I’tikaf di Rumah Selama Ramadhan, Bolehkah?
Ramadhan kali ini bisa disebut sebagai Ramadhan yang ‘berbeda’. Mengingat saat
ini umat Islam menghadapi bulan suci ini di tengah persebaran pandemi Covid-19
yang tak kunjung usai. Muslim yang baik akan bersikap bijak dalam menghadapi
bulan Ramadhan kali ini dengan senantiasa waspada dan hati-hati dalam
menjalankan ibadah. Jangan sampai maksud ibadah yang suci justru ternodai
dengan ambisi pribadi dan sikap gegabah, sehingga berdampak buruk terhadap
kesehatan diri sendiri dan orang lain.
Salah satu sikap kehati-hatian dalam menghadapi bulan suci Ramadhan di tengah pandemi Covid-19 ini adalah dengan lebih memprioritaskan beribadah di rumah daripada beribadah di masjid, terlebih bagi masyarakat yang berada di daerah yang sudah berstatus zona merah Covid-19, seperti halnya imbauan para ulama dan pemerintah. Beribadah di masjid secara simbol memang tampak lebih bermakna dan menjanjikan pahalanya, namun akan menjadi malapetaka tatkala berakibat tersebarnya wabah penyakit, dan hal demikian jelas merupakan larangan agama Islam.
Salah satu ibadah khusus yang hanya dapat dilakukan di masjid adalah i’tikaf. I’tikaf yang biasanya gencar dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan guna menggapai malam lailatul qadar, memang hanya dapat dilakukan di masjid dengan berpijak pada pendapat mayoritas ulama. Namun dalam kondisi saat ini, perlu kiranya untuk lebih mengedepankan keselamatan diri sendiri dan masyarakat secara umum dengan cukup i’tikaf di ruangan yang dikhususkan untuk shalat yang terdapat di rumah kita, atau yang biasa disebut dengan istilah “masjid al-bait” (masjid rumah). Masyarakat Jawa menyebutnya pasalatan, atau sebagian orang menyebut mushala rumah.
Melaksanakan ibadah i’tikaf di ruangan dalam rumah yang dikhususkan untuk shalat hukumnya boleh dan sah dilakukan bagi perempuan menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i. Sedangkan bagi laki-laki juga sah dan diperbolehkan menurut pandangan sebagian ulama mazhab Syafi’i, dengan mengikut pada nalar “jika shalat sunnah saja yang paling utama dilakukan di rumah, maka i’tikaf di rumah semestinya bisa dilakukan”. Hal demikian seperti yang disampaikan oleh Imam Ar-Rafi’i:
ولو اعتكفت المرأة في مسجد بيتها وهو المعتزل المهيأ للصلاة هل يصح فيه قولان (الجديد) وبه قال مالك وأحمد لا لان ذلك الموضع ليس بمسجد في الحقيقة فأشبه سائر المواضع ويدل عليه ان نساء النبي صلى الله عليه وسلم كن يعتكفن في المسجد ولو جاز اعتكافهن في البيوت لاشبه ان يلازمنها (والقديم) وبه قال ابو حنيفة نعم لانه مكان صلاتها كما ان المسجد مكان صلاة الرجل وعلي هذا ففى جواز الاعتكاف فيه للرجل وجهان وهو اولي بالمنع ووجه الجواز ان نفل الرجل في البيت افضل والاعتكاف ملحق بالنوافل
“Wanita melaksanakan i’tikaf di masjid rumahnya, maksudnya adalah ruangan tempat menyendiri (di rumah) yang diperuntukkan untuk shalat, apakah hal tersebut sah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat . Qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), Imam Malik dan Imam Ahmad berpandangan tidak sah, sebab tempat tersebut bukanlah masjid secara hakiki, karena tak ubahnya seperti tempat-tempat lainnya. Pendapat ini juga didasari dalil bahwa para istri Rasulullah melaksanakan i’tikaf di masjid. Kalau saja boleh beri’tikaf di rumah, niscaya mereka menetapkannya. Qaul qadim dan Abu Hanifah berpendapat boleh i’tikaf di rumah (ruangan yang dikhususkan shalat), sebab tempat tersebut merupakan tempat shalat bagi wanita, seperti halnya masjid merupakan tempat shalat bagi laki-laki. Berdasarkan pandangan ini, maka dalam bolehnya i’tikaf di rumah bagi laki-laki juga terdapat dua pendapat, meskipun lebih utama bagi laki-laki untuk tidak i’tikaf di tempat tersebut. Dalil bolehnya i’tikaf di rumah bagi laki-laki adalah pemahaman bahwa shalat sunnah bagi laki-laki yang paling utama adalah dilaksanakan di rumah, maka ibadah i’tikaf mestinya sama dengan ibadah shalat sunnah” (Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, huz 6, hal. 503).
Pandangan bolehnya i’tikaf di ruangan shalat yang terdapat di rumah baik bagi laki-laki dan perempuan rupanya juga diusung oleh sebagian ulama mazhab Maliki. Berikut keterangan mengenai hal ini:
وقال أبو حنيفة: يصح اعتكاف المرأة في مسجد بيتها وهو الموضع المهيأ من بيتها لصلاتها، قال: ولا يجوز للرجل في مسجد بيته، وكمذهب أبي حنيفة قول قديم للشافعي ضعيف عند أصحابه، وجوزه بعض أصحاب مالك وبعض أصحاب الشافعي للمرأة والرجل في مسجد بيتهما
“Imam Abu Hanifah berkata: ‘Sah bagi wanita untuk beri’tikaf di masjid rumahnya, maksudnya adalah ruangan di rumahnya yang diperuntukkan untuk shalat, dan tidak boleh bagi laki-laki untuk i’tikaf di masjid rumahnya. Senada dengan Abu Hanifah yakni Qaul Qadim Imam as-Syafi’i, meskipun dianggap pendapat yang lemah menurut para ashab. Sebagian ulama mazhab maliki dan ulama mazhab syafi’i memperbolehkan beri’tikaf di masjid rumah bagi laki-laki dan perempuan” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, juz 3, Hal. 3)
Salah satu ulama terkemuka mazhab Hanafi, Ibnu Abidin mendeskripsikan tentang ruangan di dalam rumah yang diperuntukkan untuk shalat dengan sekiranya ruangan tersebut terdapat mihrab (tempat pengimaman), bersih dan wangi, sebagaimana tempat-tempat yang digunakan untuk ibadah shalat pada umumnya. Berikut ulasan beliau:
مسجد البيت أي موضع أعد للسنن والنوافل بأن يتخذ له محراب وينظف ويطيب كما أمر به فهذا مندوب لكل مسلم
“Yang dimaksud masjid rumah adalah ruangan yang diperuntukkan melaksanakan ibadah sunnah dan shalat sunnah, dengan gambaran dalam ruangan tersebut terdapat mihrab dan ruangan tersebut dibersihkan serta diberi wewangian, seperti halnya yang diperintahkan (syara’). Memiliki ruangan dengan model demikian disunnahkan bagi setiap muslim” (Muhammad Amin bin ‘Umar bin Abdul Aziz Abidin, Hasyiyah ibnu ‘Abidin, juz 1, hal. 675)
Meski disebut sebagai “masjid al-bait” namun bukan berarti ruangan yang diperuntukkan shalat ini juga berlaku hukum sebagaimana masjid secara umum, berupa berstatus wakaf dan tidak dapat diperjualbelikan. Sebab kata “masjid” sebatas penamaan saja, tidak sampai berlaku ketentuan hukum masjid secara syara’. Sebagaimana dijelaskan dalam referensi berikut:
وفي «الخُلاَصة»: يُنْدَبُ لكل مسلم أن يتخذ مسجداً في بيته يصلي فيه النوافل والسنن، لكن ليس له حكم المسجد.
“Dalam kitab al-Khulashah dijelaskan bahwa disunnahkan bagi setiap muslim untuk membuat masjid di rumahnya untuk dibuat melaksanakan shalat sunnah dan ibadah sunnah, meskipun tempat demikian tidak berlaku hukum masjid” (‘Ubadillah bin Mas’ud al-Mahbubi, Syarh al-Wiqayah, juz 1, hal. 369).
Sedangkan niat i’tikaf di ruangan rumah yang dikhususkan untuk shalat dapat dilakukan dengan niat mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan i’tikaf di tempat tersebut lalu melafalkan kalimat berikut dalam hati:
نَوَيْتُ الإعْتِكَافَ فِى هَذَا الْمَكَانِ لله تَعَالَى
“Nawaitu al-i’tikâfa fî hâdza al-makâni lillâhi ta’âlâ”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melaksanakan i’tikaf di ruangan khusus untuk shalat yang terdapat di rumah merupakan persoalan khilafiyah (ada ragam pendapat). Mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan dapat dijadikan sebagai solusi bagi kita agar tetap dapat melaksanakan i’tikaf di tengah persebaran pandemi Covid-19, ketika melaksanakan i’tikaf di masjid sudah tidak memungkinkan atau berpotensi tertular.
Meski demikian, penulis menyarankan dalam keadaan normal, sebaiknya i’tikaf tetap dilaksanakan di masjid, sebagaimana pandangan mayoritas ulama Mazhab Empat (Madzahib al-Arba’ah), agar ibadah dapat lebih sempurna dan mendapatkan fadilah yang berhubungan dengan tempat ibadah. Semoga Allah segera mengangkat wabah ini dari Indonesia dan dunia secara umum dan ibadah kita senantiasa diberi keistiqamahan dan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala . Amin ya rabbal ‘alamin. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar