Jumat, 29 Mei 2020

Nasaruddin Umar: Kontemplasi Ramadhan (7): Dari Inabah ke Istijabah

Kontemplasi Ramadhan (7)

Dari Inabah ke Istijabah

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Taubat itu bertingkat-tingkat. Tentu kita berharap taubat yang dilakukan semakin jauh meninggalkan taubat dasar, taubat yang lazim dilakukan oleh orang-orang awam. Taubatnya orang awam ketika bertaubat setelah melakukan dosa besar. Taubat semakin meningkat jika dosa-dosa kecil pun ditaubatkan, karena sadar bahwa dosa-dosa kecil yang menumpuk bisa menjadi dosa besar. Bulan suci Ramadhan sebagai bulan pertobatan (syahr al-taubah) sebaiknya dimanfaatkan untuk melakukan pertobatan. Syukur kalau bisa menjalani taubat lebih tinggi.

 

Syekh Ibn 'Athaillah membedakan dua jenis taubat, yaitu taubat inabah dan taubat istijabah. Taubat inabah ialah sikap taubat seorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiat yang telah dilakukannya, sehingga terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksa dan malapetaka Tuhan yang amat pedih di neraka. Dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya membuatnya betul-betul takut kepada Allah SWT. Dalam suasana takut seperti itu ia menyerahkan diri, bertaubat, dan memohon pengampunan kepada Allah. Ia selalu membayangkan api neraka yang akan menyiksa dirinya seandainya Allah tidak memaafkannya. Siang dan malam selalu melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikan bisa mengikis habis segala dosa-dosanya, sebagaimana firman Allah: Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyi'at (sesungguhnya amal kebajikan menghapuskan segala dosa). Sebesar apapun dosa seseorang pengampunan dosa jauh lebih besar.

 

Adapun taubat istijabah merupakan bentuk taubat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan-Nya. Taubat dalam tahap ini tidak lagi membayangkan Allah Swt sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiat sebagaimana dalam tahap taubat inabah. Taubat istijabah ketika seseorang lebih merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya ketimbang panasnya api neraka-Nya. Yang membuat seseorang tersiksa ialah betapa pedihnya jika terbebani rasa malu yang amat dalam terhadap Allah SWT. Mestinya ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah SWT dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya tetapi malah melakukan dosa dan maksiat. Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinya tega melakukan sesuatu yang memalukan terhadap Tuhannya. Ketersiksaannya lebih berat ketimbang ia masuk ke dalam neraka. Seandainya disuruh memilih disiksa secara fisik di neraka atau terbebani rasa malu terhadap Tuhannya maka ia akan memilih disiksa di neraka ketimbang bahagia sesaat di dunia.

 

Mungkin pertanyaan mendasar kepada diri kita, jenis tobat apa yang kita miliki? Apakah kita sudah melakukan penyesalan terhadap dosa dan maksiat yang telah kita lakukann? Apakah kita tergolong yang selalu membayangkan panasnya api neraka setelah melakukan dosa dan maksiat? Apakah sudah terbetik rasa malu kepada Allah SWT setelah kita melakukan dosa? Apakah telah muncul penyesalan mendalam dan bertekad untuk memutuskan segenap dosa-dosa dan maksiat langganan kita, karena takut atau malu kepada Allah SWT? Apakah kita telah mengganti langganan dosa dan maksiat itu dengan amal kebajikan? Atau kita samasekali belum melakukan perubahan di dalam diri kita, dosa dan maksiat masih berjalan terus tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun, na'udzu billah.

 

Tak terkecuali siapa pun di antara kita sepantasnya mengintip umur kita. Tanda-tanda ketuaan apa yang kita sudah miliki semisal uban sudah bercampur di tengah rambut hitam kita, rasa ngilu di tulang persendian sebagai akibat gejala penuaan, pembatasan-pembatasan apa yang diminta dokter pribadi kita, semisal membatasi makanan dan pergerakan fisik. Lihatlah anak-anak kita yang sudah mulai besar dan membutuhkan figur keteladanan orang tua, atau mungkin kita sudah punya cucu yang selalu mengidolakan kita?

 

Tataplah diri kita tanpa topeng kepalsuan. Apakah diri kita pantas diidolakan atau mereka semua terkecoh dengan topeng-topeng kepalsuaan yang melekat di wajah kita. Di depan mereka kita malaikat tetapi di luar sana kita iblis. Masyarakat modern sarat dengan tradisi hipokrasi dan kemunafikan. Hanya karena menginginkan jabatan atau harta maka di antara mereka sega mengorbankan musuh-musuhnya. Tentu kita berharap semoga taubat kita diterima sepenuhnya oleh Allah SWT. []

 

DETIK, 30 April 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar