Puasa Tahun 1366 H
Umat Islam Hadapi Agresi Militer I Belanda
Saat berpuasa
ternyata memang bukan untuk berleha-leha. Sejarah Islam membuktikan, puasa
untuk berjuang, tidak hanya secara batin, tapi fisik. Perang Badar
misalnya, kontak fisik pertama umat Islam dengan kafir Quraisy terjadi pada
bulan 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah bertepatan dengan 624 Masihi. Tentunya
pada saat umat Islam berpuasa.
Di Indonesia, pernah
terjadi pula hal demikian saat melawan Agresi Militer I Belanda. Aksi ini
mereka namakan sebagai actie product (aksi atau operasi produk). Belanda
melancarkan agresinya pada awal puasa Ramadhan 1366 Hijriyah atau bertepatan
dengan 21 Juli 1947.
Menurut sejarawan NU,
KH Abdul Mun’im DZ, Belanda kemungkinan melakukan agresinya pada Ramadhan
karena orang Indonesia yang mayoritas Muslim sedang berpuasa sehingga dalam
keadaan lemah.
Sebetulnya, agresi
itu sudah diduga jauh hari oleh tokoh-tokoh Indonesia. “Apa yang diduga
ternyata menjadi kenyataan,” tulis KH Saifuddin Zuhri pada Berangkat dari
Pesantren (LKiS, 2013).
Menurut Kiai
Saifuddin Belanda menggunakan 3 divisi lengkap untuk menggempur Jawa dan 3
brigade untuk menghantam Sumatera. Mereka mengerahkan kekuatan angkatan darat,
laut, dan udara.
“Agresi militer
Belanda I di daerah Sumatera Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga.
Aksinya itu dimulai pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatera
Seulatan selesai melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di
Sumatera, 1945-1950 sebagaimana dikutip Historia.
Digempur dengan cara
demikian, saat Indonesia baru saja dua tahun merdeka, tentu saja TNI,
laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah, tak mampu
mengimbanginya. Serangan Belanda yang bersenjata lengkap itu tidak mungkin
dihadapi tentara dan laskar rakyat dengan cara berhadap-hadapan, melainkan
dengan cara gerilya.
“Agresi itu Belanda
berhasil merebut Magelang. Karenanya sepanjang garis Surabaya-Malang dikuasai
Belanda bukan saja dalam arti militer, tetapi juga ekonomi politik (untuk
sementara). Setelah Surabaya jatuh, kaum republik memusatkan perhatian
militernya ke Malang,” kata Kiai Saifuddin.
Menurut Mun’im, waktu
itu tentara (TNI) kan belum siap. Dan itu sudah dihitung Belanda. Makanya
mereka menyerbu basis-basis laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah.
Markasnya tiada lain adalah pesantren.
“Kalau di Jawa Barat,
yang digempur itu Cirebon, karena pesantren Buntet itu. Di jawa Tengah itu
Semarang, hubungannya dengan pesantren Parakan itu. Di Jawa Tengah juga
diserang Pekalongan dan Magelang. Itu kan pesantren-pesantren. Kalau Jawa Timur
itu Malang, itu basisnya Sabilillah. Kemudian kedua, di Bondowoso dan
Situbondo, itu pesantren Kiai As’ad itu. Artinya yang diserbu itu targetnya
pesantren.
Sementara TNI, Mun’im
mengutip AH. Nasution, yang melakukan serangan balik pada Oktober, pada
Indonesia diserang pada akhir Juli.
TNI butuh waktu untuk
penataan logistik, persiapan persenjataan. Dengan demikian, selama beberapa
bulan, perlawan dijalankan sendiri milisi-milis rakyat, umat Islam, terutama
Hizbullah Sabilillah itu. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar