Rabu, 06 Juni 2018

Puasa Tahun 1366 H Umat Islam Hadapi Agresi Militer I Belanda


Puasa Tahun 1366 H Umat Islam Hadapi Agresi Militer I Belanda

Saat berpuasa ternyata memang bukan untuk berleha-leha. Sejarah Islam membuktikan, puasa untuk berjuang, tidak hanya secara batin,  tapi fisik. Perang Badar misalnya, kontak fisik pertama umat Islam dengan kafir Quraisy terjadi pada bulan 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah bertepatan dengan 624 Masihi. Tentunya pada saat umat Islam berpuasa. 

Di Indonesia, pernah terjadi pula hal demikian saat melawan Agresi Militer I Belanda. Aksi ini mereka namakan sebagai actie product (aksi atau operasi produk). Belanda melancarkan agresinya pada awal puasa Ramadhan 1366 Hijriyah atau bertepatan dengan 21 Juli 1947. 

Menurut sejarawan NU, KH Abdul Mun’im DZ, Belanda kemungkinan melakukan agresinya pada Ramadhan  karena orang Indonesia yang mayoritas Muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah.

Sebetulnya, agresi itu sudah diduga jauh hari oleh tokoh-tokoh Indonesia. “Apa yang diduga ternyata menjadi kenyataan,” tulis KH Saifuddin Zuhri pada Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013). 

Menurut Kiai Saifuddin Belanda menggunakan 3 divisi lengkap untuk menggempur Jawa dan 3 brigade untuk menghantam Sumatera. Mereka mengerahkan kekuatan angkatan darat, laut, dan udara.

“Agresi militer Belanda I di daerah Sumatera Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga. Aksinya itu dimulai pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatera Seulatan selesai melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, 1945-1950 sebagaimana dikutip Historia. 

Digempur dengan cara demikian, saat Indonesia baru saja dua tahun merdeka, tentu saja TNI, laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah, tak mampu mengimbanginya. Serangan Belanda yang bersenjata lengkap itu tidak mungkin dihadapi tentara dan laskar rakyat dengan cara berhadap-hadapan, melainkan dengan cara gerilya. 

“Agresi itu Belanda berhasil merebut Magelang. Karenanya sepanjang garis Surabaya-Malang dikuasai Belanda bukan saja dalam arti militer, tetapi juga ekonomi politik (untuk sementara). Setelah Surabaya jatuh, kaum republik memusatkan perhatian militernya ke Malang,” kata Kiai Saifuddin. 

Menurut Mun’im, waktu itu tentara (TNI) kan belum siap. Dan itu sudah dihitung Belanda. Makanya mereka menyerbu basis-basis laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah. Markasnya tiada lain adalah pesantren. 

“Kalau di Jawa Barat, yang digempur itu Cirebon, karena pesantren Buntet itu. Di jawa Tengah itu Semarang, hubungannya dengan pesantren Parakan itu. Di Jawa Tengah juga diserang Pekalongan dan Magelang. Itu kan pesantren-pesantren. Kalau Jawa Timur itu Malang, itu basisnya Sabilillah. Kemudian kedua, di Bondowoso dan Situbondo, itu pesantren Kiai As’ad itu. Artinya yang diserbu itu targetnya pesantren. 

Sementara TNI, Mun’im mengutip AH. Nasution, yang melakukan serangan balik pada Oktober, pada Indonesia diserang pada akhir Juli. 

TNI butuh waktu untuk penataan logistik, persiapan persenjataan. Dengan demikian, selama beberapa bulan, perlawan dijalankan sendiri milisi-milis rakyat, umat Islam, terutama Hizbullah Sabilillah itu. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar