Hukum Shalat Jumat Online atau Live Streaming via Media Sosial
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online yang terhormat, masyarakat pada sebagian negara di Eropa tetap melaksanakan ibadah shalat Jumat secara online di tengah penutupan masjid karena Covid-19. Mereka mengikuti secara langsung pelaksanaan shalat Jumat dari kediaman masing-masing. Bagaimana penjelasan agamanya? Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb.
Zaki Mubarok – Tangsel
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pelaksanaan shalat Jumat dari kediaman masing-masing yang dipandu oleh imam dan khatib melalui siaran radio seperti di London dan siaran langsung/live streaming via akun facebook di Finlandia menjadi alternatif di tengah upaya pencegahan Covid-19 melalui jaga jarak fisik dan social distancing atau pembatasan sosial.
Yang harus diingat bahwa shalat Jumat harus dilaksanakan secara berjamaah. Persoalannya terletak antara lain di sini. Menurut kami, sejauh prinsip shalat berjamaah terpenuhi, maka shalat Jumat dengan live streaming via media sosial atau media arus utama seperti stasiun radio dapat menjadi alternatif pelaksanaan shalat Jumat di tengah pencegahan Covid-19.
Ulama menggambarkan setidaknya tiga posisi imam dan makmum dalam shalat berjamaah. Pertama, keduanya berada di dalam bangunan yang sama, yaitu masjid. Kedua, keduanya berada di tanah terbuka. Ketiga, imam berada di masjid. Sedangkan makmum berada di luar masjid. Pada poin ketiga ini ulama berbeda pendapat.
Ulama Syafi’iyah membuat ketentuan lebih rinci perihal poin ketiga. Mereka menyatakan bahwa jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta dan tidak boleh terhalang oleh apapun. Artinya, dalam konteks ini, makmum harus mengikuti siaran live streaming imam/khatib yang disiarkan dari masjid terdekat tanpa terhalang oleh apapun.
Mazhab Syafi’i menghitung jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta kurang lebih berdasarkan urf (lebih tiga hasta masih boleh), yang terhitung dari akhir shaf di masjid, akhir masjid, atau pekarangan netral antara masjid lahan mati. Mazhab Syafi'i menyatakan tidak sah shalat Jumat di mana sesuatu menghalangi imam di masjid dan makmum di rumah.
Sementara Imam Atha tidak mempermasalahkan jarak antara imam dan makmum. Menurutnya, shalat berjamaah (dan Jumat) tetap sah meski kedua berjarak satu mil bahkan lebih sejauh makmum mengetahui gerakan imam. (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, Syarhul Muhadzdzab, [Beirut, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz IV, halaman 182).
Adapun Imam Malik mengatakan bahwa shalat berjamaah keduanya sah, kecuali shalat Jumat. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan pelaksanaan shalat imam dan makmum tetap sah baik shalat berjamaah maupun shalat Jumat.
لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الامام في المسجد وحال بينهما حائل لم يصح عندنا وبه قال احمد وقال مالك تصح إلا في الجمعة وقال أبو حنيفة تصح مطلقا
Artinya, “Jika seseorang melakukan shalat di rumah atau sejenisnya dengan mengikuti shalat imam di masjid–sementara keduanya terhalang oleh sesuatu–maka shalatnya tidak sah menurut kami (mazhab Syafi’i). Imam Ahmad juga memiliki pendapat yang sama. Menurut Imam Malik, pelaksanaan shalat berjamaah seperti ini sah kecuali pada shalat Jumat. Tetapi bagi Abu Hanifah, pelaksanaan shalat seperti ini sah secara mutlak (baik shalat Jumat maupun berjamaah),” (An-Nawawi, 2010 M: IV/182).
Guru kami almarhum KHM Syafi’i Hadzami (Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 M) pernah membahas persoalan serupa, yaitu orang sakit. Sementara pembahasan kita dimaksudkan untuk orang sehat. Muallim Syafi’i Hadzami (1931-2006 M) pada medio awal 1970-an mencoba menjawab pertanyaan bagaimana caranya bila seseorang sedang sakit keras yang dijawabnya melalui pandangan mazhab Syafi’i. Dapatkah seseorang yang sakit keras tersebut mengikuti Jumat dengan mendengarkan radio sekaligus sambil tiduran/rebah?
“Orang sakit yang dapat permisi meninggalkan sembahyang Jumat tentu saja boleh mendengarkan khutbah melalui transistor di rumahnya, sambil berbaring di tempat tidurnya. Tetapi, dia tidak bisa mengikuti shalat Jumat yang diadakan di masjid yang jauh antara jarak rumahnya itu sejauh tiga ratus hasta atau dia lebih terkemuka ke arah kiblat daripada imam masjid yang terdengar suaranya di radio. Alhasil, tidak bisa, selama syarat-syarat berjamaah tidak terpenuhi, di antaranya jangan ada dinding antara dia dengan imam. Lagi pula kalau listrik mati atau baru baterai habis, buntu jamaahnya. Alhasil, banyaklah mawani‘ yang tidak mengesahkan sembahyang berjamaah kepada imam di radio. Sembahyang imamnya radio, lucu kedengarannya. Saya melihat suatu ta‘liq pada juz ke II dari Kitab Fiqhussunnah bagi Assayyid Sabiq, halaman 121 sebagai berikut:
أفتى العلماء بعدم صحة الصلاة خلف الراديو
Artinya, ‘Telah berfatwa ulama dengan ketiadaan sah sembahyang di belakang radio,’” (Lihat KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah, 100 Masalah Agama, [Kudus, Menara Kudus: 1982 M], juz III, halaman 180).
KHM Syafi’i Hadzami mengutip juga Al-Majmu’ karya An-Nawawi yang memberikan pilihan antara shalat Jumat di masjid atau shalat zuhur bagi orang yang tidak terkena kewajiban Jumat. Tetapi ia tidak menyarankan shalat Jumat di belakang radio. (Hadzami, 1982 M: 181).
Jika mengikuti pandangan ulama Syafi'iyyah serta Ahmad bin Hanbal dengan catatan tanpa penghalang; dan pandangan Imam Abu Hanifah yang menyatakan sah pelaksanaan shalat Jumat di mana imam di masjid dan makmum di rumah, maka poin yang perlu diperhatikan dalam shalat Jumat dengan live streaming atau siaran langsung via media sosial adalah soal pengetahuan makmum atas gerakan imam. Ini sangat krusial dalam pelaksanaan shalat Jumat yang mengharuskan berjamaah karena adanya ketentuan di mana makmum tidak boleh tertinggal dari imam beberapa rukun fi’li atau gerakan imam.
الشرط الثاني العلم بالأفعال الظاهرة من صلاة الامام وهذا لا بد منه نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب ثم العلم قد يكون بمشاهدة الامام أو مشاهدة بعض الصفوف وقد يكون بسماع صوت الامام أو صوت المترجم في حق الأعمى والبصير الذي لا يشاهد لظلمة أو غيرها وقد يكون بهداية غيره إذا كان أعمى أو أصم في ظلمة
Artinya, “Syarat kedua adalah mengetahui gerakan fisik pada shalat imam. Tentu ini tidak boleh tidak, sebagaimana nash As-Syafi’i dan disepakati ashab. Lalu, pengetahuan (atas gerakan imam) dapat terjadi dengan menyaksikan imam atau menyaksikan sebagian shaf. Pengetahuan juga dapat terjadi dengan mendengarkan suara imam atau suara penerjemah bagi jamaah disabilitas netra/jamaah yang melihat tetapi tidak dapat menyaksikan karena faktor gelap atau faktor lainnya. Ia dapat terjadi dengan petunjuk lainnya bila jamaah penyandang disabilitas netra atau disabilitas rungu di kegelapan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 357).
Oleh karena itu, untuk menghindari ketertinggalan makmum atas gerakan imam, pihak masjid yang menyiarkan siaran langsung dan juga makmum perlu mempersiapkan perangkat digital yang memadai untuk memaksimalkan akurasi berjamaah. Mereka perlu memastikan sinyal, baterai, kuota, volume yang cukup, tripod, dan perangkat lainnya.
Kecuali itu, makmum juga harus memerhatikan posisinya dengan posisi imam dalam kaitannya dengan mereka yang melaksanakan shalat Jumat online. Jangan sampai posisi makmum lebih di depan daripada imamnya sebagaimana ketentuan umum perihal shalat berjamaah.
Shalat Jumat secara online tetap tidak mengurangi tuntutan lain dalam ibadah Jumat, yaitu menjaga kesunnahan hari Jumat dan mendengarkan dengan perhatian dua khutbah Jumat.
Pelaksanaan shalat Jumat melalui siaran langsung media sosial dari masjid terdekat dapat menjadi alternatif bagi penduduk Muslim di tengah pencegahan Covid-19 yang mengharuskan jaga jarak fisik ketika fasilitas masjid tidak memadai untuk mematuhi protokol Covid-19.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq Wassalamu ‘alaikum wr. wb. []
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar