Pengantar Ilmu Tafsir
Akomodatif
Penulis
: Dr Muhammad Afifuddin Dimyathi, MA
Penerbit
: Lisan Arabi
Alamat
Penerbit
: Sidoarjo, Jawa Timur
Cetakan
Pertama : 2015 M /
1436 H
Jumlah
Halaman : 289
halaman
Peresensi
: Nine Adien Maulana, Ketua Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk dan
Guru PAI SMAN 2 Jombang.
Allah SWT telah
membekali manusia dengan al-Quran sebagai kitab panduan hidupnya di dunia. Ia
telah membuat skenario kehidupan manusia ideal dia dalamnya. Segala hal yang
berkaitan keselamatan hidupnya telah diatur di dalamnya. Siapa yang menjalankan
hidupnya sesuai dengan pedoman, ia pasti selamat. Siapa yang menyimpang
darinaya pasti tersesat dan celaka.
Al-Quran berfungsi
menjadi petunjuk bagi orang-orang bertakwa yang aktif mencarinya berdasarkan
ilmu standar yang teruji, bukan atas kreasi hawa nafsu intelektualnya semata.
Dengan sikap itu mereka akan ikhlas menerima petunjuk dari Allah SWT. Bukan
sebaliknya, merasa lebih tahu daripada pengetahuanNya dengan berbagai dalih
beragam teori atas nama intelektualisme.
Salah salah satu ilmu
standar yang dibutuhkan dalam menggali dan mencari petunjuk di dalam kitab
al-Quran adalah ilmu tafsir. Ini adalah ilmu untuk menggali petunjuk al-Quran
menurut kehendak Allah sesuai kadar kemampuan yang diupayakan manusia. Dengan
ungkapan lain, ilmu ini mengupayakan menghilangkan samarnya petunjuk ayat yang
tertulis untuk memperoleh makna sebenarnya yang dimaksud.
Ilmu ini sangat
penting dipelajari dan dikuasai oleh umat Islam yang ingin mendapatkan petunjuk
di dalam al-Quran yang berbahasa Arab itu. Karena wahyu Allah SWT telah
tertulis, maka baik orang Arab maupun ’Ajam (luar Arab) tetap butuh ilmu ini
untuk mendapatkan petunjuk sebagaimana yang dikehendaki olehNya. Apapun
bahasanya, seringkali apa yang tertulis tidak selalu sama dengan makna yang
dikehendaki sebenarnya.
Sebagai ilustrasi
dengan menggunakan bahasa Indonesia, ada orang dengan nada keras mengancam
berteriak, bahkan mungkin sambil menunjuk, ”Makan!”. Maksud orang itu
sebenarnya adalah larangan makan. Orang yang dilarang itu juga mengerti bahwa
yang dimaksud adalah larangan makan, meskipun yang diteriakkan adalah,
”Makan!”. Orang yang diteriaki itu pun tidak berani memakan, meskipun teriakan
yang diterimanya adalah, ”Makan!” bukan ”Jangan makan!”.
Kesamaran dan
kerancauan makna baru muncul setelah teriakan itu disalin ke dalam bahasa
tulisan. Kesamaran dan kerancauannya semakin kuat ketika tulisan itu dibaca
oleh orang yang tidak mengetahui konteksnya, terlebih ia baru membacanya
setelah sekian ribu tahun telah munculnya tulisan itu. Tentu sangat bermasalah
jika kata itu dimaknai secara bahasa apa adanya.
Dengan ilustrasi di
atas, kita bisa menyimpulkan bahwa orang luar Arab yang tidak sehari-hari
berkomunikasi dengan bahasa Arab tentu lebih sangat membutuhkan ilmu tafsir
al-Quran. Bagaimana pun juga orang itu pasti berjarak agar panjang dalam
memahami bahasa al-Quran secara bahasa. Jarak itu pun semakin jauh untuk
mencapai makna yang dimaksud sebenarnya.
Didorong tanggung
jawab akademis dan keulamaan Dr. Muhammad Afifuddin Dimyathy, MA. menyusun
sebuah kitab yang diberi judul, Ilmut Tafsiir: Ushuuluhu wa Manaahijuhu yang
bisa diterjemahkan bebas ”Ilmu Tafsir: Dasar-dasar dan Metodologinya.”
Awalnya, kitab ini
disusun demi memenuhi kebutuhan para mahasiswanya dalam mempelajari Manhaj
Tafsir sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri di Program Studi Ilmu Al-Quran
dan Tafsir Pascasarjana IAIN Tulungagung yang diampunya. Ternyata kandungan
materi yang disusunnya itu sangat lengkap. Ada empat belas materi dasar-dasar
dan metodologi tafsir yang dibahasnya, sehingga kitab ini sangat layak salah
satu referensi utama dalam belajar ilmu tafsir.
Empat belas materi
itu adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Dasar Penafsiran, 2. Syarat-syarat
Penafsiran), 3. Sejarah Tafsir al Quran, 4. Sumber-sumber Penafsiran, 5. Ijmak
dalam Tafsir, 6. Perbedaan dalam Penafsiran, 7. Orientasi dan Corak
Tafsir, 8. Metodologi Tafsir, 9. Tehnik Penafsiran, 10. Sanad-sanad Tafsir, 11.
Naskah-Naskah Tafsir, 12. Kaidah-kaidah Tafsir 13. Kaidah-kaidah Tarjiih dalam
Tafsir, dan 14. Ad Dakhiil dalam Tafsir.
Paparan kandungan
kitab ini menyiratkan sikap akomodatif dan kehati-hatian penyusunnya. Ia tidak
anti terhadap wacana baru dalam tafsir, namun tidak semuanya diamini apa
adanya. Hal ini sangat tampak dalam pembahasan kedelapan tentang Metodologi
Tafsir. Gus Awis, demikian panggilan akrab penyusun kitab ini, memberi porsi
pembahasan yang lebih panjang daripada sub pembahasan yang lain.
Ia memaparkan
beberapa manhaj naqli seperti manhaj qur'ani, bayaani, al qiroo'at al
mufassiroh, dan atsari. Setelah itu dipaparkan juga beberapa manhaj aqli
seperti manhaj kalaami, lughowi, ilmi, ijtimaa'i, shuufi,
adabi, dan beberapa metodologi Barat seperti hermeneutika, linguistik dan
singkronik/diakronik. Dengan sikap itu, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum
Peterongan Jombang ini akhirnya bisa dengan tegas menyatakan bahwa ini bisa
terima dalam khazanah ilmu tafsir dan itu itu tidak bisa diterima.
Kesan itu semakin
kuat dapat ditangkap dari paparan terakhir kitab ini. Penyusun kitab ini
membahas Ad Dakhiil dalam Tafsir, yaitu keterangan-keterangan atau
riwayat-riwayat yang baru muncul dan populer setelah wafat Rasulullah SAW
kemudian menyusup dalam khazanah dan wacana tafsir. Sedemikian populernya,
hingga banyak kaum muslimin yang menerimanya sebagai bagian dari khazanah
tafsir baku, namun sebenarnya ia tidak layak disebut sebagai tafsir.
Biasanya riwayat
susupan ini berasal dari hadits-hadits palsu (mau’dhu’) dan kisah-kisah
Israiliyyat yang diulang-ulang dalam komunikasi verbal melalui ceramah atau
tutur tinular. Sedemikian massifnya, hingga tanpa disadari masuk dalam
pembahasan kitab-kitab tafsir. Susupan-susupan itu pun akhirnya baru ketahuan
setelah dianalisis dari aspek periwat dan sumbernya.
Dengan pembahasan
semacam ini, maka tidak berlebihan jika kitab ini layak disebut sebagai
pengantar Ilmu Tafsir Akomodatif yang layak digunakan sebagai referensi bagi
siapa saja yang akan mempelajari ilmu tafsir al-Quran. Ia tetap mengacu pada
batasan-batasan baku rumusan ulama tafsir otoritatif terdahulu, namun tetap
membuka peluang kreasi baru yang sejalan dengan syariat. Hal ini menegaskan
bahwa ia tidak ingin mengajak orang lain menafsirkan al-Quran menurut
keinginannya sendiri. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar