Selasa, 05 Juni 2018

Zuhairi: Imam Khomeini dan Kemerdekaan Palestina


Imam Khomeini dan Kemerdekaan Palestina
Oleh: Zuhairi Misrawi

Empat bulan setelah Revolusi Islam Iran bergelayut pada 1979, Imam Khomeini mendeklarasikan hari Jumat setiap akhir Ramadan menjadi Hari al-Quds Internasional (yawm al-Quds al-'alamy). Hari tersebut dirayakan sebagai momentum untuk mengingatkan kita semua perihal pentingnya perjuangan mewujudkan kemerdekaan Palestina.

Akhir Ramadan tahun ini, kita akan merayakan Hari al-Quds Internasional. Peringatan pada tahun ini terasa begitu berat karena bertepatan dengan Peristiwa Nakba yang menjadi titik awal penderitaan warga Palestina pada 1948, dan kebijakan Trump memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Hari-hari ini, Israel terus menyerang Jalur Gaza dan Tepi Barat. Lima puluh lebih warga Palestina tewas dalam serangan tersebut. Di samping itu, Israel mengumumkan pembangunan 3000 rumah baru di Jerusalem Timur, yang mana kawasan itu merupakan kawasan sah milik warga Palestina sesuai kesepakatan setelah Perang 1967. Israel terus melakukan pembangunan ilegal tanpa ada tekanan yang berarti dari dunia internasional.

Azmi Bishara dalam catatannya pada 70 Tahun Peristiwa Nakba menegaskan bahwa perjuangan membela kemerdekaan Palestina merupakan perjuangan yang harus terus digaungkan. Palestina adalah bangsa yang terjajah, yang hingga saat ini masih terus terjajah dan belum menemukan titik-terang. Dunia Arab sepertinya melupakan perjuangan yang dihadapi Palestina saat ini, sehingga mereka kadang terjebak pada perdebatan dalam hal-hal yang tidak substansial.

Narasi yang kerap muncul ke permukaan adalah narasi konflik. Seolah-olah ada konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Padahal yang terjadi bukan konflik, melainkan penindasan sebuah negara dengan mencaplok sebuah bangsa yang berdaulat. Ironisnya, Israel mempunyai mimpi membumihanguskan Palestina.

Maka dari itu, Imam Khomeini menyebut Hari al-Quds Internasional sebagai momentum perlawanan kaum tertindas (al-mustad'afin) terhadap kaum penindas (al-mustakbarin). "Hari al-Quds Internasional harus menjadi hari yang dapat menegaskan arah bagi kaum tertindas, sehingga ia dapat meneguhkan eksistensinya di hadapan kaum penindas," ujar Imam Khomeini dalam pidato yang bersejarah itu.

Yang dimaksud kaum penindas adalah Israel, Amerika Serikat, dan sekutunya yang hingga sekarang ini terus menyokong penuh penindasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Donald Trump merupakan Presiden AS yang semakin mengukuhkan penindasan tersebut.

Kebijakan Trump terkait Palestina telah membuat marah dunia, yang tercermin dalam voting di Persatuan Bangsa-Bangsa. Dunia menolak kebijakan Trump memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Tapi, Trump tidak mau menggunakan hati nuraninya untuk mendengar suara dunia. Ia terus bersikukuh untuk mengeksekusi kebijakannya dengan menggunakan Hak Veto yang dimiliki AS.

Itulah bentuk kepongahan dan kesombongan kaum penindas yang dipertontonkan secara nyata. Dan, kita semua hanya melihat penindasan tersebut terus berlangsung hingga merenggut nyawa warga Palestina, dan mencaplok wilayah yang menjadi milik warga Palestina. AS akan terus mengiyakan seluruh penindasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

Kini, Palestina kesepian dalam memperjuangkan masa depan mereka. Palestina begitu ramai dalam narasi-narasi besar melalui konferensi dan demonstrasi yang digelar di mana-mana, tapi ketika melihat apa yang terjadi di Jalur Gaza dan Tepi Barat, maka di situlah kita melihat realitas pilu karena penindasan terjadi secara kasat mata saban hari. Kita pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Maka dari itu, dalam menyongsong Hari al-Quds Internasional Imam Khomeini perlu sebuah refleksi yang bersifat komprehensif untuk menggariskan peta jalan menuju kemerdekaan Palestina. Pertama, perlu dorongan yang kuat agar rekonsiliasi antara faksi-faksi di dalam Palestina disegerakan. Fatah dan Hamas harus mengedepankan kepentingan Palestina daripada kepentingan kelompoknya masing-masing. Perlu kebijakan bersama dalam meletakkan fondasi yang kokoh bagi masa depan Palestina, termasuk merespons isu-isu aktual yang berkembang begitu cepat.

Palestina yang satu dan berdaulat merupakan sebuah keniscayaan untuk merapatkan barisan agar perjuangan membela Palestina berada dalam satu komando. Dalam hal ini, Indonesia harus berada di garda terdepan mendorong rekonsiliasi antara faksi-faksi Palestina, sehingga perjuangan menuju kemerdekaan Palestina, termasuk strategi yang akan digunakan berada dalam satu koordinasi.

Kedua, perlu persatuan dunia Arab dan dunia Islam dalam memprioritaskan kemerdekaan Palestina. Satu hal yang mengganjal jalan menuju kemerdekaan Palestina karena dunia Arab cenderung terpecah belah, dan mempunyai agenda politik masing-masing.

Sikap Arab Saudi dan beberapa negara Teluk, termasuk Liga Arab yang tidak tegas terhadap Israel menjadi batu sandungan dalam meratakan jalan menuju kemerdekaan Palestina. Tekanan yang begitu kuat dari AS menjadi para elite dunia Arab tidak bisa berkutik. Padahal publik dunia Arab menganggap Israel dan AS sebagai ancaman bagi stabilitas politik di Timur-Tengah.

Penindasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina berdampak serius terhadap stabilitas politik di dunia Arab dan dunia Islam, karena besarnya arus migrasi para pengungsi Palestina, tumbuhnya ekstremisme, dan naiknya tensi politik terkait isu Palestina. Artinya, jika masalah Palestina tidak diselesaikan dengan baik, maka akan menjadi penghambat bagi kemajuan dunia Arab dan dunia Islam.

Dengan demikian, peringatan Hari al-Quds Internasional Imam Khomeini ini mempunyai makna yang sangat mendalam untuk menyegarkan kembali kesadaran kita perihal kemerdekaan Palestina. Imam Khomeini memilih bulan Ramadan sebagai Hari al-Quds Internasional agar dalam memperjuangkan Palestina kita dapat memanjatkan doa-doa tulus untuk kemerdekaannya, termasuk menyamakan langkah untuk terus bersamanya. Dunia harus bersatu membela Palestina, karena hanya dengan cara itu kemerdekaan Palestina dapat terwujud, suatu hari nanti, entah kapan. []

DETIK, 31 Mei 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar