Persaingan di Balik Kambing Berjenggot
Oleh: Sindhunata
Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi? Siapa yang terbesar di antara
mereka berdua? Dua dewa dunia bola ini selalu dibandingkan, pada kesempatan apa
pun, apalagi pada perhelatan terakbar Piala Dunia 2018 di Rusia ini.
Pertanyaan itu lebih-lebih diajukan oleh publik bola yang memuja
mereka. Namun, rupanya pertanyaan itu juga muncul dari diri mereka sendiri. Pada
setiap kesempatan, mereka seakan bersaing untuk menunjukkan diri sebagai yang
terbesar. Hasrat tersembunyi itu kian mempertajam persaingan mereka, dan
semakin memanaskan penilaian publik bola terhadap keduanya.
Lihat saja, misalnya, gestur Ronaldo setelah ia menceploskan bola
ke gawang Spanyol. Ia mengelus dagunya. Ronaldo tak punya jenggot. Disengaja
atau tidak, gestur itu membawa orang berasosiasi akan
jenggot goat atau kambing bandot. Dalam sebuah iklan merek sepatu
terkenal, Messi dilukiskan berpose dengan goat itu.
Dan, goat itu sesungguhnya adalah singkatan greatest of all
time, yang terbesar sepanjang masa, yang hendak diungkapkan oleh pesan iklan
itu.
Dengan gesturnya itu, Ronaldo seakan hendak mengatakan, ”I am the
Goat, not Lionel Messi.” Kali ini Ronaldo benar bila ia sesumbar. Ia
membuat hattrick yang fantastis. Tiga gol dari kakinya bersarang di
gawang Spanyol, dan memaksa Spanyol, tim favorit itu, hanya memetik hasil seri
melawan Portugal. Apalagi, pada laga kedua, Rabu (20/6/2018), Ronaldo mencetak
satu gol lagi yang membawa Portugal mengalahkan Maroko, 1-0.
Di sisi lain, Messi gagal mengeksekusi penalti ke gawang Eslandia,
dan Argentina hanya berhasil memetik satu angka melawan tim debutan itu.
Lain dengan Ronaldo yang berbunga-bunga dengan kesuksesannya,
Messi kelihatan sedih dengan kegagalannya. ”Saya menyesal. Saya merasa
bertanggung jawab atas hasil tak memuaskan ini. Andaikan lawan bermain terbuka,
kami mungkin mempunyai lebih banyak ruang untuk bergerak,” kata Messi usai laga
itu.
Ronaldo memperlihatkan kehebatannya secara individual, seakan tak
bergantung pada lemah atau kuatnya skuad yang dibelanya. Adapun kegagalan Messi
seakan menunjukkan, baru bila ia berada di skuad tangguh seperti FC Barcelona,
ia bisa memperlihatkan kehebatan individualnya.
Tentang hal itu, mantan pemain nasional Argentina, Hernan Crespo,
berucap di Gazzeta dello Sport: ”Ronaldo bermain sendiri, fisiknya kuat,
ia menembak, dan berhasil. Lain dengan Messi. Untuk benar-benar bisa menjadi
Messi, dia membutuhkan sebuah kesebelasan. Tanpa skuad yang mendukung, tak
mungkin Messi memenangi Piala Dunia.”
Legenda Argentina, Gabriel Batistuta, menyinggung hal serupa.
Jangan Argentina terlalu bergantung pada Messi. ”Saya ingin Argentina punya ide
jelas dan daya dobrak yang dahsyat, bukan bergantung pada inisiatif pribadi
pemain,” katanya.
Jelas kegagalan Argentina tak hanya karena kegagalan penalti
Messi, tetapi karena permainan mereka terlalu menggantungkan diri pada Messi.
Pelatih Jorge Sampaoli mengakui, Messi bermain mati-matian, mencoba menembak ke
gawang lawan, tetapi selalu gagal. Messi telah mencoba membawa kesebelasannya
untuk menang. ”Namun, kami seperti kekurangan kreativitas, dan tak bisa memacu
tempo permainan,” kata Sampaoli.
Kecuali Messi, Argentina memiliki penyerang andal Sergio Aguero.
Belum lagi Paulo Dybala dan Gonzalo Higuain masih dibangkucadangkan. Namun,
sebagai kesebelasan, mereka mempunyai problem besar, bagaimana bisa saling
menyokong untuk menutupi kekurangan pemain lain. Kiper senior Wilfredo
Caballero, misalnya, tak bisa dibebani tugas menjaga stabilitas pertahanan
karena kurang pengalaman main di tim nasional.
Kerapuhan Argentina sebagai tim sebenarnya sudah terdeteksi sejak
kualifikasi Piala Dunia 2018. Argentina menjalani babak penyisihan dengan
terseok-seok. Akhirnya, mereka harus menjalani partai hidup mati melawan
Ekuador pada laga pamungkas Pra-Piala Dunia 2018 zona Conmebol. Hanya
kemenangan yang bisa mengantarkan Argentina lolos langsung, atau sekurangnya
meraih tiket play off melawan Selandia Baru, wakil Oseania.
Menjelang laga kritis itu, dalam wawancara dengan stasiun TV, TyC
Sports, pelatih legendaris Argentina Cesar Luis Menotti berkomentar, ”Argentina
berada dalam keadaan kacau dan berbahaya.” Menurut Menotti, permainan Argentina
ibarat sirkus yang hanya menyajikan lelucon bagi dunia bola. Satu-satunya
pemain yang lepas dari kritik Menotti adalah Messi.
”Messi satu-satunya pemain yang masih bisa menyelamatkan
Argentina. Ia adalah magis, seperti Maradona,” kata Menotti. Menotti benar,
Messi memimpin Argentina lolos ke Rusia setelah mengalahkan Ekuador 3-1. Ia
mencetak hattrick setelah Argentina tertinggal lebih dulu, dan
menjadi bintang di laga itu.
Sekarang Argentina belum berada di situasi yang terlalu kritis.
Namun, setelah bermain seri melawan Eslandia, mereka harus mati-matian berusaha
untuk menang melawan Kroasia. Dan, Kroasia bukanlah Eslandia. Mereka tidak
boleh mengandaikan bahwa Kroasia akan bermain defensif seperti Eslandia.
Bermain defensif bukanlah watak Luka Modric, Mario Mandzukic, Ivan
Rakitic, dan kawan-kawan. Pemain Kroasia yang sangat berpengalaman pasti akan
langsung menghujani Argentina dengan serangan mereka. Pertahanan Argentina yang
sering kehilangan konsentrasi bisa menjadi sasaran empuk.
Dalam Grup D di babak awal ini, Kroasia tidak digolongkan sebagai
kesebelasan underdog. Jika melawan Eslandia
yang underdog Argentina hanya memetik hasil seri, mampukah mereka
mengalahkan Kroasia? Kenyataan ini sungguh memusingkan Sampaoli. Apalagi, ia
sudah diperingatkan agar tidak membuat kesebelasannya bergantung pada Messi
semata-mata.
Namun, siapa tahu, seperti ketika melawan Ekuador di babak
kualifikasi, Messi bisa menjadi penyelamat bagi Argentina lagi, sambil membuktikan
bahwa dirinya pantas menjadi Goat, greatest of all time, untuk
membalas sinisme Ronaldo. []
KOMPAS, 21 Juni 2018
Sindhunata | Wartawan, Pencinta Sepak Bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar