Selasa, 19 Mei 2020

(Ngaji of the Day) Hukum Mengunyahkan Makanan untuk Bayi saat Puasa

Hukum Mengunyahkan Makanan untuk Bayi saat Puasa


Salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya benda ke dalam perut melalui tujuh lubang yang telah ditentukan. Satu dari lubang yang dimaksud yaitu tenggorokan. Mulut termasuk kategori angggota badan luar bagi orang yang berpuasa. Berbeda dalam konteks wudhu, mulut masuk kategori anggota badan dalam. Artinya, jika ada orang berpuasa memasukkan sesuatu baru sampai mulut, belum sampai masuk tenggorokan, puasanya tidak batal.

 

Tenggorokan sendiri mempunyai beberapa bagian. Dalam pembahasan ilmu tajwid, ada bacaan idzhar yaitu ketika ada nun mati atau tanwin bertemu salah satu dari enam huruf halq (huruf yang berbasis tenggorokan). Huruf halq tersebut terdiri dari hamzah, ha’, ha’, kha’, ‘ain, ghain. Keenam huruf ini mempunyai posisi masing-masing (makhraj). Huruf ghain (غ) dan kha’ (خ) makhraj-nya berada pada pangkal tenggorokan (aqshal halq); ha’ (ح) dan ‘ain (ع) dari tengah tenggorokan (wasthul halq); sedangkan hamzah (ء) dan ha’ (هـ) keluar dari tenggorokan paling dalam (adnal halq).

 

Dari tiga bagian tenggorokan tersebut, yang bisa menyebabkan batal puasa adalah ketika ada barang yang melewati makhraj ha’ (ح) yaitu tengah-tengah tenggorokan. Selama belum sampai melewati makhraj ha’ (baru sampai makhraj kha’), belum sampai membatalkan puasa.

 

قَالَ الْغَزَالِيُّ مَخْرَجُ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ مِنْ الْبَاطِنِ وَالْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ مِنْ الظَّاهِرِ وَوَافَقَهُ الرَّافِعِيُّ فَقَالَ هَذَا ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمُهْمَلَةَ تَخْرُجُ مِنْ الْحَلْقِ وَالْحَلْقُ بَاطِنٌ وَالْمُعْجَمَةُ تَخْرُجُ مِمَّا قَبْلَ الْغَلْصَمَةِ

 

Artinya: “Imam al-Ghazali berkata bahwa makhraj ha’ tanpa titik (ح) masuk kategori dalam, sedangkan kha’ dengan titik (خ) masuk kategori luar. Imam Rafi’i juga sependapat dengan al-Ghazali. Kata Imam Rafi’i, yang tanpa titik keluar dari tenggorokan, sedangkan tenggorokan itu termasuk dalam, sedangkan yang bertitik itu sebelum pangkal tenggorokan.” (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, hal. 319).

 

Mencicipi makanan yang tidak sampai ditelan walaupun ada sisa rasanya, karena tidak sampai melewati tengah tenggorokan, tidak sampai membatalkan puasa.

 

Bagaimana dengan mengunyahkan makanan untuk bayi?

 

Mengunyahkan makanan bagi anak kecil yang masih membutuhkan hukumnya juga diperbolehkan. Ada perbedaan antara mencicipi makanan dan mengunyahkan makanan. Bukan sekadar perbedaan teknis tapi juga tingkat urgensi dan konsekuensi hukumnya. Karena mencicipi bukan tindakan yang mendesak—meskipun tidak sampai membatalkan puasa—hukumnya adalah makruh karena ada kekhawatiran berakibat masuk ke tenggorokan. Sedangkan mengunyahkan anak—walaupun ada kekhawatiran masuk ke tenggorokan, karena ada kebutuhan yang mendorong—hukumnya tidak sampai makruh.

 

)قَوْلُهُ: خَوْفَ وُصُولِهِ حَلْقَهُ) نَعَمْ إنْ احْتَاجَ إلَى مَضْغِ نَحْوِ خُبْزٍ لِطِفْلٍ لَمْ يُكْرَهُ اهـ. شَرْحُ م ر.

 

Artinya: “Kekhawatiran masuknya makanan ke dalam tenggorokan, iya, apabila membutuhkan untuk mengunyahkan makanan semacam roti untuk anak kecil, hukumnya tidak dimakruhkan. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala Syarhil Minhaj, [Darul Fikr], juz 2, hal. 329).

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengunyahkan makanan untuk anak kecil hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar