Jumat, 08 Juni 2018

Peran Menag RI KH Masykur di Tengah Pemberontakan DI/TII


Peran Menag RI KH Masykur di Tengah Pemberontakan DI/TII

Saat kekuatan Jepang atas Indonesia mulai goyah, masa itu dimanfaatkan oleh Jepang untuk mendidik para pemuda tak lain untuk memperkuat tentara Jepang dalam menghadapi sekutu. Hal ini dimanfaatkan oleh NU melalui diplomatik KH Muhammad Hasyim Asy’ari untuk melatih para santri menjadi pemuda yang ahli dalam berperang yakni Laskar Hizbullah.

Di Malang, laskar yang tak lain adalah para santri itu bernama laskar Sabilillah yang dikomandoi langsung oleh pendiri PETA (Pembela Tanah Air) KH Masykur. Kiai yang tercatat terlibat langsung dalam perang Agresi Militer I di Surabaya dan perang gerilya pada Agresi Militer II tahun 1948-1949 ini aktif di berbagai organisasi sosial-politik. Kiai asal Singosari ini sering kali bersitegang dengan pemerintahan Jepang saat itu yang selalu menekan rakyat.

KH Masykur yang menjadi Syu Sangi-Kai (DPRD) saat itu, selalu mengkritik kebijakan penjajahan Jepang yang tidak bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat. Salah satunya dengan lantang KH Masykur menolak kebijakan Jepang yang sering kali mengambil paksa harta milik rakyat. Meski kedudukannya saat itu tidak memiliki hak untuk mengajukan pendapat, KH Masykur sebagai penasihat cukup berani dengan lantang menentang kebijakan Jepang yang menyengsarakan.

Sikap tegas KH Masykur ini terus terlihat hingga revolusi fisik berakhir dan Indonesia merdeka di bawah Presiden Soekarno. Tatkala menjadi Menteri Agama RI, KH Masykur berani mengambil langkah besar dengan memberi gelar Soekarno Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah (Kepala negara dalam bidang kenegaraan dan keagamaan).

Situasi pelik yang dihadapi Indonesia saat itu mengharuskan NU mempunyai sikap atas terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang ingin menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebagai negara Islam jelas mengancam Pancasila sebagai dasar negara.

Berlandasakan konflik tersebut, NU dengan para tokoh ulama melakukan konferensi di Cipanas yang dipimpin oleh KH Masykur yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama RI. Hasil konferensi tersebut menyepakati Soekarno sebagai pimpinan yang harus dipatuhi oleh umat Islam yang hidup di Indonesia. Soekarno diberi gelar “Waliyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah” untuk menguatkan legitimasi kekuasaan Soekarno di kalangan Muslim. []

Diana Manzila, aktivis Gusdurian Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar