Definisi Rukhsah dan
Pembagian Hukumnya
Dalam beribadah Allah ternyata tidak selalu
memberikan hukum yang berlaku permanen. Allah memberikan keringanan-keringanan
kepada orang tertentu dalam kondisi tertentu. Hal ini mengingat keadaan yang
dihadapi oleh seorang hamba tidak selalu berjalan mulus. Terkadang ada beberapa
kesusahan yang menjadikan ia terhalang untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu.
Dalam hukum Islam, keringanan tersebut biasa
disebut rukhsah, yang oleh Syekh Ismail Usman Zein dalam kitab al-Mawahib
as-Saniyah disebut definisi etimologisnya sebagai kemudahan (as-suhulah).
Sedangkan dalam istilah syara’, rukhsah adalah:
تغير
الحكم من صعوبة إلى سهولة لعذر مع قيام السبب الحكم الأصلي
Artinya: “Perubahan hukum dari hal yang sulit
menjadi mudah karena adanya udzur beserta dilandasi sebab hukum asal.” (Ismail
Usman Zein, al-Mawahib as-Saniyah Syarh Fawaid al-Bahiyah, t.k, Darur
Rasyid, t.t, halaman 240)
Atau lebih mudahnya, bisa mengikuti definisi
yang diberikan oleh as-Syatibi yang berarti diperbolehkannya sesuatu yang
sebelumnya dilarang dengan disertai adanya dalil larangan tersebut.
Keberadaan rukhsah sebenarnya sering
disebutkan dalam beberapa teks keagamaan, baik Al-Qur’an dan hadits. Di antaranya,
Surat al-Haj ayat 78:
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya, “dan Dia tidak akan menjadikan kamu
sekalian kesempitan dalam urusan agama.”
Dalam Surat an-Nisa ayat 28 juga disebutkan:
يُرِيْدُ
اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Artinya, “Allah menginginkan kemudahan bagi
kamu sekalian.”
Selain kedua ayat tersebut, ada beberapa
hadits yang menjelaskan rukhsah. Di antaranya:
إِنَّمَا
بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ لَا مُعَسِّرِيْنَ
Artinya, “Sesungguhnya kalian semua diutus
untuk memberikan kemudahan, bukan untuk menyulitkan.”
Adapun pembagian hukum rukhsah dalam kitab
al-Faraid al-Bahiyah disebutkan dalam empat nadham sebagai berikut:
ورخـص
الشـرع عـلى أقســــــامِ # قـد وردت بحـسَـب الأحـكـامِ
واجـبـةٌ
كـــــالأكــــل للـمضـــطـرِ # وسـنـةٌ كـالـقصـر ثـم الفطرِ
بشـرطـه
ومــا يبــــاح كـالســــــلمْ # ومـا يـكـون تـركـه هـو الأتمْ
كـالجمـع
أو مكـروهه كالقصرِ في # دون ثــلاثِ مـراحـلٍ تـفـي
Artinya: “Rukhsah syar’i ada beberapa bagian
sebagaimana disebutkan berdasarkan hukumnya. Pertama, wajib seperti makan
bangkai bagi orang yang kelaparan. Kedua, sunnah. Seperti qashar shalat dan
berbuka dengan syarat-syarat tertentu. Ketiga, mubah. Seperti transaksi salam
(pesanan). Keempat, meninggalkannya lebih baik (khilaful awla). Seperti
menjamak shalat (bagi orang yang tidak mengalami masyaqqah). Kelima, makruh.
Seperti mengqashar shalat sebelum mencapai tiga marhalah. (Abu Bakar bin Abi
Qasim al-Ahdal, al-Faraid al-Bahiyah dalam al-Mawahib as-Saniyah Syarh Fawaid
al-Bahiyah, t.k, Darur Rasyid, t.t, halaman 240-242)
Jika kami perinci, ada lima hukum rukhsah.
Pertama, rukhsah wajib.
Yakni rukhsah yang jika tidak diambil akan mengakibatkan kemadharatan atau
bahaya bagi seseorang. Seperti makan bangkai yang asalnya haram. Karena tidak
ada makanan lain, sedangkan jika tidak makan bangkai tersebut akan meninggal,
maka memakan bangkai tersebut hukumnya wajib.
Kedua, rukhsah sunnah.
Yakni rukhsah yang lebih baik atau dianjurkan untuk dilakukan. Misalnya, qashar
shalat bagi orang yang telah mencapai perjalanan lebih dari dua marhalah (versi
Syafiiyah yang setara 82 KM) atau tiga marhalah (setara 142 KM, versi
Hanafiyah). Atau berbuka puasa bagi musafir atau bagi orang sakit yang
mengalami masyaqqah saat melakukan puasa.
Ketiga, rukhsah mubah.
Yakni rukhsah yang bisa dilakukan dan bisa ditinggalkan. Seperti akad salam.
Awalnya salam tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang ma’dum
(tidak ada).
Keempat, rukhsah khilaful
awla. Yakni rukhsah yang lebih baik tidak dilakukan. Seperti menjamak
shalat dan berbuka puasa bagi musafir yang tidak mengalami masyaqqah. Dikatakan
lebih baik ditinggalkan karena tidak ada masyaqqah yang menjadikan musafir
tersebut tidak bisa mengerjakan puasa. Artinya, tanpa mengambil rukhsah
tersebut, musafir tersebut dapat melanjutkan puasanya.
Kelima, rukhsah makruh.
Rukhsah ini lebih baik ditinggalkan. Seperti menqashar shalat dalam perjalanan
yang belum memenuhi tiga marhalah. Menurut Imam Izuddin Ibn Abdissalam dalam Qawaid
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, kemakruhan tersebut untuk menghindari
perbedaan antara syafiiyah yang cukup memberikan syarat dua marhalah dan
hanafiyah yang mensyaratkan tiga marhalah. Sehingga akan lebih baik jika
rukhsah qashar dilakukan apabila lebih dari tiga marhalah. Karena selain
memenuhi syarat yang ditetapkan syafiiyah, hal itu juga memenuhi syarat
hanafiyah. Wallahu A’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar