AR Fachruddin, Seorang Sufi Sejati (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Seiring dengan semakin gersang dan langkanya tokoh teladan dalam
masyarakat kontemporer Indonesia, menghadirkan sosok AR Fachruddin, si sufi,
terasa perlu dan mendesak. Perkataan sufi, sufisme, tasawuf tidak populer di
kalangan Muhammadiyah, mungkin karena pengaruh Wahhabisme yang kering dari
nilai-nilai spiritual. Tetapi cara hidup seorang sufi banyak dijumpai pada
tokoh-tokoh dan warga Muhammadiyah tanpa menyebutnya sebagai praktik sufisme.
AR Fachruddin (14 Februari 1916-17 Maret 1995), ketua PP
Muhammadiyah, 1968-1990, dalam hidup kesehariannya adalah seorang sufi sejati
yang legendaris. Sampai akhir hayatnya, tidak punya rumah pribadi yang mungkin
belum tentu nyaman bagi anak-anaknya.
Semua nilai luhur dan asketik yang biasa disandangkan kepada sosok
sufi ada pada Pak AR (panggilannya sehari-hari): sederhana, lurus, jujur,
wara’, disiplin, suka menolong, santun, lembut, gaul, humoris, dan sejumlah
karakter mulia lainnya menyatu dengan seluruh kepribadiannya. Dia selalu tampil
sebagai manusia tanpa beban. Sangat sejati.
Jika Iqbal mengatakan bahwa ruh manusia akan menemui kesulitan
untuk terbang tinggi karena terkunci di bumi, Pak AR telah memutuskan semua
kunci itu melalui kesadaran yang dalam, dianyam oleh penghayatan agama yang
tulus. Saya “iri” dengan sosok ini.
Tetapi, tuan dan puan jangan salah kira. Dalam serba
kesederhanaannya, Pak AR dikaruniai pisau batin yang sangat tajam. Dengan pisau
itulah dia memahami dan menyikapi berbagai watak manusia. Saya kenal secara
pribadi selama beberapa tahun, tetapi tidak perinci, sampai disentakkan oleh
karya Bung Syaefudin Simon, Pak
AR Sang Penyejuk, Tangerang Selatan: Global Express Media, 2018,
tebal 287 halaman, tidak termasuk sambutan dan kata pengantar.
Simon, alumnus Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, pernah
mondok di tempat tinggal Pak AR di Jln Cik Di Tiro No 19A, Yogyakarta, sebuah
bangunan milik Muhammadiyah yang dipinjamkan kepada sang sufi dan keluarganya.
Sejak 2003, rumah itu telah diubah menjadi kantor pusat PP Muhammadiyah dengan
No 23.
Saya masih ingat pada suatu hari awal tahun 1960-an, Pak AR sambil
berdiri naik KA dari Solo ke Wonogiri yang penuh sesak dengan para pedagang
desa dan penumpang lainnya. Di wajahnya tak sedikit pun terbayang rasa kesal,
tidak tampak pancaran keluhan sama sekali.
Semua dilakoninya dengan tenang, nyaman, dan ceria. Dalam buku
Simon ini, kisah-kisah inspiratif, mengagumkan, dan menyentuh tentang tokoh
yang satu ini telah direkam dengan baik dalam rakitan bahasa yang lancar dan
mengalir.
Melalui WA saya telah mengabarkan kepada beberapa sahabat tentang
buku yang sangat layak dibaca ini. Dua pembaca yang saya berikan buku itu sama
berkomentar tentang Pak AR: penaka nabi!
Pak AR adalah saksi hidup tentang sosok seorang pemimpin teladan
yang legendaris dan saya tidak mampu menirunya. Saya harus punya rumah setelah
berkali-kali pindah tempat yang sangat melelahkan. Saya tidak sekuat Pak AR
menghadapi cobaan dan rintangan dalam hidup. Sufisme Pak AR sangat autentik,
sepi dari topeng-topeng dalam bentuk apa pun, sebagaimana terlihat pada
sebagian tokoh spiritual yang pura-pura sufi.
Ampun, Pak AR, saya terlalu lemah untuk mengikuti jejak manusia
panutan ini. Guru Pak AR adalah kehidupan itu sendiri, bukan sekolah formal.
Dari pengalaman hidup, dia belajar, merenung, dan ujungnya membuahkan kearifan
yang jadi buah bibir orang banyak sampai hari ini.
Daya jangkau karya Simon ini akan sangat efektif sekiranya ada
pihak yang bersedia menampilkannya dalam bentuk film, di tengah-tengah
gersangnya keteladanan elite saat ini. Betapa pun mungkin para elite telah
berlumuran dosa dan dusta selama ini dalam persaingan politik yang tunamoral,
dengan mengikuti keteladanan Pak AR, siapa tahu batinnya akan luluh juga.
Jika mimpi ini menjadi kenyataan, bangsa ini pasti akan menuai
berkah yang luar biasa karena kisah Pak AR telah mengubah perilaku para elite
“yang terhormat” itu, tanpa perlu hidup sangat sederhana seperti Pak AR.
Kesederhanaan ekstrem biarlah melekat pada pribadi Pak AR untuk selama-lamanya
sebagai sumur rohani yang tidak akan kering.
Tentu Pak AR punya kekurangan: suka merokok. Pada suatu hari saya
goda, mengapa Pak AR banyak merokok. Jawaban humorisnya di luar perkiraan: saya
hanya merokok satu-satu. Siapa yang tidak mati kutu untuk bisa melanjutkan
pertanyaan lagi. Emangnya,
merokok satu bungkus sekali isap?
Tetapi jenis jawaban semacam itu telah mengendorkan urat saraf
sekalipun harapan si penanya sesungguhnya belum terpuaskan. Semula saya ingin
mengkritik Pak AR yang perokok, tetapi diskakmat dengan cara seperti itu. []
REPUBLIKA, 12 Juni 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar