Rabu, 27 Mei 2020

(Ngaji of the Day) Bagaimana jika Tersisa Bau Deterjen pada Pakaian yang Dibilas dari Najis?

Bagaimana jika Tersisa Bau Deterjen pada Pakaian yang Dibilas dari Najis?

 

Kebersihan adalah hal yang sangat diperhatikan oleh Islam. Salah satunya adalah dengan adanya pensyariatan izalatun najasah (menghilangkan najis). Pakaian yang hendak digunakan untuk shalat, harus suci dari najis.

 

Sudah menjadi hal yang sangat lumrah di masyarakat ketika mencuci pakaian, menggunakan deterjen/sabun cuci. Demikian pula saat menghilangkan najis dari pakaian, tidak bisa dilepaskan dari deterjen.

 

Praktik yang umum terjadi adalah setelah menghilangkan bentuk najis dan sifat-sifatnya, masih menyisakan bau deterjen yang digunakan untuk menghilangkan bentuk najis dan sifat-sifatnya. Bagaiamana fikih menyikapi hal yang demikian?

 

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tata cara menghilangkan najis adalah terlebih dahulu menghilangkan bentuk najis dan sifat-sifatnya, meliputi warna, rasa, dan bau. Setelah semuanya hilang, pakaian dalam konteks ini baru dibilas menggunakan air yang jernih.

 

Lalu bagaimana jika setelah dibilas, masih menyisakan bau deterjen?

 

Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat Syekh Al-Thabalawi, hukumnya suci. Menurutnya, yang menjadi tolak ukur adalah hilangnya najis dan sifat-sifatnya sehingga sisa bau deterjen tidak memberikan pengaruh apapun. Berpijak dari pendapat ini, pakaian dan air menjadi suci dan sudah dianggap mencukupi dalam menghilangkan najis.

 

Sementara menurut pandangan Syekh Muhammad Al-Ramli, status pakaian itu tetap najis. Menurutnya, dalam kondisi demikian, najis telah bercampur dan melebur menjadi satu dengan deterjen.

 

Ar-Ramli menganalogikan permasalahan ini dengan kasus pakaian yang disablon dengan pewarna yang najis. Menurut Al-Ramli, pakaian tersebut tidak bisa menjadi suci sampai bau deterjen hilang sehingga air pembilasnya menjadi betul-betul jernih. Namun demikian, menurutnya hukumnya ma’fu (dimaafkan) untuk kadar yang sulit dihilangkan dari bau deterjen.

 

Syekh Ali bin Ahmad Bashabrin Al-Hadhrami menegaskan:

 

قوله (مسألة) لو زالت النجاسة بالاستعانة بالصابون وبقي ريح الصابون طهر قاله الطبلاوي وقال (م ر) لا تطهر حتى تصفو الغسالة إهـ

 

Artinya, “Sebuah permasalahan. Jika najis hilang dengan sabun dan masih tersisa bau sabun, maka ia suci. Hal ini dikatakan oleh Syekh At-Thabalawi. Sedangkan Imam Ar-Ramli berkata, tidak suci sampai basuhan pembilasnya menjadi jernih,” (Lihat Syekh Ali bin Ahmad Bashabrin Al-Hadhrami, Itsmidul ‘Ainain fi Ba’dhi Ikhtilafis Syaikhaini, halaman 12).

 

Dalam referensi lain disebutkan:

 

قوله (فرع) إذا غسل ثوبا متنجسا بالصابون حتى زالت عين النجاسة قال م ر جوابا بالسؤال على الفور يصير لأثر الصابون حكم الصبغ فلا يطهر حتى تصفو الغسالة من لون الصابون مع عدم الزيادة ثم قال ينبغي أن المقدار الذي يشق استقصاؤه يكون معفوا عنه فليتأمل إهـ سم

 

Artinya, “Cabangan permasalahan. Jika seseorang membasuh pakaian najis dengan sabun hingga bentuk najis menjadi hilang, Imam Ar-Ramli menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat bahwa sisa sabun memiliki hukum yang sama dengan permasalahan pewarna, maka tidak suci sampai basuhan pembilasnya jernih dari warna sabun serta tidak bertambah kadarnya. Kemudian ia berkata, seyogianya kadar (sisa sabun) yang sulit diusahakan hilang hukumnya dimaafkan,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘ala Fathil Wahhab, juz I, halaman 193).

 

Demikian penjelasan tentang problematika ini. Walhasil, dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Kita diperbolehkan untuk mengikuti masing-masing dari kedua pendapat tersebut, dengan tetap saling menghormati dan menghargai pihak lain.

 

Hanya saja, sebaiknya saat mencuci pakaian najis dengan deterjen, menggunakan tata cara yang disepakati oleh ulama. Sebab keluar dari ikhtilaf ulama hukumnya sunah.

 

Tata cara yang paling ideal dan disepakati oleh para ulama adalah setelah bentuk dan sifat-sifat najis hilang dengan deterjen, pakaian diperas dan dibilas dengan air jernih sampai bau deterjen hilang. Setelah bau deterjen hilang, baru dibilas untuk yang terakhir kalinya dengan air jernih. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar