Agar Meraih Itqun Minan Nar di Penghujung Ramadhan
Saat ini kita berada di penghujung bulan Ramadhan. Kita memohon pertolongan
kepada Allah agar Dia baguskan ibadah kita, kekhusyukan dan keihlasan kita
untuk meraih ridha-Nya di jelang berakhirnya bulan suci ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut bahwa puasa Ramadhan terbagi tiga bagian, yaitu bagian pertama rahmat (kasih sayang), bagian kedua maghfirah (pengampunan), dan bagian ketiga adalah itqun minan nar (pembebasan dari api neraka).
Apa sebenarnya maksud itqun minan nar dan apa hubungannya dengan Lailatul Qadar?
Sejatinya api yang ada di neraka kita bawa sendiri dari dunia. Api yang kan membakar kita di barzah dan di akhirat berada dalam genggaman kita sendiri.
Apakah saat ini kita mengakui sedang memegang api? Kalau kita tidak mengakui maka bagaimana akan dibebaskan dari api neraka. Kita ambil hadits qudsi ini untuk memahamkan api yang dimaksud.
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَابْنَ آدَمَ! كَمْ مِنْ سِرَاجٍ قَدْ أَطْفَأَتْهُ رِيْحُ الْهَوَى، وَكَمْ مِنْ عَابِدٍ قَدْ أَفْسَدَهُ الْعُجْبُ، وَكَمْ مِنْ غَنِيٍّ أَفْسَدَهُ الِغَنَاءُ، وَكَمْ مِنْ فَقِيْرٍ أَفْسَدَهُ الْفَقْرُ، وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ أَفْسَدَتْهُ الْعَافِيَةُ، وَكَمْ مِنْ عَالِمٍ أَفْسَدَهُ الْعِلْمُ، وَكَمْ مِنْ جَاهِلٍ أَفْسَدَهُ الْجَهْلُ. فَلَوْلاَ مَشَايِخُ رُكَّعٌ، وَشَبَابٌ خُشَّعٌ، وَأَطْفَالٌ رُضَّعٌ، وَبَهَائِمُ رُتَّعٌ، لَجَعَلْتُ السَّمَاءَ مِنْ فَوْقِكُمْ حَدِيْدًا، وَالأَرْضَ صَفْصَفًا، وَالتُّرَابَ رَمَادًا، وَلَمَا أَنْزَلْتُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ قَطْرَةً، وَلَمَا أَنْبَتَتْ فِي الأرْضِ مِنْ حَبَّةٍ، وَلَصَبَبْتُ عَلَيْكُمُ العَذَابَ صَبًّا.
Allah SWT berfirman: “Wahai anak Adam! Betapa banyak lampu telah dipadamkan oleh embusan hawa nafsu; betapa banyak ahli ibadah yang dirusak oleh sikap ujubnya; betapa banyak orang kaya yang dihancurkan oleh kekayaannya; betapa banyak orang miskin yang dibinasakan oleh kemiskinannya; betapa banyak orang sehat yang dirusak oleh kesehatannya, betapa banyak orang pandai yang dibinasakan oleh ilmunya; serta betapa banyak orang bodoh yang dirusak oleh kebodohannya sendiri. Jika bukan karena banyaknya orang tua yang masih melakukan rukuk, anak muda yang beribadah dengan khusyuk, bayi-bayi yang masih menyusu, dan hewan-hewan yang digembala, niscaya Aku jadikan langit di atas kalian menjadi besi, bumi menjadi tandus, dan debu menjadi abu. Serta, tak akan Ku-turunkan hujan bagi kalian setetes pun dari langit, tak akan Ku-tumbuhkan di atas bumi satu benih pun, dan akan Aku timpakan kepada kalian siksa yang keras.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali, dalam kitab Al-Mawaizh fi Al-Ahadits Al-Qudsiyyah).
Artinya api itu adalah kesombongan. Baik karena ilmu, usia, kekayaan, jabatan bahkan juga kebodohan. Karena walaupun sebiji sawi saja kesombongan itu, surga tempat yang suci tidak layak bagi kita sampai kita benar-benar melepaskan api kesombongan itu.
Manusia modern telah menjadi lebih buruk dari Fir'aun dan Namrud. Kalau dulu Fir’aun dan Namrud ya hanya satu tapi sekarang ada banyak big size dan small size Fir’aun dan Namrudz.
Sungguh yang diperlukan di 10 hari yang terakhir ini lebih dari sekadar jungkat jungkit ibadah tanpa jiwa, akan tetapi juga ratapan yang tulus kepada Allah dan air mata untuk memadamkan api yang akan membakar kita itu.
Maka beberapa hari yang tersisa ini adalah peluang dari Allah untuk mengganti api dalam genggaman itu dengan rahmat agung berupa Lailatul Qadar yang kadarnya lebih baik daripada 1000 bulan.
Lailatul Qadar
Menurut Maulana Syekh Hisyam, malam Lailatul Qadar sejatinya terjadi pada saat Al-Qur'an pertama kali turun. Karena kasih sayangnya pada umatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Allah memberi umatnya dengan suatu pemberian yang agung, yang umat terdahulu belum pernah mendapatkannya.
Maka Allah mengabulkan permohonan Rasulullah tersebut. Allah mengirim malaikat Jibril mengabarkan bahwa umatnya akan mendapatkan Lailatul Qadar. Tajalli (pengejawantahan) yang agung yang terjadi pada malam pertama kali turunnya Al-Qur’an akan turun hingga yaumil qiyamah (hari kiamat).
Menurut Syekh Hisyam Kabbani, Lailatul Qadar tidak terjadi pada malam ini atau malam itu tapi malam waktu pertama kali turunnya Al-Qur’an.
Sehingga, bila hamba mendekati Allah dengan hati yang ikhlas maka akan dibusanai dengan tajalli Lailatul Qadar sejauh kesungguhan dan niat tulusnya. Bila tanggal 21 berdiri dengan qiyam dan doa dan seterusnya, maka akan menjadi barakah di atas barakah.
Pada malam Lailatul Qadar para malaikat dan malaikat khusus Lailatul Qadar turun. Jumlah bilangan malaikat yang turun saat itu sama dengan jumlah pohon dan batu yang di alam semesta.
Mereka turun untuk memberkati umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengamini doa mereka membusanai mereka dengan tajalli Lailatul Qadar. Malaikat jibril akan menyalami mereka.
Ikhtiar ini memerlukan hati tetap terjaga, jangan sampai terlena maka peluang akan jadi sia sia.
Sangat terbuka bagi mukmin siapa saja mengganti api di genggamannya dengan kesucian dan keagungan Lailatul Qadar. Kesucian (purity) anugerah agung yang menyertai tajalli itulah yang harus digenggam dan dipertahankan hingga akhir zaman.
Hati yang Hancur
Dalam ikhtiar itu maka di hari yang tersisa di Ramadhan yang mulia ini, para ulama mengajak kita meningkatkan ikhtiar menuju kepada Allah dengan ibadah, tilawah, dzikir, munajat, dan air mata. Mendekat kepadaNya dengan hati yang hancur.
Telah berlalu usia kita dan kita tidak sungguh-sungguh dalam berdoa dan bertaubat.
Syekh Abdul Karim pernah mengisahkan bahwa ketika Nabi Musa dan Fir’aun berlomba lomba untuk memutar arah aliran sungai nil, doa nabi Musa tidak dikabulkan Allah, justru doa Fir’aun yang dikabulkan. Hal demikian karena sebelum duel itu Nabi Musa pulang tidur dan Fir’aun masuk ke kamar dan memohon pertolongan kepada Allah. (Fir’aun sebenarnya mengakui kebenaran Tuhan Musa, tapi ia memilih kesombongannya).
Dikisahkan juga para Sultan Turki Ustmani selalu mengirim surat ke Madinah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (meski beliau sudah wafat) untuk memohon syafaat atas suatu masalah besar yang mereka hadapi. Mereka mengakui kelemahan mereka dan tidak menyombongkan diri.
Dikisahkan pula bahwa Nabiyullah Adam memohon ampunan baru dimaafkan setelah 350 tahun.
Artinya, tidak ada yang datang dengan gratis tanpa usaha dan air mata. Allah bersama mereka yang hatinya hancur.
Doa Habib Ali Zainal Abidin dalam sujud beliau di Ka'bah ini sangat baik untuk melunakkan hati kita:
“Inilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah pengemis-Mu di halaman kebesaran-Mu. Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu, sekiranya sejak Engkau menciptakan aku, sejak masa permulaanku aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu, dengan setiap lembar rambutku, setiap kejam mataku sepanjang masa, dengan pujian dna syukur segenap makhluk-Mu, maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku. Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku, dan menanami buminya dengan lembar-lembar alis mataku, dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu. Sekiranya, setelah itu, Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk, Engkau besarkan tubuh dan ragaku, Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi yang disiksa selainku, tidak ada lagi kayu bakar selain diriku, maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.”
Kalau kita benar-benar menginginkan Lailatul Qadar maka kita akan mendapatkannya. Bila kita mendekati Allah dengan keikhlasan dan kesungguhan maka bukan kita yang mencari Lailatul Qadar tapi Lailatul Qadar yang mencari kita.
Kata ulama, lupakan malam-malam tertentu, tingkatkan saja amal ibadah dengan niat yang ikhlas di hari yang tersisa dengan niat mengikuti sunnah nabi, maka Lailatul Qadar pasti akan menghampiri. Kita niatkan malam penghujung Ramadhan ini adalah untuk merenungi malam pertama kita di alam barzah dan bekal kita menghadapi kegoncangan yaumil qiyamah dengan tenang dan iman kepada-Nya.
Sungguh sepuluh hari terakhir Ramadan adalah waktu yang spesial, tapi bagi Allah yang lebih spesial lagi adalah amal kita di dalamnya. Wallahu a'lam bishshawab. []
Moh Yasir Alimi, pengurus Masjid Al Ikhlas Semarang; Wakil Ketua PWNU Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar