Kamis, 14 Mei 2020

Nasihat Ramadan Ibunda KH Saifuddin Zuhri

Nasihat Ramadan Ibunda KH Saifuddin Zuhri


Masyarakat Muslim seluruh dunia ramai-ramai menyambut datangnya bulan Ramadan dengan riang gembira. Tak terkecuali oleh anak-anak. Mereka bersorak-sorai mengetahui bulan suci itu kembali bisa ditemui.

 

Anak-anak desa di Jawa umumnya menanti pengumuman awal Ramadan di masjid terdekat. Jika kiai mengisyaratkan bulan Ramadan tiba mulai Maghribnya, mereka akan memukul-mukul beduk masjid tersebut sebagai pertanda bagi seluruh masyarakat desa.

 

Hal itulah yang dilakukan oleh KH Saifuddin Zuhri di masa kecilnya dahulu. Ia membuat pemukul beduknya sendiri setelah mencari kayu bagus di sekitar kuburan atau dekat sungai setelah berziarah. Setelah Ramadan itu diumumkan tiba pada malam tersebut, ia dan rekan-rekan sebayanya yang telah memenuhi masjid langsung ramai-ramai memukul beduk. Tradisi demikian disebutnya Tiduran atau Jiduran.

 

Kiai Saifuddin mengajak rekan-rekannya untuk melantunkan bait-bait nazam kitab Barzanji, asyraqal badru, untuk mengiringi irama beduk yang sudah teratur. Mereka pun bersamaan melantunkan bait-bait nazam tersebut sembari membayangkan kehadiran Rasulullah saw. Suasana keriangan mereka pun penuh khidmat.

 

Meskipun anak-anak menyambutnya dengan penuh keriangan, akan tetapi mereka kerap kali keberatan dengan puasa yang harus mereka jalani selama seharian penuh. Bagaimana tidak, biasanya makan tak kenal waktu, lalu tetiba harus ditahan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

 

Tak ayal, di antara mereka harus mencicil puasa mereka. Mulai dari buka puasa pada pagi hari, waktu Dzuhur, hingga waktu Ashar. Tentu saja selepas berbuka di waktu-waktu tersebut, mereka melanjutkan puasanya sampai Maghrib. Tahapan-tahapan demikian mereka tempuh agar kelak mampu bertahan sejak fajar hingga waktu Maghrib saat usia mereka sudah mencapai taklif.

 

Hal itu tidak berlaku bagi seorang Saifuddin Zuhri kecil. Ia tetap merasa senang dengan kehadiran bulan Ramadan itu beserta puasanya. Meskipun lapar dan haus menderitanya, tetapi hal tersebut ditempuhnya bersama dengan rekan-rekan sebayanya sehingga puasa tetapi dijalaninya dengan penuh kesenangan sampai Maghrib benar-benar tiba.

 

Hal itu diperkuat dengan pesan ibunya yang selalu terngiang dan memberi dorongan tersendiri untuk tetap menahan nafsunya agar tidak makan dan minum sebelum beduk Maghrib ditabuh. KH Saifuddin Zuhri menulis pesan ibunya itu dalam bukunya Berangkat dari Pesantren (1987) pada bab 3 Menyongsong Bulan Ramadhan.

 

"Kita kan orang Islam! Orang-orang yang berpuasa Ramadhan kelak di akhirat tidak akan mengalami lapar dan haus."

 

Bagi Kiai Saifuddin saat kecil dahulu, pesan ibunya itu menjadi suplemen yang memperkuat dirinya untuk bertahan dari godaan makan dan minum di siang hari. Kata-kata ibunya itu, tulisnya, berhasil membuat tentram hatinya dan berani menempuh derita lapar saat berpuasa. []

 

(Syakir NF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar