Kontemplasi Ramadhan (3)
Bagaimana Meraih Ketenangan Batin?
Oleh: Nasaruddin Umar
Ketenangan batin enak diucapkan, bahkan gampang dinasihatkan kepada orang lain. Namun dalam kenyataannya, ketenangan batin amat sulit digapai. Kesulitan tidak terletak pada bagaimana memahami hakikat ketenangan itu tetapi bagaimana bersahabat dengan kenyataan apapun yang dialami setiap hari. Ketengan batin lebih merupakan akibat daripada sebuah proses. Sebagian orang mengembalikan bahwa ketenteraman batin merupakan anugrah Tuhan. Karena itu kita perlu memahami kiat-kiat mempertahankannya. Kondisi batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal, yaitu ketika semua kebutuhan tercukupi dan mungkin berlebihan. Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan dan kekecewaan hidup lainnya lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT ketimbang kondisi batin yang sedang berkecukupan, baik dari segi kuantitatif maupun segi kualitatif.
Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda satu sama lain. Namun wacana di dalam Islam dibedakan atas beberapa tingkatan kebutuhan, yaitu:
1) Kebutuhan Dharury
Kebutuhan dharury yakni kebutuhan pokok atau basic needs seperti kebutuhan akan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri.
2) Kebutuhan Hajjiyat
Kebutuhan hajjiyat yakni kebutuhan yang penting tetapi belum menjadi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan akan sebuah tempat tinggal, kendaraan, dan alat komunikasi.
3) Kebutuhan Tahsiniyyat
Kebutuhan tahsiniyyat yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap (luxury), seperti perabotan yang bermerek, aksessori kendaraan, dan handphon yang lebih canggi.
Seseorang yang berada dalam tingkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati karena perjalanan spiritual dalam kondisi seperti ini seringkali jalan di tempat. Bahkan berpeluang untuk diajak turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia. Berbeda jika seseorang sedang dirundung duka, sedang diuji dengan kebutuhan mendesak, atau sedang dilanda penyesalan dosa yang mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan yang bersifat materi.
Ada dua beban hidup yang tidak bisa satu atap dengan ketenangan, yaitu beban rasa bersalah dan beban rasa bersalah. Beban rasa berdosa terjadi jika seseorang rajin menumpuk dosa dan pelanggaran perintah dan ajaran Tuhan, seperti berzina, berbohong, korupsi, dan membicarakan aib orang lain. Rasa bersalah terjadi jika seseorang sering berbuat kesalahan kepada saudaranya sendiri, seperti tidak menepati janji, khianat, mendhalimi, memfitnah, dan lain-lain. Selama rasa berdosa dan rasa bersalah ini tidak dibersihkan tidak akan pernah ada ketenangan abadi.
Bulan suci Ramadhan datang untuk menyucikan kita. Disebut Ramadhan, artinya membakar, yaitu diharapkan mampu membakar hangus seluruh dosa-dosa yang pernah dilakukan. Dengan demikian rasa berdosa bisa hilang seiring dengan banyaknya amal kebajikan yang dilakukan di dalam bulan Ramadhan. Allah berfirman: Innl hasanat yudzhibnas sayyi'at (sesungguhnya perbuatan baik menghapuskan dosa-dosa/Q.S. Hud/11:114). Orang-orang yang mengoptimalkan amaliah Ramadhan diharapkan bisa mengikis habis dosa-dosa masa lampunya. Seusai Ramadhan yang bersangkutan seperti diungkapkan dalam hadis, kembali seperti bayi yang putih tanpa dosa. Idul Fitri menjadi saksi adanya hamba yang kembali berbuka setelah menjalani masa puasa sebulan penuh. Di samping itu juga menjadi tanda kembalinya seorang hamba ke dalam jati diri yang paling luhur.
Seusai Ramadhan, tradisi Indonesia dilakukan Halal bi Halal, sebuah upaya untuk menghilangkan rasa bersalah yang telah diperbuat terhadap saudara-saudaranya. Saling bersalam-salaman dan sekaligus saling memaafkan satu sama lain, diharapkan mengikis habis seluruh beban dipundak. Rasa berdosa telah dibersihkan oleh Ramadhan dan rasa bersalah dibersihkan melalui halal bi halal. Di sinilah indahnya bulan suci Ramadhan. Mengangkat martabat kemanusiaan anak manusia yang tadinya terpurut karena salah pilih memilih jalan kehidupan. Demikianlah Ramadhan, menjanjikan ketenangan abadi, Alhamdulillah. []
DETIK, 20 April 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar