Rabu, 20 Mei 2020

(Ngaji of the Day) Dirahasiakannya Waktu Lailatul Qadar seperti Dirahasiakannya Wali

Dirahasiakannya Waktu Lailatul Qadar seperti Dirahasiakannya Wali


Dalam kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Sayyid Abdul Aziz al-Darani menggunakan parabel (perumpamaan) menarik untuk menguraikan hikmah dirahasiakannya lailatul qadr. Dijelaskan dengan ringan dan mudah dicerna, sekaligus fungsional untuk diterapkan. Ia mengatakan:

 

إنّ الله تعالي أخفي ليلة القدر في رمضان ليجتهد المؤمنين في سائر الشهر كما أخفي الولي بين المؤمنين ليحترم الجميع

 

Terjemah bebas: “Sesungguhnya Allah ta’ala merahasiakan Lailatul Qadar di (bulan) Ramadhan agar orang-orang beriman berusaha (melakukan ibadah dengan gigih) di sisa bulan (Ramadhan) seperti halnya Allah merahasiakan seorang wali di antara orang-orang beriman agar semua (orang) dimuliakan (atau diperlakukan dengan hormat)” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 167)

 

Sayyid Abdul Aziz menggunakan perumpamaan yang setara, karena keduanya mengandung kerahasiaan. Ia menjelaskan hikmah di balik dua “kerahasiaan” tersebut. Pertama, hikmah dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar, dan kedua, hikmah dirahasiakannya kedudukan wali seseorang. Dalam tulisan ini kita hanya akan membahas hikmah dirahasiakannya Lailatul Qadar.

 

Dengan dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar, manusia akan tergerak untuk berusaha, dan beribadah setiap hari di bulan Ramadhan. Dalam pencariannya, jika manusia tidak berhasil mendapatkannya, ia telah mengumpulkan banyak kebaikan. Bisa jadi karena kegigihannya, Allah menuntunnya untuk mendapatkan Lailatul Qadar, sehingga Allah akan menghilangkan kantuknya; melenyapkan malasnya, dan menguatkan istiqamahnya ketika Lailatul Qadar datang.

 

Andai waktu Lailatul Qadar dipastikan saat dan tanggalnya, manusia hanya akan menunggu, tidak berusaha mencarinya. Apalagi kebaikan yang akan didapatkan berlipat-lipat banyaknya. Imam Mujahid mengatakan:

 

عباتها خير من عبادة ألف شهر صيام وقيام

 

“Beribadah (di malam Lailatul Qadar) lebih baik dari ibadah seribu bulan berpuasa dan shalat malam.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 167)

 

Dalam pandangan Imam Mujahid, kebaikan Lailatul Qadar melebihi nilai ibadah seribu bulan puasa dan shalat malam. Perbandingannya tidak dengan bulan-bulan biasa yang tidak dilakukan ibadah di dalamnya, tapi dengan seribu bulan berpuasa dan shalat malam. Ini menunjukkan keutamaan Lailatul Qadar sangat luar biasa. Apabila Lailatul Qadar ditentukan waktunya, manusia hanya akan menunggu, tanpa tergerak untuk berusaha mendapatkannya.

 

Selain itu, Lailatul Qadar adalah hadiah Allah untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sayyid Abdul Aziz al-Darani menulis dalam kitabnya:

 

روي في الصحيح: (أن رسول الله صلي الله عليه وسلم أراه الله تعالي أعمار الناس قبله, فكأنه تقاصر أعمار أمته أن لا يبلغوا من العمل مثل الذي بلغ غيرهم في طول العمر، فأعطاه الله تعالي ليلة القدر, خير من ألف شهر) وألف شهر ثلاث وثمانون سنة وثلث

 

Terjemah bebas: “Dalam sebuah riwayat yang shahih (dikatakan): (Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan oleh Allah ta’ala usia-usia manusia sebelumnya. Seakan-akan usia umatnya menjadi semakin pendek, sehingga pencapaian amalnya tidak akan menyamai amal umat lainnya karena panjangnya usia [mereka]. Kemudian Allah ta’ala menganugerahi Nabi Muhammad Lailatul Qadar, yang [nilainya] lebih baik dari seribu bulan). Seribu bulan (kurang lebih setara dengan) delapan puluh tiga tahun tiga bulan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 166)

 

Artinya, Lailatul Qadar harus diperjuangkan. Tidak hanya dinantikan. Lailatul Qadar berbeda dengan lainnya. Ia pasti hadir di setiap bulan Ramadhan. Kehadirannya adalah hal yang pasti. Namun, apakah kita berhasil menemuinya atau tidak, itu soal lain. Bisa jadi kita sedang tidur ketika ia hadir; bisa jadi kita sedang bermaksiat ketika ia datang; bisa jadi kita sedang bertadarrus ketika ia tiba; bisa jadi kita sedang shalat malam ketika ia menyapa. Yang jelas, ia pasti hadir di tengah-tengah kita. Soal kita berhasil mendapatkannya atau tidak, tergantung kita sendiri.

 

Karena itu, kita butuh bermandikan doa, berpeluh usaha, dan bersiram istiqimah. Kita harus bersiap diri menyambut kehadirannya; bersiap rasa menemui kedatangannya. Tanpa itu, kita akan menanti dalam kelalaian; menunggu dalam kelupaan. Semoga kita semua ditemui Lailatul Qadar dalam keadaan terbaik, dan menjadi manusia yang layak menerima hadiah dari Allah berupa Lailatul Qadar.

 

Sebagai penutup, kita perlu merenungi ucapan Sayyid Abdul Aziz al-Darani berikut ini:

 

عباد الله: إن شهر رمضان مضمار السابقين وغنيمة الصادقين، فيه تضاعف الأعمال وتحط الأوزار الثقال، وفيه يجاب السؤال ويغفر المستغفر ويقال، وفضائله فوق ما يقال فهو غرة الدهور ومصباح الشهور، ثم فيه ليلة القدر التي جعل الله عبادتها خيرا من عبادة ألف شهر

 

Terjemah bebas: “(Wahai) hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramdhan adalah gelanggang (perlombaan) orang-orang terdahulu dan ghanimah bagi orang-orang yang jujur. Di dalamnya (pahala) amal-amal dilipat-gandakan, dan dosa-dosa yang berat diringankan. Di dalamanya permohonan (doa) dikabulkan, dan diampuni (dosa-dosa) orang yang meminta ampunan. Keutamaannya di atas apa yang dikatakan (atau dijelaskan), karena bulan Ramadhan adalah kemuliannya masa (waktu) dan pelitanya bulan. Kemudian di dalamnya ada Lailatul Qadar yang Allah jadikan beribadah (di dalam)nya lebih baik dari ibadah seribu bulan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 166)

 

Wallahu a’lam bish-shawwab. []

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar