Kamis, 14 Mei 2020

(Ngaji of the Day) Berbuka karena Menyangka Sudah Maghrib, Puasa Batal?

Berbuka karena Menyangka Sudah Maghrib, Puasa Batal?

 

Salah satu kesunnahan dalam menjalankan ibadah puasa adalah berbuka dengan sesegera mungkin (ta’jil al-ifthar) setalah mengetahui secara pasti masuknya waktu Maghrib. Anjuran ini dimaksudkan sebagai wujud ekspresi kebahagiaan orang yang berpuasa kala waktu berbuka telah tiba. 

 

Kesunnahan menyegerakan berbuka puasa ini, berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

 

“Tiada henti-hentinya manusia berada dalam kebaikan tatkala mereka menyegerakan berbuka puasa” (HR Bukhari Muslim).

 

Namun siapa sangka, jika ternyata pelaksanaan anjuran menyegerakan berbuka ini tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan syariat. Hal yang kadang terjadi sebagian orang berbuka puasa karena menyangka bahwa waktu maghrib telah tiba, misalnya karena ia mendengar kabar dari orang lain bahwa telah tiba waktu maghrib, atau berdasarkan suara yang ia sangka sebagai suara adzan, hingga ia pun menyantap makanan dan minumannya.

 

Selang beberapa lama, terdengar olehnya suara adzan dan memastikan bahwa dugaannya tentang waktu maghrib adalah hal yang keliru. Dalam keadaan demikian, apakah puasanya dihukumi batal? Mengingat ia telah menyantap makanan pada waktu yang ia sangka telah masuk waktu berbuka?

 

Para ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa puasa dihukumi batal bagi orang yang menyangka telah tiba waktu maghrib hingga ia melakukan suatu hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum, padahal prasangkanya keliru. Hal ini seperti yang tercantum dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji:

 

إذا أفطر في آخر النهار ظانا غروب الشمس، ثم تبين أنها لم تكن قد غابت بعد بطل صيامه، ووجب عليه القضاء.

 

“Ketika seseorang berbuka di akhir sore, karena menyangka bahwa matahari telah terbenam (tiba waktu maghrib). Lalu tampak padanya setelah itu bahwa matahari belum terbenam, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk mengqadha puasa tersebut” (Dr. Mushtafa Said al-Khin dan Dr. Mushtafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 2, hal. 54)

 

Bahkan permasalahan ini ditegaskan secara langsung oleh Imam Syafi’i. Hukum yang sama juga berlaku bagi orang yang masih bersantap sahur karena menyangka belum tiba waktu subuh padahal sudah: puasa dihukumi batal. Meski terdapat sebagian ulama syafi’iyah yang berpandangan berbeda, namun pendapat tersebut dihukumi syadz (aneh) dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan amaliyah. Dalam hal ini, Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:

 

ولو أكل ظانا غروب الشمس فبانت طالعة أو ظانا أن الفجر لم يطلع فبان طالعا صار مفطرا هذا هو الصحيح الذي نص عليه الشافعي وقطع به المصنف والجمهور وفيه وجه شاذ أنه لا يفطر 

 

“Jika seseorang makan karena menyangka matahari telah terbenam. Lalu tampak (padanya) ternyata matahari masih terlihat, atau ia makan karena menyangka fajar belum terbit, namun ternyata telah terbit, maka puasanya menjadi batal. Hukum ini adalah hukum yang sahih dan telah di nash oleh Imam Syafi’i, serta telah dipastikan (kebenarannya) oleh Mushannif (pengarang) dan mayoritas ulama. Namun terdapat pendapat yang syadz (tidak di pertimbangkan) bahwa puasa tersebut tidak batal” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 306)

 

Dalil yang dijadikan landasan batalnya puasa bagi orang yang salah menyangka masuknya waktu maghrib adalah berdasarkan kaidah “lâ ‘ibrata bidz dzan al-bayyin khatha’uhu” (tidak dapat dijadikan pertimbangan, prasangka yang jelas kesalahannya). Penjelasan demikian seperti yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Maliabari:

 

ولو أكل باجتهاد أولا وآخرا فبان أنه أكل نهارا، بطل صومه، إذ لا عبرة بالظن البين خطؤه، فإن لم يبن شئ: صح

 

“Jika seseorang makan dengan berdasarkan ijtihadnya pada awal waktu (waktu sahur) dan akhir waktu (waktu berbuka), lalu ternyata diketahui olehnya bahwa ia makan di waktu siang (waktu puasa) maka puasanya menjadi batal, sebab tidak dapat dijadikan pertimbangan prasangka yang jelas kesalahannya. Jika ternyata tidak tampak apapun padanya maka puasanya tetap sah” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 2, hal. 266)

 

Berbeda halnya ketika seseorang berbuka karena menyangka telah tiba waktu maghrib, lalu setelah itu ia ragu-ragu dan tidak tahu apakah dugaannya tentang masuknya waktu maghrib adalah hal yang benar atau justru salah, maka puasanya dalam hal ini tetap dihukumi sah. 

 

Dapat disimpulkan bahwa berbuka puasa berdasarkan informasi yang salah tentang masuknya waktu maghrib adalah hal yang membatalkan puasa. Oleh sebab itu, sebaiknya jika kita hendak berbuka agar benar-benar mengetahui secara pasti tentang masuknya waktu maghrib, misalnya dengan terdengarnya suara adzan dari berbagai penjuru. Jika masih ragu-ragu tentang masuknya waktu maghrib, maka sebaiknya kita mengakhirkan berbuka sampai benar-benar yakin bahwa waktu maghrib telah tiba. Menyegerakan berbuka memang dianjurkan, tapi bukan berarti mengesampingkan sikap kehati-hatian kita dalam menjalankan ibadah puasa.  Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar