Kiai Ali Mustafa Yaqub, Batang - Jawa Tengah
Kiai Ali Mustafa Yaqub merupakan sosok ulama
ternama yang baru beberapa tahun lalu meninggalkan kita. Kiprah beliau untuk
umat islam, khususnya di Indonesia, sangatlah besar. Dalam bidang keilmuan pun
tak dapat diragukan lagi, hadis adalah nafasnya, hingga beliau dikenal dengan
kedalaman ilmu haditsnya. Dengan demikian, marilah kita mengenal sosok ini.
Kelahiran
Kiai Ali Mustafa dilahirkan di Desa Kemiri,
Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah pada tanggal 2 Maret tahun 1952.
Beliau lahir dari pasangan KiaiYaqub dan Siti Habibah. Ali Mustafa adalah anak
kelima dari tujuh bersaudara. Keenam saudaranya adalah Ahmad Damanhuri, Lin
Maryuni, Ali Jufri, Sri Mukti, Moh. Zainul Muttaqin, dan Zahrotun Nisa. Kelak,
putra-putri Kiai Yaqub banyak yang menjadi tokoh dan ulama, baik lokal maupun
nasional.
Dari Kiai Yaqub inilah jiwa keulamaan
Ali Mustafa tumbuh berkembang, sebab ayahanda Ali Mustafa, selain berdagang dan
bertani, beliau juga mengemban tugas sebagai kiai masjid.
Adapun riwayat pendidikan ayahandanya, Kiai
Yaqub pernah nyantri di Desa Lebo, Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang
pada usia 17 tahun, tepatnya dari tahun 1925-1926 di bawah bimbingan Kiai
Masyhuri. Kemudian oleh Kiai Subari Subah diajak nyantri ke Desa
Banyutowo, Kabupaten Kendal, untuk ngaji pada Kiai Ahmad Nur Halim
selama dua tahun tepatnya 1926-1928.
Secara pendidikan, ayahanda Kiai Ali ini
memang bukan tokoh yang pernah mengenyam pendidikan yang tinggi. Meski begitu,
beliau memiliki tekad dan tirakat yang kuat untuk membekali putra-putrinya
dengan pendidikan formal maupun nonformal. Faktor ini pula yang menjadikan
anak-anaknya menjadi tokoh yang berpengaruh, begitu pun dengan Kiai Ali Mustafa
di kemudian hari.
Masa Kanak-kanak
Untuk memprediksi masa depan seseorang sejak
masa kecilnya sangatlah rumit. Tak jarang kita menemukan ulama besar, namun di
masa kecil ternyata nakalnya minta ampun, atau masa kecilnya penuh dengan riang
gembira yang sulit bagi kita untuk memprediksi bahwa dia akan menjadi seorang
tokoh. Lagi-lagi meski ini tidak mutlak, dalam artian banyak pula ulama besar
yang sejak kecilnya sudah diarahkan oleh Allah Swt kepada hal itu.
Ali Mustafa kecil, tak pernah terbersit dalam
dirinya bahwa dia kelak akan menjadi ulama kenamaan. Justru cita-cita beliau
sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi di masa yang akan datang.
Cita-cita Ali Mustafa kecil adalah menjadi seorang dokter.
Masa-masa itulah ketika beliau belum nyantri,
mengenal kitab kuning dan berbagai tradisi kepesantrenan, yang dominannya dia
lebih asyik dan masygul dengan dunia anak sebayanya.
Warna-warni masa kecil inilah di mana beliau
mengenal segala hal, dari mulai kegemaran hingga kecenderungan bermain. Ali
Mustafa kecil tak jauh berbeda dengan teman sebayanya, sering bermain, salah
satunya main mobil-mobilan.
Konon beliau sering bermain mobil-mobilan
dengan teman-temannya. Tentunya mobil mainan pada saat itu berbeda dengan
mobil-mobilan saat ini, yang mana dahulu kala anak-anak harus mendesain dan
membuatnya sendiri dengan cara yang tradisional.
Ali Mustafa kecil memulai pendidikannya di
sekolah rakyat (SR) yang tak jauh dari rumahnya, hanya dipisahkan oleh kebun
milik ayahnya. Selepas sekolah, biasanya beliau langsung shalat dzuhur dan
makan sejenak, kemudian keluar bersama temannya, si Ireng, untuk menggembala
kerbau. Tak jarang pula beliau bermain bersama adiknya, Zainul Muttaqin.
Ketika itu Ali Mustafa mempunyai dua tugas
dari ayah dan ibunya yang tidak boleh ditinggalkan. Pertama mencari pakan
kerbau.Itu adalah tugas dari ayahnya. Tugas yang kedua adalah dari ibunya,
yaitu mengambil air.
Ketika mengenyam pendidikan di sekolah
rakyat, Ali Mustafa kecil memang sudah menonjol sisi kepintarannya. Hal inilah
yang dianggap istimewa oleh adiknya, Zainul Muttaqin.
Keistimewaan lainnya adalah keberanian beliau
untuk dikhitan (disunat) semasa masih duduk di bangku SD. Umumnya anak-anak
masyarakat Desa Kemiri ketika itu di-khitan ketika sudah duduk di bangku
SMP.
Itulah kehidupan beliau pada masa
kanak-kanak, meski sama dengan teman sebayanya, beliau pun memiliki beberapa
keistimewaan yang membuatnya beda.
Kiai Ali Mustafa Yaqub merupakan sosok ulama
ternama yang meninggal dua tahun lalu. Kiprah beliau untuk umat islam,
khususnya di Indonesia sangatlah besar. Dalam bidang keilmuan pun tak dapat
diragukan lagi, hadis adalah nafasnya, hingga beliau dikenal dengan kedalaman
ilmu haditsnya.
Pendidikan Pesantren, dari Seblak ke
Tebuireng
Hampir ketujuh anak Kiai Yaqub nyantri
di pesantren Tebu Ireng, Jombang. Dari tujuh anaknya hanya dua yang tidak nyantri,
Lin Maryni, anak kedua karena memang telah wafat pada umur tujuh tahun, dan
Sri Mukti yang mengenyam pendidikan hanya sampai SD saja.
Pendidikan Kiai Ali Mustafa meliputi
Pesantren Seblak, Tebuireng, IKAHA, S1 dan S2 di Saudi Arabia, S3 di
Universitas Nizamia Hyderabad India.
Pesantren Salafiyah Syafiiyah Seblak adalah
tempat awal beliau nyantri, meski ketika SMP beliau pernah nyantri juga,
ibaratkan ketika itu hanya santri kalong.
Pesantren Seblak terletak di dusun Seblak,
Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Perlu diketahui pula bahwa pesantren ini
adalah perkembangan dari Pesantren Tebuireng. Sebab beliau memilih Seblak
karena kakanya, Ali Jufri, waktu itu masih nyantri sekaligus kuliah di
IKAHA (Insitut Keislaman Hasyim Asy’ari), tepatnya pada tahun 1966. Pasca
selesainya Ali Jufri kuliah di IKAHA, Ali Mustafa benar-benar harus hidup
mandiri di pondok.
Selama di Seblak, Ali Mustafa muda banyak
belajar dari Kiai Muhsin Jalaluddin Zuhdi, wakil pengasuh pesantren Seblak.
Petuah kiai Muhsin yang sangat terpatri dalam diri Ali Mustafa muda adalah,
“Jadilah kamu orang yang dibutuhkan oleh orang lain, janga jadi orang yang
membutuhkan orang lain.” Dengan pesan ini beliau berusaha menjadi seseorang
yang bermanfaat bagi orang lain dan tidak merepotkan orang lain.
Banyak hal yang diperoleh Ali Mustafa muda
saat nyantri di Seblak, di antaranya adalah ilmu alat, fikih, hadis, dan
ilmu lainnya. Kenangan ini banyak ia ceritakan pada santrinya.
Setelah selesai di Seblak, Ali Mustafa tak
langsung pulang, namun melanjutkan nyantri ke pesantren Tebuireng,
Jombang. Di sana beliau menempuh Madrasah Aliyah Syafiiyah Tebuireng selama
tiga tahun, mulai dari tahun 1969 hingga 1972.
Tidak hanya mondok, beliau pun melanjutkan
pendidikannya di Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng mulai dari dari 1972-1975.
Selain kuliah, beliau pun menekuni kitab-kitab kuning di bawah bimbingan kiai
sepuh..
Selama di Tebuireng ini Ali Mustafa banyak
bertemu dengan kiai-kiai hebat dan kharismatik, serta belajar pada mereka. Di
antara ulama-ulama hebat ini adalah, Kiai Idris Kamali, Kiai Adhlan Ali, Kiai
Shobari, Kiai Sansuri Badawi, dan Kiai Syuhada Syarif. Dan di antara mereka
yang paling berpengaruh dalam proses belajarnya adalah Kiai Idris Kamali.
Ali Mustafa sering menyebut dirinya dengan
'Tukang Pijit Kiai Idris'. Tatkala beliau ingin berguru pada Kiai Idris, Kiai
Idris bertanya kepada Ali Mustafa, “Siro mau apa? (Kamu mau apa?);
Namamu siapa? Hafalkan sepuluh kitab, ya.”
Seketika Ali Mustafa terdiam membisu
mendengar perintah ini, namun tetap ia jalankan. Sepuluh kitab itu adalah Matan
al-Jurumiyah, Matan al-Kailany, Nadzom al-Maqsud, Nadzom al-Imrithy,
al-Amtsilah Tasrifiyyah, Alfiyah, al-Baiquniyyah, dan al-Waraqat.
Setelah lulus, Ali Mustafa diminta untuk
mengabdi mengajar Bahasa Arab untuk santri tingkat Sekolah Persiapan (SP)
Tsanawiyah ketika itu. Beliau sangat andal dalam mengatur waktunya, tak ada
kata nganggur, setiap waktu selalu digunakan dengan hal yang bermanfaat.
Meluncur Nyantri S1 dan S2 di Arab
Saudi, dan Menyandang Gelar Doktor
Di usianya 24 tahun, Ali Mustafa mendapat
panggilan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Universitas Islam
Muhammad bin Saudh, Saudi Arabia. Beliau memperoleh pendidikan ini setelah
melalui jalur murosalah (korespondensi) atau pengajuan lamaran jarak
jauh via pos. Ali Mustafa menyelesaikan S1 dengan ijazah Licence pada tahun
1980.
Selepas pendidikan S1, beliau tak langsung
pulang ke tanah air. Jiwa haus akan ilmunya masih menggebu-gebu. Kiai Ali masih
ingin melanjutkan studinya di Arab Saudi. Akhirnya beliau melanjutkan studinya
di S2 Universitas King Saud, Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis,
sampai lulus dengan mendapat ijazah Master pada tahun 1985.
Ketika pascasarjana inilah beliau bertemu
dengan salah satu guru besarnya, Syaikh Mustafa Azami. Syaikh Mustafa Azami
adalah ulama hadis kontemporer ternama di kancah internasional, lahir di India
pada tahun 1932.
Tahun 1985, Kiai Ali Mustafa pulang ke
Indonesia dan mengakhiri studinya, namun jiwa menuntut ilmunya belum surut
juga, akhirnya berkat saran gurunya, Syaikh Hasan Hitou, beliau pun melanjutkan
studi doktoralnya di Universitas Nizamia, Hyderabad, India, pada tahun 2005.
Studi ini tidak bersifat resindensial atau belajar di kampus, namun melalui
komunikasi jarak jauh.
Studi ini rampung setelah beliau menulis
disertasinya yang berjudul Ma’âyir al-Halâl wa al-Harâm fî Ath’imah wal
Asyribah wal Adawiyah wal Mustahdharat at-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitâb wa
al-Sunnah (Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran
dan Hadis).
Disertasi ini diujikan di Indonesia. Karena
kesibukan Kiai Ali adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, maka disertasi pun
diujikan di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Disertasi sidang dipimpin langsung oleh Prof.
Dr. Muhammad Hasan Hitou, ilmuan Suriah, sekaligus Guru Besar Fikih dan Ilmu
Ushul Fikih dari Universitas Kuwait dan Direktur ilmu-ilmu keislaman Frankfurt
Jerman.
Sedangkan dewan penguji terdiri dari Prof Dr
Taufiq Ramadhan al-Buuthi, Guru Besar dan Ketua Jurusan Fikih dan Ushul Fikih
Universitas Damaskus Suriah; Prof Dr Mohammed Khaja Syarief M. Shihabuddin,
Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad India; Prof.
Dr. M. Saifullah Mohammed Afsafullah, Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab
Universitas Nizamia Hyderabad India.
Gelar doktor tak menyurutkan dahaga beliau
dalam menuntut ilmu, maka beliau memiliki semboyan hidup “Nahnu
Thullabul’Ilmi Ila Yaumil Qiyamah” (Kami adalah penuntut ilmu hingga hari
kiamat).
Khidmah dengan Berdakwah
Kiai Ali Mustafa sangat telaten dalam
berdakwah, mengkhidmahkan diri untuk umat. Bahkan ketika masih di Saudi Arabia,
beliau pernah berkeinginan untuk berdakwah di tanah Papua jika sudah pulang
nanti, meskipun impian ini tidak terealisasikan karena beberapa sebab.
Pemikiran kiai Ali Mustafa
Kiai Ali sangat diterima hampir di setiap
kalangan. Kita dapat membaca dari pendidikan beliau sejak kecil, dengan corak
ke-NUanya yang begitu kental. Meskipun beliau mengenyam sembilan tahun di Arab
Saudi, beliau tidak pernah terpengaruh sama sekali dengan pemikiran
Salafi-Wahabi.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. KH. Ali Yafie,
“Meskipun tercatat sebagai salah seorang alumnus Timur Tengah, yang sering
diklaim jumud (keras), statis, dan cenderung agak keras dalam menyikapi
berbagai fenomena keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap
keras.”
Ulama yang Produktif
Dilihat dari beberapa buku yang beliau tulis,
dapat dihitung bahwa Kiai Ali Mustafa termasuk ulama yang produktif. Beliau
memiliki motivasi untuk selalu berkarya. Santrinya sangat beliau anjurkan untuk
menulis, maka tak salah wejangan beliau sangat akrab sekali di telinga para
santrinya, yaitu “Wa laa tamutunna illa wa antum muslimun” (Janganlah kalian
mati kecuali menjadi penulis).
Hingga akhir hayatnya Kiai Ali telah menulis
49 buku, namun ada juga buku terakhir yang terbit pascawafatnya beliau, hasil
transkip dari ceramah-ceramahnya, jadilah jumlah buku itu berjumlah 50 buku.
Berikut judul-judl buku yang ditulis Kiai Ali
Mustafa:
1.
Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih
bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986)
2.
Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan
Penghafal Quran (1990)
3.
Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik
dalam Ilmu Hadits (1991)
4.
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
(Alih bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, 1994)
5.
Kritik Hadis (1995)
6.
Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan
Masyarakat (Alih Bahasa dari Muhammad Jamil Zainu, terbit di Saudi Arabia, 1418
H)
7.
Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)
8.
Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum
Islam (1999)
9.
Kerukunan Umat dalam Perspektif
al-Quran dan Hadis (2000)
10. Islam
Masa Kini (2001)
11. Kemusyrikan
Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman al-Khumays,
2001)
12. Aqidah
Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Prof. Dr.
Abd. Al-Rahman al-Khumays, 2001)
13. Fatwa-fatwa
Kontemporer (2002)
14. MM
Azami Pembela Eksitensi Hadis (Karya Bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gius Dur),
dkk, 2002)
15. Pengajian
Ramadhan Kiai Duladi (2003)
16. Hadis-hadis
Bermasalah (2003)
17. Hadis-hadis
Palsu Seputar Ramadha (2003)
18. Nikah
Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan Hadis (2005)
19. Imam
Perempuan (2006)
20. Haji
Pengabdi Setan (2006)
21. Fatwa
Imam Besar Masjid Istiqlal (2007)
22. Pantun
Syariah ‘Ada Bawal Kok Pilih Tiram’ (2008)
23. Toleransi
Antar Umat Beragama (Bahasa Arab dan Indonesia, 2008)
24. Kriteria
Halal dan Haram untuk Pangan, Obat, Kosmetika dalam Perspektif al-Quran dan
Hadis (2009)
25. Mewaspadai
Provokator Haji (2009)
26. Islam
di Amerika (2009)
27. Islam
Between War and Peace (Bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia, 2009)
28. Kidung
Bilik Pesantren (2009)
29. Ma’âyir
al-Halâl wa al-Harâm fî Ath’imah wal Asyribah wal Adawiyah wal Mustahdharat
at-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah (2010)
30. Kiblat,
antara Bangunan dan Arah Kabah (Dalam Bahasa Arab dan Indonesia, 2010)
Masih ada 20 buku lagi yang tak dapat kami
cantumkan di sini.
Kewafatan
Kamis, 24 April 2016 menjadi hari yang
mengundang kesedihan, perginya salah satu ulama Nusantara yang banyak bergulat
di bidang hadis. Kewafatan beliau seperti tak ada tanda-tanda sebelumnya.
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang
pengurus masjid Agung Sunda Kelapa, bahwa pada malam Jumat, 28 April 2016 Kiai
Ali Mustafa akan mengisi jadwal kajian rutin Arbain Nawawi di Masjid Sunda
Kelapa.
Rabu sore, sehari sebelum kewafatannya pun
beliau masih sempat menerima telepon untuk mengkonfirmasi apakah bisa mengisi
kajian tersebut atau tidak. Beliau menjawab dengan suara lemah diselingi batuk,
jika badan sehat maka bisa, namun kalau batuk belum juga reda, maka terpaksa
diliburkan.
Jika melihat pada tahun sebelum tahun
kewafatan Kiai Ali Mustafa, beliau pernah berbicara ketika di atas panggung
saat berlangsungnya haflah takhorruj (wisuda) Darus-Sunnah ke-13,
tepatnya tanggal 6 Juni 2015.
“Rasulullah wafat umur 63 Tahun, kami sudah
umur 64 tahun,” ungkap Kiai Ali.
“Artinya apa?” lanjut beliau,
“Rasulullah pada akhir hayatnya sering
mengatakan begini: يَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ
لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا
“Saya pesan pada kalian, siapa tahu tahun
depan saya nggak bertemu lagi dengan kalian.”
“Maka dengan anak-anak kami, selalu kami
sampaikan: أُوْصِيْكُم يا أَبْنائِي الطَّلَبَةُ
لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا
“Saya pesan, wahai murid-muridku, siapa tahu
tahun depan saya nggak bertemu lagi dengan kalian.”
Begitulah kiranya kata-kata yang mengarah
pada firasat kewafatan beliau, tentunya kalimat terakhir inilah yang sangat
membekas dalam benak santrinya.
Beliau dimakamkan di belakang area masjid
Muniroh Salamah, di dalam kawasan pesantren. Semoga Kiai Ali Mustafa Yaqub
diterima seluruh amalnya dan diampuni segala dosa-dosanya. Amiin.
Disarikan dari buku: Biografi Kyai Ali
Mustafa Yaqub, Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (Ulin Nuha Mahfudhon, Maktabah
Darus-Sunnah, Cetakan pertama, April 2018). []
Amien Nurhakim, Mahasantri di
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Science, Ciputat; mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; pengisi kolom keislaman di Islami.co dan NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar