Selasa, 26 Juni 2018

Azyumardi: Melindungi Kampus


Melindungi Kampus
Oleh: Azyumardi Azra

Dalam beberapa pekan terakhir, salah satu isu nasional yang ramai menjadi pemberitaan media dan pembicaraan publik adalah radikalisme di kampus. Terlepas dari perdebatan semantik dan substantif tentang radikalisme, publik sangat mencemaskan fenomena tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, serta lembaga penelitian seperti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta atau Alvara Research Center, melaporkan gejala peningkatan radikalisme di kampus perguruan tinggi.

Meskipun temuan masing-masing berbeda dalam hal skala atau tingkat radikalisme di kalangan dosen dan mahasiswa, sulit dibantah gejala radikalisme itu memang ada. Dari berbagai kuesioner yang diajukan dalam survei atau penelitian yang dilakukan lembaga tersebut, ”radikalisme” mengandung beberapa parameter dan indikator. Boleh jadi paham satu kelompok mencakup seluruh parameter itu atau sebagian saja.

Pertama, adanya paham dan ideologi transnasional yang bertujuan membangun negara Islam (dawlah Islamiyah) atau kekhalifahan (khilafah) untuk menggantikan NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi pendukung ideologi radikal, dawlah Islamiyah atau khilafah adalah sistem politik untuk menyelesaikan masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Kedua, adanya sikap takfiri, mengafirkan mereka yang seagama, tetapi berbeda paham dan praksis keagamaan. Sikap takfiri yang mencerminkan intoleransi dan permusuhan terbuka tertuju pada aliran dan mazhab lain semacam Ahmadiyah dan Syiah.

Ketiga, adanya pengharaman sikap toleran dan bermuamalah secara baik (mujamalah) dengan penganut agama lain. Bagi mereka, penganut agama lain adalah penghalang penerapan Islam secara sempurna (kaffah).

Boleh jadi kalangan pimpinan PT tidak sepenuhnya memahami berbagai parameter itu beserta elaborasinya dengan berbagai argumen keagamaan sangat kompleks. Untuk memahami seluruh fenomena perlu spesialis tentang pemikiran dan gerakan Islam.

Dalam konteks itu, bisa dipahami jika ada kecenderungan di kalangan pimpinan PT merespons fenomena radikalisme secara reaktif dan defensif. Dalam percakapan penulis dengan kalangan pimpinan PT, ada kecenderungan ”mengecilkan” fenomena radikalisme di kampus. Mereka mengakui adanya gejala radikalisme, tetapi menurut mereka jumlahnya terbatas; bisa dihitung dengan jari.

Dalam perspektif itu bisa dipahami mengapa beberapa pimpinan PT melakukan penertiban. Jumat (8/6/2018) pekan lalu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, memberhentikan sementara dari jabatan struktural dua dosennya yang berpaham radikal. Sebelumnya, Rabu (6/6), Universitas Diponegoro, Semarang, mengambil tindakan sama terhadap seorang guru besarnya.

Langkah pimpinan PT semacam itu adalah langkah darurat (contingency) untuk melindungi PT masing-masing. Jelas mereka tidak ingin PT mereka tercemar citra negatif sebagai tempat persemaian dan penyebaran paham radikal. Namun, contingency policy jauh dari memadai. Oleh sebab itu, ”kebijakan darurat” sulit menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya.

Berkembang sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, paham radikal menemukan momentumnya di masa reformasi. Kombinasi liberalisasi politik domestik, globalisasi religio-politik, revolusi komunikasi dan kebebasan akademik di kampus memberikan ruang luas bagi penyebaran paham radikal di PT.

Peningkatan penyebaran paham radikal di PT juga terkait kenyataan, pemerintah yang silih berganti pasca-Soeharto hampir tak melakukan kebijakan signifikan untuk membendungnya. Sebaliknya, fragmentasi politik membuat elite politik cenderung membiarkan atau bahkan ”memelihara” kelompok radikal untuk kepentingan politik.

Kebijakan serius untuk menghadapi radikalisme baru muncul dari Presiden Joko Widodo lewat Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Perppu yang membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kemudian diterima DPR sebagai Undang-Undang Keormasan.

Perppu No 2/2017 sebenarnya dapat menciptakan momentum untuk menghadapi radikalisme lebih tegas—termasuk di kampus PT. Menristek dan Dikti juga cukup aktif melindungi kampus PT dari bahaya radikalisme. Namun, sebagian usaha itu bisa jadi kontraproduktif seperti gagasan mendaftar ponsel dan gawai dosen, mahasiswa, dan sivitas akademika lain. Jika rencana ini dilakukan, Kemristek dan Dikti serta pimpinan kampus menjadi apa yang disebut George Orwell sebagai big brothers—yang melakukan pengintaian (surveillance) terhadap semua orang.

Oleh sebab itu, sekali lagi, perlu strategi dan cara yang berkeadaban untuk melindungi kampus dari paham radikal. []

KOMPAS, 14 Juni 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar