Perhiasan Rusak, Apakah Tetap Wajib Dikeluarkan Zakatnya?
Ketika perhiasan yang dimiliki seseorang rusak, apakah ia tetap wajib
mengeluarkan zakat ataukah tidak atas perhiasan itu? Pertanyaan sederhana ini
sepintas memang serasa tidak umum. Namun, kejadiannya banyak dialami oleh
sebagian besar masyarakat kita, khususnya kaum hawa. Apakah kondisi seperti
yang digambarkan dalam pertanyaan tidak memiliki efek secara fiqih? Ternyata
imbasnya cukup besar, bahkan banyak dibahas dan diulas panjang lebar dalam
beberapa kitab turats, sebagaimana masyhur di kalangan pesantren.
Jika kita petakan, umumnya para ulama dalam menyikapi hukum zakat perhiasan ini dikaitkan dengan masalah qashdu (niat) ketika awal membeli perhiasan tersebut. Ada yang memutlakkan peruntukan perhiasan hanya sebagai perhiasan mubah, namun ada kalanya juga untuk aktivitas yang diharamkan. Hukum dari masing-masing perhiasan ini sudah jelas, yaitu untuk perhiasan mubah maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya selagi tidak ada unsur israf (berlebih-lebihan). Batasan israf adalah manakala harga perhiasan yang dipergunakan melebihi nishab emas. Sebenarnya terkait dengan israf ini ada dialektika fiqih yang lain, yaitu pendapat shahih, tetap tidak wajib zakat selagi perhiasan tersebut digunakan oleh orang yang tidak diharamkan penggunaannya (Kifayatu al-Akhyar, I, halaman 181). Namun, dalam konteks adab ijtima’, penulis agaknya lebih condong pada wajibnya zakat untuk menghindari berlomba-lombanya kaum hawa dalam menunjukkan perhiasan di muka umum (saddu al-dzari’ah), apalagi melihat kondisi zaman sekarang yang rawan akan tingkat keamanan bagi pemakainya di muka umum.
Adapun untuk perhiasan yang diharamkan, maka hukumnya dikembalikan sebagai harta kanzun (harta simpanan), sehingga tetap wajib dikeluarkan zakatnya apabila sudah mencapai nishab dan haul. Perhiasan yang dibeli dengan niat hanya untuk disimpan secara otomatis, hukumnya juga masuk harta simpanan sehingga wajib dizakati.
Jika melihat unsur pembagian dua jenis perhiasan sebagai yang diharamkan dan mubah di atas, maka untuk rusaknya perhiasan yang diharamkan, tidak mempengaruhi status wajibnya zakat. Dia tetap dipandang sebagai wajib zakat, selagi tidak ada perubahan niat di tengah-tengah penggunaannya.
Suatu misal, pada waktu seorang laki-laki membeli sebuah perhiasan kalung, ia niat akan dipergunakan sendiri. Maka kalung ini secara otomatis menjadi perhiasan muharram (diharamkan). Untuk itu, ia dihitung wajib zakat, yang hitungan awal haul-nya dimulai semenjak perhiasan itu diterima oleh pembelinya. Namun, bilamana di tengah-tengah masa penggunaannya, tiba-tiba niat tersebut berubah, yang disertai dengan memberikan kalung tersebut kepada istri atau anak perempuannya, maka perhiasan tersebut hukumnya menjadi huliyyun mubah (perhiasan mubah) yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali bila perhiasan yang dikenakannya melebihi nilai 1 nishab. Hitungan awal haul dari huliyyun mubah tersebut, tidak dihitung semenjak ia dipakai oleh istri atau anak perempuan lelaki tersebut, melainkan dihitung semenjak ia awal kali menerima dari hasil membeli.
واعلم أن حكم القصد الطارىء كالمقارن في جميع ما ذكرناه فلو اتخذه قاصدا استعمالا محرما ثم غير قصده إلى مباح بطل حكمه فلو عاد القصد المحرم ابتداء الحول وكذا لو قصد الكنز ابتداء الحول وكذا نظائره
Artinya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hukum “niat yang baru” (al-qashdu al-thari’) adalah seperti “niat yang menyertai” (al-qashdu al-muqarin) dalam segala hal yang telah kami sebutkan. Dengan demikian, jika seseorang membeli perhiasan dengan niat untuk digunakan pada hal yang diharamkan, kemudian berubah menjadi niat untuk dipergunakan dalam perkara mubah, maka otomatis batal hukum muharramnya. Sebaliknya jika kemudian orang tersebut mengubah kembali niatnya untuk dipergunakan pada yang diharamkan maka kembali hukum itu berubah sesuai dengan awal tahun ia dibeli. Hal yang sama juga berlaku, jika seseorang membeli perhiasan dengan niat untuk disimpan saja di awal tahun, maka kebelakangnya bila ada perubahan niat, maka hukum dikembalikan sebagaimana dirinci di atas.” (Kifayatu al-Akhyar, juz I, halaman 181).
Bagaimana bila suatu ketika perhiasan mubah (huliyyun mubah) selanjutnya mengalami kerusakan? Sebagaimana penekanan ditujukan pada niat awal ketika seseorang membeli, maka perhiasan yang rusak ini juga diperinci kembali hukumnya sesuai dengan tingkat kerusakannya. Adakalanya rusaknya perhiasan ini hanya sekedar perlu diperbaiki saja dan kerusakannya tidak menghambat penggunaannya, namun adakalanya juga perhiasan itu rusak berat sehingga harus diperbaiki sebab tidak mungkin dipergunakan tanpa perbaikannya. Yang paling parah, suatu perhiasan bahkan adakalanya, terpaksa harus diubah bentuknya menjadi perhiasan baru atau diubah menjadi emas lantakan (tibran). Dalam kondisi seperti ini, maka hukum yang berlaku atas perhiasan yang rusak itu pun juga dibagi menjadi tiga.
Pertama, perhiasan rusak yang sekedar perlu diservis saja (hajat li al-ishlah) tanpa mengganggu fungsi penggunaannya. Untuk perhiasan mubah dengan tingkat kerusakan yang semacam ini, tidak ada perubahan yang berarti pada status hukumnya sebagai huliyyun mubah. Syeikh Taqiyuddin al-Husny membahasakannya sebagai la ta’tsira li inkisarih (tidak ada pengaruh hukum pada status mubahnya meski mengalami kerusakan). Dengan demikian, hukumnya tidak wajib dipungut zakat, selagi penggunaannya tidak menabrak illat lain, yaitu adanya israf (berlebih-lebihan dalam penggunaannya).
Kedua, perhiasan rusak yang perlu diservis dan tanpanya tidak bisa digunakan lagi. Untuk jenis perhiasan mubah yang mengalami tingkat kerusakan seperti ini, maka hukum perhiasan berubah menjadi wajib dikeluarkan zakatnya. Kerusakan yang terjadi pada perhiasan di tengah-tengah masa penggunaannya, mengubah status hukumnya dari sebelumnya merupakan huliyyun mubah berubah menjadi harta kanzun (harta simpanan). Persoalannya kemudian adalah, kapan dimulai hitungan awal tahunnya? Syeikh Taqiyuddin al-Husny menegaskan bahwa hitungan awal tahun simpanannya dihitung mulai dari awal perhiasan itu pecah atau mengalami kerusakan. Jadi, kalau kemudian di tengah-tengah tahun, pemilik bisa mengembalikannya menjadi perhiasan baru, maka statusnya kembali menjadi huliyyun mubah yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Namun, jika hingga akhir haul, kok tidak ada perbaikan pada perhiasan, maka perhiasan dihukumi sebagai harta simpanan sehingga menjadi bagian yang wajib dihitung sebagai bagian nishab harta zakat.
Ketiga, perhiasan rusak parah sehingga perlu dicetak ulang. Pada dasarnya hukum dari kondisi ketiga ini sama dengan kategori kerusakan level dua di atas. Kesamaan illatnya adalah sama-sama tidak bisa dipergunakan kembali kecuali adanya perbaikan dalam bentuk mencetak ulang, meskipun dalam bentuk lain. Jika niat tidak dicetak ulang, atau ada niat dirupakan bentuk lain seperti menjadi emas atau perak batangan (tibran), maka ia menjadi harta zakawi yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hitungan haulnya dimulai semenjak rusaknya perhiasan tersebut. Bilamana kemudian servisnya diubah menjadi emas perhiasan mubah yang lain, maka tidak dihitung sebagai bagian dari harta zakawi yang wajib dikeluarkan zakatnya. Illat yang dipergunakan adalah karena masih tetapnya status sebagai rupa perhiasan mubah (Kifayatu al-Akhyar, I, halaman 181). Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar