Membaca Tafsir
Al-Qur’an di Media Sosial
Judul
: Tafsir Al-Qur’an di Medsos
Penulis
: Nadirsyah Hosen
Penerbit
: Bunyan
Terbit
: September 2017
Halaman
: 278
Peresesnsi
: A. Muchlishon Rochmat
Era saat ini adalah
era media sosial. Siapapun bisa mendapatkan informasi di sana, termasuk
informasi seputar keagamaan. Yang mencengangkan adalah generasi milenial
menjadi media sosial sebagai sumber utama informasi. Ketika mereka mendapatkan
informasi di media sosial, mereka ‘meyakini’ itu sebagai sebuah kebenaran.
Bahkan, tidak sedikit
pula yang belajar agama dari media sosial. Artikel-artikel keislaman mereka
baca. Entah siapa yang menulis. Apakah seorang yang memiliki kedalaman ilmu dan
belajar puluhan tahun di jurusan keislaman atau seorang yang belajar Islam dari
media sosial dan menuliskannya ulang. Itu menjadi kabur di dunia jejaring maya
ini.
Dulu, ketika kita
ingin belajar agama maka kita harus mendatangi seorang alim ulama dan belajar langsung
kepadanya. Di era media sosial, seseorang bisa ngaji dimana dan kapan saja.
Tinggal buka gawai pintarnya, mereka akan disuguhi informasi keislaman yang
sangat melimpah-ruah.
Termasuk jika ingin
belajar tafsir Al-Qur’an. Semua jenis media sosial dipakai ‘tokoh agama’ itu
untuk berdakwah. Mereka berlomba-lomba untuk mengisi dunia media sosial dengan
corak pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Ada yang
konservatif-fundamentalis, ada yang moderat, dan ada juga yang liberal.
Semuanya bisa didapat di media sosial. Tergantung yang ia maui.
Lewat Buku Tafsir
Al-Qur’an di Medsos ini, Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir ingin menyebarkan
ajaran-ajaran Islam yang moderat di tengah-tengah media sosial yang saat ini
memang ‘dikuasai’ oleh kelompok konservatif-fundamentalis. Sebetulnya, buku ini
merupakan kumpulan artikel Gus Nadir yang terserak di media sosial. Lalu,
artikel-artikel yang bertemakan tafsir tersebut dikumpulkan hingga menjadi
sebuah buku yang utuh.
Buku ini terbagi atas
lima bagian. Bagian pertama, Rahasia Menghayati Kitab Suci Al-Qur’an. Ada salah
satu artikel yang menarik pada bagian pertama ini. Judulnya Ayatnya Sudah
Jelas, Mengapa Masih Diperdebatkan Juga? Ini yang selalu menjadi perdebatan
antara kelompok yang tekstualis dan kelompok yang kontekstualis.
Tekstualis memahami
Al-Qur’an cukup dengan arti dan terjemahannya saja. Sedangkan, kontekstualis
memahami Al-Qur’an sesuai dengan sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) dan jenis
dari kalimat yang dipakai: ‘am atau khos, muhkamat atau mutasyabih, nasikh atau
manshukh, dan seterusnya.
Bagian kedua, Tafsir
Ayat-Ayat Politik. Di sini, Gus Nadir menghadirkan tafsir Surat Al-Maidah ayat
51. Sebuah ayat yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia dalam beberapa
waktu terakhir ini. Dalam artikel yang berjudul Tafsir Kata Awliya dan Asbabun Nuzul
dalam QS. Al-Maidah ayat 51 itu Gus Nadir menghadirkan makna awliya dari
berbagai kitab klasik.
Tidak
tanggung-tanggung, Gus Nadir memaparkan makna Surat Al-Maidah itu sebagaimana
yang ada dalam sepuluh kitab tafsir: Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Fi Dhilalil
Qur’an, Tafsir Jalalain, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir
Al-Khazin, Tafsir Al-Biqa’i, Tafsir Muqatil, Tafsir Sayyid Tantawi, Tafsir
Al-Durr Al-Mansyur, dan Tafsir Al-Khazin.
Bagian ketiga,
Menebar Benih Damai Bersama Al-Qur’an. Di sini, Gus Nadir mencoba memaparkan
tafsir-tafsir Al-Qur’an yang berkaitan dengan kedamaian, keadilan, jangan mudah
menuduh orang lain munafik, dan bagaimana menolak kejahatan dengan cara yang
lebih baik. Gus Nadir berpesan bahwa kita boleh saja membenci perbuatan mereka,
tetapi kita jangan menzalimi pribadi mereka, keluarga mereka, serta harta dan
kedudukan mereka. (hal.138).
Bagian keempat,
Al-Qur’an Bergelimang Makna. Pada bagian ini, Gus Nadir mengajak kita untuk
menyelami makna Al-Qur’an yang bergelimang. Mengapa ada banyak tafsir terhadap
satu ayat serta bagaimana seharusnya kita menyikapi tafsir-tafsir yang ada
itu.
Terakhir, Benderang
dalam Cahaya Al-Qur’an. Dalam Artikel Keyakinan dan Kesungguhan Mencari
Petunjuk Ilahi, Gus Nadir menekankan bahwa untuk dapat memahami Al-Qur’an maka
keyakinan saja tidaklah cukup. Kita harus menggunakan pancaindera, ilmu,
pengalaman, naluri, dan nurani yang telah dianugerahkan oleh Allah. Ini menarik
dan biasanya ditolak oleh kelompok tekstualis karena mereka –sekali lagi-
‘hanya mau’ memahami Al-Qur’an sesuai dengan makna dan arti teks yang
ada.
Kita kita bisa
menghindar dari era media sosial. Era dimana informasi mengalir begitu deras.
Apa yang dilakukan oleh Gus Nadir seharusnya bisa menjadi contoh bagi yang
lainnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat moderat di jagat
dunia media sosial. Syukur-syukur, artikel yang kita buat nanti bisa dibubukuan
seperti punyanya Gus Nadir ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar