang membawa kotak untuk
menarik sumbangan berupa uang seikhlasnya dari para undangan.
Saat panitia
menyuguhkan kotak sumbangan, undangan tidak banyak yang memberi uang/ mengisi
kotak terebut. Hanya satu dua orang yang tampak memberinya. Namun pada saat
itu, Kiai Hamid, langsung mengepakkan dan menjulurkan sorbannya ke para
undangan, tiba-tiba dan seakan otomatis, para undangan langsung memberi
sumbangan. Konon, menurut kesaksian undangan, hampir semua undangan memberikan
sumbangan.Hal tersebut merupakan salah satu kekaramahan Kiai Hamid menurut
penuturan masyarakat.
Lebih lanjut, dengan
pernikahannya bersama Aisyah, Kiai Sholeh dikaruniai tiga putera yaitu Bashori
Alwi, Maliha dan Sulaikha.Sejak pernikahannya bersama Aisyah, Kiai Sholeh
tinggal di kampung Burne hingga akhir hanyatnya.Beliau dengan sabar dan
istikamah mendidik dan membina santri dan siswa di madrasah dan langgar dari
berbagai daerah.
Siang mengajar di
lembaga, dan malamnya mengajar santri di Langgar. Di Burne, dis sela-sela
kesibukannya bertani dan beternak, seperti kegiatan masyarakat yang lain, Kiai
Sholeh tetap setia mendampingi santrinya siang dan malam mengajarkan ilmu
agama.
Sholeh muda,sama
seperti anak-anak lainnya suka bergaul dan bermain layakknya orang Bawean yang
lain. Menurut cerita beliau tidak terlalu cerdas, namun beliau tekun dan tabah
dalam belajar sehingga walaupun tidak cerdas secara kognitif akhirnya beliau
menjadi orang alim.
Sebelum melanjutkan
pendidikannya ke Jawa, Sholeh nagji/nyantri ke Kiai Badri, yang kelak menjadi
mertuanya sendiri. Kepada Kiai Badri beliau belajar al-Quran, ilmu fiqh
dan ilmu agama lainnya. Selepas belajar dari kiyai Badri Burne, Sholeh muda
kemudian melanjutkan beajarnya ke Kiai Hatmin Laccar, desa Kebuntelukdalam,
Kiai yang terkenal alim dan taadlu’.
Di Laccar, Sholeh
punya kesempatan medalami Quran dan ilmu agama lebih mendalam. Sebab di
sanaSholeh tidak hanya ngaji malam hari seperti halnya di Burne, tapi mondok,
menetap di asrama pondok, pulang kampung setelah libur pondok. Oleh karenanya
Sholeh bisa lebih focus belajar ke Kiai Hatmin, yang kolega Kiai Umar, Kiai
Usman dan Kiai Hamid Pancor. Namun Kiai Hatmin tidak dikauniai putera.Sehingga
setelah beliah wafat tidak ada generasi yang melanjutkan pondokya di Laccar.
Setelah beberapa
tahun modok di Laccar, Sholeh kemudian merantau ke Sengkep, Kepulauan Riau,
daerah kawasan Pulau Tanjung Pinang. Di sana beliau bekerja layaknya orang Bawean
yang lain. Sengkep termasuk salah satu tujuan orang Bawean mencari nafkah,
selain ke Singapura dan Malaysia. Namun tidak lama kemudian setelah dari
Sengkep, Sholeh kemudian melanjutkan belajarnya ke Jawa, yaitu Wonorejo,
Luamajang Jawa Timur.
Di sana Sholeh
belajar ke Kiai Syarifuddin, kayai yang terkenal alim dan melahirkan banyak
kiai baik di Jaa maupun di Bawean. Kebanyakan orang Bawean yang mondok di sana,
setelah pulang ke masyarakat menjadi tokoh masyarakat, seperti Kiai Muhammad
Yusuf Telukdalam yang kemudian mendirikan pondok Lao’an, Kiai Suyuthi Guntung,
dan lain-lain. Saat ini pondok Wonorejo di berinama sesuai nama pendirinya
yaitu Pesantren Kiai Syarifuddin, untuk mengabadikan nama Kiai Syarifuddin
sebagai perintis dan pendiri pesantren. Saat ini pondok tersebut diasuh oleh
puteranya yang bernama KH Adnan.
Mengabdi kepada
Masyarakat
Selepas dari
Lumajang, Kiai Sholeh akhirnya mengabdikan dirinya di masyarakat, khususnya di
Burne-Bisanpa bersama istrinya Aisyah sebagaimana diceriatakan sebelumnya untuk
menyebarkan syiar agama Islam sebagaimana para pendahulunya. Awal mula Kiai
Sholeh tinggal di Burne, Burne tidak seramai saat ini. Hanya ada satu dua rumah
di sana, begitu pula dengan santri yang ngaji.
Jumlahnya tidak
sebanyak waktu beliau menjadi pengasuh.Santri yang mengaji ke beliau
diperkirakan mencapai 60-sampai 100an. Jumlah yang cukup banyak untuk kalangan
pedalaman, pegunungan, termasuk kawasan Bawean secara umum.Sebab kiyai-kiyai
kampung yang ngajar ngaji paling tidak santrinya hanya berkisar tidak lebih
dari 30 kala itu.
Bahkan saat
kepemimpinan beliau di Burne, Kiai Sholeh sempat mendirikan pondok pesantren
karena banyaknya wali santri yang meminta beliau untuk memondokkan anaknya,
tidak hanya ngaji mosengan (malam hari) saja tapi juga mondok (full day).Di
tengah kesibukannya sebagai kiyai yang tugas kesehariannya sebagai guru dan
pengayom masyarakat, beliau juga selalu menyempatkan diri mengahadiri undangan
masyarakat dan mengisi pengajian di berbagai tempat.
Mulai dari undangan
hari besar Islam seperti Isra’ mi’raj, maulid nabi, hari raya sampai hajatan
masyarakat seperti selamatan sunatan, mau mondok, walimah ursy, tahilalan dan
sebagainya. Bahkan menurut pengakuan salah satu santrinya, Hasiwi, kini jadi
tokoh masyarakat Panyalpangan, dia (Hasiwi) dapat menghafal surat Yasin bukan
karena sengaja menghafal, tapi karena seringnya diajak kai ikut mengahadiri
selamatan yang diadakan masyarakat yang di dalamnya selalu dibaca surat Yasin.
Di samping itu,
beliau juga sabar melayani setiap tamu yang datang untuk meminta petunjuk atas
masalah yang dihadapinya. Mulai dari urusan lembaga pendidikan, keagamaan dan
kemasyarakatan sampai urusan yang sangat pribadi, seperti mau merantau ke luar
negeri, masalah kesehatan, penyakit yang menjangkitnya,urusan kanuragan, jodoh
dan lain sebagainya.
Banyaknya tamu,
undangan, santri yang ngaji menandakan betapa kepercayaan masyarakat begitu
tinggi kepada baliau, hingga tidak heran jika pesan, patuah-patuah, dan
dawuh-dawuh beliau masih kuat mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebagian
besar masyarakat Burne-Binaspa dan sekitarnya (Panyalpangan, Somber Torak,
Kajubulu Rampak) setia mengikuti apa yang menjadi perintahnya.
Jika ada masalah
tertentu yang dihadapi masyarakat, beliau selalu menjadi rujukan utama. Jika
beliau melarangnya, masyarakat pun setia menaatinya, begitu pun sebaliknya.
Artinya masyarakat tidak berani melangkah sebelum ada petunjuk yang jelas dari
beliau.
Berkat kegigihannya
dalam berdakwah, baik dakwah bil lisan (dengan ucapan) dan bil hal
(dengan tindakan), kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan ilmu
pengetahuan pun meningkat. Hal itu terbukti dengan banyaknya santri yang ngaji
ke Kiai Sholeh, yang melanjutkan ke jenjang pendidikanm yang lebih tinggi, baik
melanjutkan di daerah Bawean atau ke Jawa.
Dimana pemandangan
tersebut sangat jarang sebelum beliau menekuni lembaga pendidikan di Burne.
Dengan banyaknya santri yang ngaji dan melanjutkan ke luar kampung, di
Binaspa-Panyalpangan tidak lagi mengalami kesulitan mencari orang ahli di
bidang agama.Bahkan banyak alumninya yang sudah menjadi ustadz, guru ngaji yang
mendirikan langgar di kampungnya masing-masing, mushalla pun menjamur di
berbagai tempat.
Terkenal Sakti
Pada paruh awal abad
20 banyak kiyai di Bawean yang terkenal sakti. Banyak kesaksian masyarakat
yang menyaksikan kesaktian kiyai. Bukan hanya kiyai tapi juga tokoh atau
pendekar-pendekar pencak silat, tidak terkecuali Kiai Sholeh. Pernah suatu
ketika di Burne ada hujan lebat bersama angin yang sangat kencang, orang-orang
sekitar merasa sangat ketakutan dan khawatir akan terjadi bencana dan musibah
yang tidak diinginkan, tidak lama kemudian Kiai Sholeh dengan bacaan takbir
serta mengibaskan tserbannya ke atas, angin pun hilang seketika. Orang-orang
disekitarnya pun terheran-heran menyaksikan kejadian tersebut.
Dalam kesaksian yang
lain, konon suatu ketika ada kejadian di daerah Bawean, ada sebuah mobil yang
jatuh ke jurang. Masyarakat pun sibuk bergotong-royong mencoba mengangkat mobil
tersebut dari jurang dengan berbagai cara. Segala usaha pun sudah dilakukan,
namun usaha mereka tidak membuahkan hasil yang memuaskan, hingga pada akhirnya
tinggallah Kiai Sholeh.Sebagian masyarakat yang menjadi saksi kala itu, meminta
beliau untuk mengangkat mobil yang jatuh ke jurang tersebut.
Akhirnya, berkat
pertolongan Allah swt dengan hanya bermodalkan tangannya sendiri beliau mampu
mengangkat mobil tersebut dari jurang tanpa bantuan orang lain. Masyarakat yang
menyksikan kejadian tersebut pun terheran-heran dan makin percaya akankehebatan
Kiyai sholeh.
Sementara dalam
kesaksian yang lain, Kiai Sholeh pernah dicari polisi karena kejadian tertentu,
lalu dengan bacaan mantra beliau menghilang seketikadan tidak terlihat oleh
siapa pun termasuk polisi yang sedang mencarinya. Kerena orang yang dicari
sudah tidak ada kemana rimbanya, polisi yang mencarinya pun dengan kecewa pergi
tanpa hasil.Beliau mengatakan bahwa ilmu semacam itu bisa dipelajari, ada
bacaannya dan bukan pertanda orang yang bisa melakukan hal tersebut dekat
dengan Allah.
Beberapa kejadian
aneh di laur nalar kebanyak orang, kerap terjadi di masyarakat Bawean kala itu.
Hal itu bisa dipahami, mengingat kultur masyarakat yang masih kental dengan
budaya mistik dan trasional. Di samping itu persoalan yang terjadi di masyakat
tidak selalu bisa diselasaikan dengan ilmu pengetahuan (ilmiah).
Kadang bahkan sering
kali harus menggunakan kekuatan supra rasional, kekuatan fisik, sebab tantangan
dakwah pun selalu berbenturan dengan kekautan yang sifatnya supra natural.
Sehingga seorang da’i, tokoh masyarakat perlu menguasai dan membekali dirinya
dengan ilmu tersebut agar dakwahnya lebih efektif dan mudah diterima oleh
masyarakat.
Santun dan tak pernah
menyinggung perasaan
Kesan yang sangat
kuat terasa dibenak masyarakat, salah satunya adalah beliau terkenal santun dan
lemah lembut baik dalam berucap maupun bertindak. Beliau sangat santun baik
terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat. Santun dan lembut bukan
berarti lemah, beliau sangat tegas dalam urusan agama dan ibadah. Beliau punya
komitmen yang tinggi dalam urusan menjalankan perintah dan menjauhi larangan
agama.
Disamping itu, dalam
berdakwah tabligh (menyampaikan pesan) kepada masyarakat beliau tidak
pernah menyinggung hati dan perasaan orang lain. Beliau sangat hati-hati dalam
pemilihan kosa kata, kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan pesan (mauidzah
hasanah) kepada masyarakat sehingga masyarakat menerimanya dengan legowo,
menerima dengan lapang dada.
Sekalipun beliau tahu
persis persoalan dan sumber masalah yang terjadi di masyarakat, jika berkenaan
dengan perasaan orang lain, beliau selalu menyampaikan dengan kata-kata yang
sopan dan santun tidak menyakiti hati orang di sekelilingnya.
Sebuh teladan yang
sangat berarti dan layak kita jadikan contoh, namun berat melaksanakannya
kecuali bagi mereka yang memiliki pikiran yang jernih dan hati yang
bersih.Tidak heran jika beliau diterima banyak kalangan, mulai dari kalangan
masyarakat paling bawah hingga masyarakat professional.Tidak heran setelah
beliau tiada masyarakat merasa sangat kehilangan yang belitu mendalam atas
kepergiannya.
Pesan yang selalu
belaiu sampaikan kepada masyarakat adalah shalat lima waktu, yakni pentingnya
menjaga shalat wajib. Sesibuk apa pun, kata beliau kita jangan sampai
meninggalkan shalat. Kalau bisa sebaiknya shalat dengan berjamaah di awal
waktu. Sebab shalat adalah kunci kemakmuran, keberhasilan dan kesuksesan
seseorang baik secara individu maupun secara kolektif (bersama-sama), baik di
dunia maupun di akhirat.
Beliau dalam
menyampaikan urusan agama tidak selalu memperberat masyarakat, maksudnya tidak
menyuguhkan pesoalan agama yang sifatnya khilafiyah, yang banyak
membingungkan dan mempersulit masyarakat. Tapi beliau lebih memilih yang
sekiranya mudah dipahami dan dikerjakan masyarkat tapi tidak memudah-mudahkan
apa lagi mengentengka urusan agama.
Kesederhanaan dan
kebersahajaan beliau juga semakin menambah simpati masyarakat kepada beliau.
Beliau tidak pernah menampakkan kealiman kepada orang lain baik dari sisi
penampilan, tindakan maupun ucapan. Beliau selalu tampil sederhana dan
bersahaja apa adanya di tengah-tengah masyarakat. Bahkan beliau dikenal selalu
mengalah jika ada masalah di masyarakat, tidak maunya dan menang sendiri.
Ketawadhu’an dan kelembuatan Kiai Sholeh dalam bertutur menjadi kesan
tersendiri di hati masyarakat.
Dalam berdakwah di
masyarakat, Kiai Sholeh termasuk berhasil khususnya di daearah kawasan.
Keberhasilan dakwah beliau tidak lepas dari keistikamahan, kesabaran dan
ketelatenan beliau dalam membimbing santri dan masyarakat.
Di samping itu
dukungan dari keluraga, masyarakat, dan teman-teman sejawatnya tidak kalah
penting dalam keberhasilan syiar Islam beliau. Sehingga dengan kekuatan di
intenal diri beliau yang sudah mapan serta jaringan, hubungan baik dengan
koleganya membuat keberhasilan dakwahnyapun makin terasa di tengah-tengah
masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab. []
Ainul Yakin, asal
Bawean, saat ini aktif sebagai pengajar di Universitas Nurul Jadid Paiton
Probolinggo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar