Virtual Community
Oleh: Komaruddin Hidayat
Dua bulan mengikuti anjuran "tinggal di rumah
saja", banyak pengalaman dan perasaan baru yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Yang pertama dirasakan adalah kehilangan kebebasan untuk bergerak
di luar rumah, baik untuk keperluan pekerjaan kantor, mengajar di kelas,
menghadiri seminar, salat jamaah di masjid, berkumpul dengan teman-teman,
berkunjung ke rumah famili, menengok teman di rumah sakit, maupun berolahraga
di lapangan golf.
Seminggu pertama tinggal di rumah suasana batin masih
biasa saja, bahkan hidup terasa lebih rileks kumpul keluarga, terbebas dari
suasana kemacetan jalan raya. Tetapi memasuki hari-hari berikutnya, pikiran dan
emosi perlu adaptasi dengan suasana baru yang mulai menjemukan. Rupanya naluri
orang sebagai "wanderer being", makhluk yang senang bergerak untuk
berkelana dan bereksplorasi, akan tertekan jika hidup dalam kurungan.
Muncul perasaan letargik, yaitu jenuh, tidak fokus,
mudah emosi, kurang bergairah, dan cemas. Untunglah sekarang ada fasilitas
internet, Wi-Fi, dan telepon seluler sehingga mengurangi perasaan sepi sendiri.
Meski tinggal di rumah, kita bisa melakukan eksplorasi dan berselancar di
lautan dunia maya yang sangat luas. Bisa menonton film, membaca segala macam
buku. Lewat YouTube kita bisa melihat dan mendengarkan ceramah, diskusi, debat,
orkestra, komedi, dan sebagainya.
Aktivitas baru yang fenomenal adalah work from home
(WFH) dan mengikuti diskusi keilmuan serta keagamaan secara virtual. Jika
sebelum pandemi salah satu agenda saya adalah memberi ceramah dan menghadiri
forum diskusi keilmuan, selama stay at home ini ternyata semua itu tetap bisa
dilakukan, namun secara virtual—lewat media daring.
Kegiatan ini sangat menghibur dan produktif.
Komunikasi dengan teman-teman tetap berlangsung. Kadang bingung untuk membuat
pilihan ketika menerima beberapa undangan dalam waktu yang bersamaan yang
semuanya menarik diikuti. Saya ikut tidak selalu sebagai pembicara, tetapi
lebih banyak sebagai pendengar layaknya seorang mahasiswa duduk manis di kelas.
Dan itu saya nikmati betul.
Dengan mengikuti berbagai forum diskusi virtual, saya
semakin menyadari munculnya banyak intelektual muda dalam berbagai bidang
keilmuan dengan kualitas akademik yang tidak diragukan. Atau setidaknya banyak
pencinta ilmu yang serius dan terus mengembangkan dirinya.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dari suasana keilmuan
ketika saya berada pada usia mereka. Dua puluh tahun lalu, aktivis sosial dan
ilmuwan yang meraih strata kesarjanaan S2/S3 masih langka. Alumni universitas
luar negeri masih jarang. Hari ini beragam sarjana dengan latar belakang
disiplin keilmuan bermunculan dan mereka bisa bertukar pikiran melalui diskusi
virtual, tanpa semangat menggurui. Semua merasa setara karena siapa saja bisa
mengakses sumber informasi keilmuan tanpa harus duduk menjadi mahasiswa, tetapi
melalui e-book atau mengikuti ceramah di YouTube dari ilmuwan kelas dunia.
Komunitas virtual yang saya ikuti umumnya bersifat
egaliter dan dialogis. Beda dari mendengarkan ceramah umum yang kadang bersifat
ideologis dan provokatif. Di masa pandemi ini praktis tak ada kerumunan massa.
Orang terkondisikan tinggal di rumah untuk melakukan kontemplasi, membaca buku,
dekat pada Tuhan, dan menumbuhkan sikap empati pada teman-teman kita yang
memerlukan bantuan. Ini sebuah peluang untuk belajar dan beramal.
Ada beberapa teman yang khawatir berakhirnya pandemi
ini akan mengakhiri diskusi virtual yang mulai terbangun dengan bagus dan
produktif ini. Mengadakan acara diskusi keilmuan off-air di atas 100 orang itu
sangat mahal biayanya, termasuk melawan kemacetan di jalan. Semoga saja
berbagai acara sarasehan yang dilakukan setiap minggu selama pandemi setidaknya
tetap bisa dilakukan sebulan sekali. Sayang sekali jika benih tradisi budaya
keilmuan yang mulai tumbuh tadi tiba-tiba layu dan mati dengan matinya
Covid-19. []
KORAN SINDO, 08 Mei 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universita Islam Internasional Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar