Al-Muktafi: Dicintai Rakyat, tapi Terkena Pengaruh Jahat Sengkuni
Oleh: Nadirsyah Hosen
Beda pemimpin, beda pula gayanya memerintah. Beda khalifah, beda
pula perlakuannya terhadap rakyat. Kepemimpinan berpusat pada personal, bukan
institusional. Administrasi pemerintah berjalan tanpa sistem yang baku. Jika
kebetulan mendapat pemimpin yang baik, beruntunglah rakyat. Jika mendapat
pemimpin yang lemah, celakalah umat. Lalu, apa yang terjadi setelah
al-Mu’tadhid wafat dan digantikan putranya, Khalifah al-Muktafi?
Imam Suyuthi meriwayatkan ucapan dari as-Shuli bahwa tidak ada
khalifah yang bernama Ali kecuali Ali bin Abi Thalib dan Ali bin al-Mu’tadhid.
Ali putra al-Mu’tadhid ini yang kemudian bergelar al-Muktafi Billah. Dialah
khalifah ketujuh belas dari Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa dari tahun 902 M
sampai 908 M. Dia berusia 25 tahun saat menerima ba’iat sebagai khalifah.
Imam Thabari, yang hidup pada periode kekuasaannya,
mendeskripsikan al-Muktafi dengan lelaki berperawakan sedang, ganteng, dengan
rambut yang keren dan jenggot yang menawan. Imam Suyuthi melaporkan bahwa
ibunya al-Muktafi itu seorang perempuan budak Turki yang amat rupawan. Wajarlah
kalau al-Muktafi juga ganteng.
Pada tahun diangkatnya al-Muktafi, dilaporkan oleh Ibn al-Atsir
bahwa angin bertiup kencang di kota Bashrah yang memorak-porandakan kebun
kurma. Kabarnya tujuh ribu pohon kurma tumbang seketika. Kalau di tanah Jawa
boleh jadi ini sudah dianggap pertanda buruk bagi kelangsungan pemerintahan.
Al-Muktafi terkenal menyukai membangun gedung mentereng seperti
kebiasaan bapaknya. Namun, berbeda dengan bapaknya yang memerintah dengan
tangan besi ala diktator militer yang bengis dan kejam, al-Muktafi lebih kalem
dalam memerintah. Imam Suyuthi melaporkan:
وهدم المطامير التي اتخذها أبوه وصيرها مساجد، وأمر برد البساتين والحوانيت التي أخذها أبوه من الناس ليعملها قصرا إلى أهلها، وسار سيرة جميلة،فأحبه الناس ودعوا له.
“Al-Muktafi merobohkan
penjara yang dibangun ayahnya kemudian di atas bekas bangunan penjara itu dia
dirikan masjid. Al-Muktafi juga memerintahkan para pembantunya untuk
mengembalikan taman dan toko yang telah dirampas ayahnya. Taman dan toko itu
dulu dijadikan istana oleh ayahnya. Al-Muktafi telah menunjukkan contoh yang
indah. Rakyat menyenanginya dan mendoakannya.”
Namun demikian, administrasi pemerintahan al-Muktafi diatur oleh
Wazir yang bernama al-Qasim bin Ubaidillah. Al-Qasim ini menjabat Wazir sejak
masa al-Mu’tadhid menggantikan ayahnya sendiri yang wafat sebagai Wazir. Jadi,
bukan saja jabatan khalifah diwariskan dari bapak ke anak, tapi dalam periode
ini jabatan wazir pun berpindah dari bapak ke anak.
Al-Qasim ini licik dan brutal. Dia sudah menyusun rencana untuk
mengangkat orang lain di luar keturunan al-Mu’tadhid sebagai khalifah ketika
al-Mu’tadhid sakit. Rencana itu didiskusikan dengan Jenderal Abu Najm Badr.
Namun, Badr menolak rencana al-Qasim dan tetap setia pada jalur suksesi putra
mahkota yang disiapkan al-Mu’tadhid. Tanpa dukungan Badr, rencana konspiratif al-Qasim
berantakan. Tapi, ini membuat hubungan keduanya jadi tegang.
Ketika al-Mu’tadhid wafat, al-Muktafi berada di daerah Raqqa.
Maka, al-Qasim memenjarakan semua pangeran sampai al-Muktafi tiba di ibu kota
negara. Dengan demikian, bukan saja al-Qasim menutup celah adanya konflik di
kalangan pangeran, namun juga memberi kesan kepada khalifah yang baru bahwa
al-Qasim berjasa melempangkan jalannya menuju takhta kekuasaan. Inilah
kelicikan al-Qasim yang pertama.
Kelicikan kedua adalah dengan cara mencopot sekretaris al-Muktafi
sewaktu menjadi Gubernur di Raqqa, yaitu al-Husayn bin Amr. Al-Husayn ini
seorang Kristen, dan atas perintah al-Muktafi dia mengikuti al-Muktafi ke ibu
kota negara. Al-Qasim khawatir posisinya digantikan oleh al-Husayn. Maka, dia memainkan
kartu agama sehingga al-Muktafi mencopot al-Husayn dan memulangkannya ke Raqqa.
Kelicikan ketiga, al-Qasim mengatur penangkapan dan pembunuhan
terhadap mereka yang berpotensi mengganggu posisinya seperti Emir wilayah
Safarid, yaitu Amr Laits Shafari. Amr Laits dibunuh karena al-Muktafi saat
memasuki ibu kota menanyakan kabarnya dan hendak mempromosikan dirinya karena
kebaikan Amr Laits dulu kepada al-Muktafi. Diam-diam al-Qasim langsung mengirim
anak buahnya untuk menghabisi Amr Laits hari itu juga.
Korban berikutnya adalah Jenderal Badr. Ini dilakukan al-Qasim
karena dia khawatir Badr membocorkan percakapan mereka sebelum al-Muktafi
menjadi khalifah di mana al-Qasim punya rencana mengangkat orang lain. Al-Muktafi
mengirim pesan ke Jenderal Badr bahwa dia akan diangkat sebagai gubernur dan
dia bebas memilih wilayah mana pun. Namun, Badr mengatakan dia hendak menemui
khalifah terlebih dahulu dan bicara langsung.
Al-Qasim khawatir Badr akan mengadu kepada al-Muktafi, sehingga
al-Qasim bagai sang Sengkuni dalam kisah Mahabharata menghasut khalifah dengan
mengatakan bahw Badr yang telah diberi kehormatan menjadi gubernur malah
menolak dan hendak masuk ke istana menemui khalifah. Ini indikasi bahwa Badr
akan menantang al-Muktafi. Begitu hasutan al-Qasim.
Segera setelah itu rumah dan harta benda Badr disita dan
keluarganya ditangkap. Al-Qasim mengirim dua orang. Pertama, dia mengirim Abu
Umar, seorang hakim dan menitipkan surat untuk Badr bahwa dia akan aman memasuki
ibu kota Baghdad. Kedua, al-Qasim mengirim komandan pasukan Lu’lu’ dengan pesan
untuk membawa kepala Badr kepadanya.
Abu Umar menemui Badr terlebih dahulu dan memberi jaminan
keselamatan Badr memasuki ibu kota negara. Di perbatasan, Badr dicegat oleh
pasukan Lu’lu’ yang kemudian membawanya ke Baghdad. Badr menyadari bahwa
nasibnya akan berakhir tragis lalu meminta izin untik salat dua rakaat. Selesai
dia menunaikan salat, Lu’lu’ menusuknya dengan pedang dan kemudian memenggal
kepala Badr untuk diserahkan kepada al-Muktafi.
Liciknya al-Qasim, tidak ada yang menyalahkan dia. Malah rakyat
berkumpul mengecam Abu Umar yang sudah memberikan jaminan keselamatan, namun
ternyata Badr tetap dipenggal kepalanya. Itulah hebatnya politik. Abu Umar yang
kena stigma negatif, padahal menurut Imam Thabari, al-Qasim yang merencanakan
semuanya.
Pada 20 Mei 903, al-Muktafi pergi menuju ke kota Samarra. Dulu
kota ini sempat lama menjadi ibu kota negara namun kemudian hancur akibat
beberapa kali perang saudara. Al-Muktafi berencana hendak membangun kembali dan
menjadikannya sebagai ibu kota negara. Namun, kelihatannya al-Qasim dan para
pembantu terdekatnya keberatan dengan rencana itu.
Mereka lantas memberi estimasi anggaran yang fantastis, setelah
terlebih dahulu di-mark-up.
Al-Muktafi kaget dengan angka yang diajukan dan akhirnya mengurungkan niatnya
untuk membangun kembali kota Samarra dan menjadikannya sebagai ibu kota.
Al-Muktafi kembali ke Baghdad.
Berharapan dengan Wazir yang sangat berpengalaman dan menguasai
administrasi pemerintahan, Khalifah al-Muktafi yang masih usia belia seperti
kerbau yang dicocok hidungnya. Dia hanya menuruti apa yang disampaikan sang
wazir.
Kekhalifahan awal menghadapi pemberontakan dari kelompok Khawarij,
namun pada era al-Muktafi tantangannya berbeda. Kelompok Syi’ah Zaydiyah sudah
menguasai wilayah Tabaristan dan Yaman. Lantas muncul kelompok Syi’ah esktrem,
yaitu pecahan dari Syi’ah Ismailiyah. Kelompok ini dikenal dengan nama
Qaramithah.
Pada masa al-Muktafi, kelompok Qaramithah ini dipimpin oleh Yahya
bin Zikrawayh. Setelah dia terbunuh oleh pasukan khalifah, Yahya digantikan
oleh anaknya yang bernama Husein. Imam Suyuthi menceritakan bahwa di wajah
Husein ini ada tompel dan dia menganggap ini sebagai pertanda bahwa dia sebagai
Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.
Sepupunya bernama Isa bin Mahrawayh. Dia melakukan propaganda
bahwa dialah yang disebut al-Qur’an sebagai al-Muddatstsir (QS 74:1). Ini tentu
tafsir yang keliru karena ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad di awal
kenabiannya.
Begitulah kelompok sempalan sering memakai ayat Qur’an seenaknya
saja dan celakanya banyak yang mengikutinya. Para tokoh jahat ini kemudian bisa
dibunuh di masa al-Muktafi pada tahun 903 M. Tapi, pemberontakan Qaramithah masih
terus berlangsung hingga 907 M.
Dalam peperangan yang lain, Al-Muktafi berhasil merebut kota
Antokiah dari pasukan Bizantin Romawi, dan juga menghentikan kekuasan Bani
Tulun di Mesir pada 905 M. Namun, al-Muktafi gagal menahan berdirinya kekuasaan
Bani Fatimiyyah.
Al-Muktafi wafat pada usia 31 tahun dan hanya sekitar enam tahun
berkuasa. Imam Thabari tidak menjelaskan sebab-sebab wafatnya Khalifah
al-Muktafi apakah wafat dalam keadaan wajar, sakit atau sebab lainnya.
Ibn Katsir melaporkan bahwa al-Muktafi wafat karena sakit. Imam
Suyuthi mencatat bahwa al-Muktafi memiliki delapan anak perempuan dan delapan
anak lelaki. Amboiii produktif juga ya!
Al-Muktafi digantikan oleh saudara yang bernama Abu al-Fadl Ja’far
yang berusia 13 tahun saat diangkat menjadi Khalifah. Bagaimana nasib negara
dipimpin oleh Khalifah yang sangat belia ini? Insya Allah kita lanjutkan ngaji sejarah
politik Islam pada kesempatan yang akan datang. []
GEOTIMES, 23 Februari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar