Selasa, 05 Juni 2018

Yudi Latif: Bersatu, Berbagi, Berprestasi


Bersatu, Berbagi, Berprestasi
Oleh: Yudi Latif

SETIAP kali Hari Lahir Pancasila kita peringati, bangsa Indonesia diingatkan kembali tentang pentingnya mencari titik temu dalam perbedaan. Titik persetujuan dalam mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bersama.

Manakala padang kehidupan kebangsaan hari ini disengat cuaca terik yang membuat rerumputan kering mudah terbakar dan tanah-tanah rekah terbelah, peringatan Hari Lahir Pancasila diharapkan bisa mengembalikan tetes hujan yang bisa mendinginkan dan menyuburkan kehidupan. Tetes hujan yang kita perlukan ialah teralirkannya kembali semangat bersatu dan berbagi.

Bersatu artinya kita kembangkan kembali spirit Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa, tidak boleh menjadi alasan saling membenci, tetapi justru menjadi daya perekat bangsa. ‘Bersatu dalam keragaman dan beragam dalam persatuan’. Sebagaimana disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juninya, "Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”.

Berbagi artinya kita kembangkan etos kepedulian, welas asih. Satu sama lain menjadi saudara dari keluarga besar keindonesiaan. Berbagi sejatinya saripati nilai-nilai Pancasila, yakni gotong-royong. Dalam berbagi ada semangat saling memberi dan menerima. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, menyelesaikan persoalan dengan jalan musyawarah dan mufakat.

Di dalamnya tersimpan pula makna yang senantiasa harus kita aktifkan; menebarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bahwa setiap warga negara dijamin keamanan, kelayakan, dan kehormatan hidupnya.

Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan (kekeluargaan). Setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintahan yang menjalankan kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.

Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui pemuliaan nilai keadilan.

Dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945, disebutkan perwujudan negara yang dikehendaki ialah negara, begitu bunyinya, yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar persatuan, dengan mewujudkan keadilan seluruh rakyat Indonesia.
Setiap kali konflik sosial meruncing, setiap kali itu juga kita diingatkan untuk merestorasi retakan-retakan pada sepasang sayap keindonesiaan; persatuan dan keadilan.

Dalam kaitan dengan negara persatuan, untuk masa yang panjang, politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural yang terkunci dalam situasi ‘plural-monokultralisme’. Terdiri dari banyak etnis agama yang hidup dalam kepompong budayanya masing-masing, tanpa kerapatan interaksi.

Koreksi politik dituntut untuk mentransformasikan situasi ‘plural-monokulturalisme’ menuju situasi ‘plural-multikulturalisme’ lewat berbagai kebijakan yang dapat mencegah berbagai bentuk segregasi sosial (dalam dunia persekolahan, pemukiman, pekerjaan, dan perkumpulan), seraya membuka ruang-ruang komunikatif bagi proses-proses interaktif, pertukaran pemikiran, dan penyerbukan silang budaya.

Masyarakat multikultural hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika kewargaan demokratis bisa menjamin, bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu, melainkan juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat.

Seperti kata Habermas, ”Warga bangsa harus dapat mengalami nilai keadilan yang berkaitan hak-haknya juga dalam bentuk keamanan sosial serta pengakuan timbal balik dalam perbedaan bentuk-bentuk budaya kehidupan."

Upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, badaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional, seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konsitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Dalam usaha memajukan kesejahteraan umum, kebijakan perlakuan khusus sebagai ikhtiar mengatasi kesenjangan sosial bisa saja dibenarkan. Menurut John Rawls, dalam rangka keadilan, setiap orang memang harus diperlakukan setara. Apabila dengan perlakuan setara itu justru melahirkan ketidakadilan lebih lebar, perlu diberikan perlakuan khusus bagi kalangan yang termaginalkan.

Perlakuan khusus itu seyogianya tidak diletakkan dalam kerangka perbedaan identitas etnis keagamaan yang bisa mengoyak persatuan, tetapi diberikan pada siapapun yang termiskinkan tanpa membedakan asal-usul primordialnya.

Di dalam kata ‘adil’, sesungguhnya sudah terkandung imperatif menjaga persatuan. Berasal dari kata ‘al-adl’ (adil), yang secara harfiah berarti ‘lurus’, ‘seimbang’, keadilan berarti memperlakukan setiap orang secara fair. Tanpa diskriminasi berdasarkan perasaan subjektif, perbedaan keturunan, keagamaan, dan status sosial.  

Dalam Alquran (Surah Al-Maidah ayat 8) diingatkan: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Tepatlah kiranya bila pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi (fungsi) negara untuk ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah RI dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Demikianlah, antara persatuan dan keadilan ibarat sepasang sayap garuda yang harus bergerak serempak. Hanya dengan itu, sang Garuda bisa terbang, meninggikan prestasi bangsa di berbagai bidang. Prestasi dalam mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Di atas landasan berpikir seperti itulah, tema peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini ialah ‘Kita Pancasila: Bersatu, Berbagi, Berprestasi’.

Peringatan Hari Pancasila dilaksanakan pada 1 Juni, tetapi perayaannya bisa dilakukan selama rentang 1 Juni-18 Agustus 2018. Perluasan rentang waktu perayaan Hari Lahir Pancasila itu seperti napak tilas proses perjalanan perumusan Pancasila yang melibatkan kontribusi berbagai pihak hingga diterima sebagai dasar negara.

Selama rentang waktu itu, perayaan Hari Lahir Pancasila hendaknya tidak bersifat seremonial belaka, tetapi diisi dengan berbagai praktik kebajikan Pancasila sebagai wujud implementasi kelima sila pancasila dalam laku hidup di berbagai bidang.

Berbagai kegiatan bisa dilaksanakan aparatur negara dan masyarakat di seluruh Tanah Air, terutama dalam menguatkan simpul-simpul persatuan dalam keragaman. Menggalang semangat berbagi dan bermitra usaha melintasi batas-batas identitas dan golongan, serta memberikan apresiasi terhadap praktik-praktik baik dan prestasi anak-anak bangsa di berbagai bidang sebagai wujud pengamalan nilai-nila Pancasila.

Dengan menguatkan semangat bersatu, berbagi, dan prestasi, semoga kita bisa menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bekerja dalam rangka mewujudkan visi dan misi negara dalam menggapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bersama. []

MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2018
Yudi Latif | Kepala Badan Pembinaan Ideologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar