Apakah I'tikaf Wanita Harus Izin Suami?
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, di akhir Ramadhan kita dianjurkan untuk banyak-banyak mendekatkan diri kepada Allah. Selama 10 terakhir Ramadhan kita dianjurkan untuk beritikaf di masjid. Pertanyaan saya, bagaimana dengan kalangan perempuan. Apakah mereka harus meminta izin suami mereka untuk itu? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Nuraini – Bogor
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Perempuan memiliki hak untuk menjalankan ibadah itikaf. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim melalui Sayyidatina Aisyah RA sebagai berikut:
وَعَنْهَا: - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beritikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti itikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW,” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun perihal izin suami dalam kaitannya dengan kesahihan itikaf, ulama berbeda pendapat. Ulama dari Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa izin suami menjadi syarat itikaf istrinya. Dengan demikian, ibadah itikaf perempuan tanpa izin suaminya tidak sah.
Adapun pendapat Mazhab Maliki menyatakan bahwa itikaf seorang perempuan tanpa izin suaminya tetap sah karena izin suami bukan bagian dari syarat ibadah itikaf itu sendiri.
إذن الزوج لزوجته: شرط عند الحنفية والشافعية والحنابلة، فلا يصح اعتكاف المرأة بغير إذن زوجها، ولو كان اعتكافها منذوراً. ورأى المالكية أن اعتكاف المرأة بغير إذن زوجها صحيح مع الإثم
Artinya, “Izin suami atas istrinya menjadi syarat (itikaf) menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Itikaf perempuan tidak sah tanpa izin suaminya meski itu adalah itikaf nazar. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa itikaf seorang permepuan tanpa izin suaminya tetap sah meski dosa,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 706).
Adapun perihal penghentian itikaf oleh suami, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang suami boleh meminta istrinya untuk menghentikan ibadah itikafnya meski telah izin sebelumnya.
Adapun Imam Malik mengatakan bahwa seorang suami tidak berhak untuk meminta istrinya menghentikan ibadah itikaf ketika istrinya telah meminta izin sebelumnya sebagaimana dikutip dari pernyataan Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki berikut ini.
والجمهور على جواز منع زوجها لها من الاعتكاف بعد الإذن وقال مالك ليس له المنع بعد الإذن
Artinya, “Mayoritas ulama membolehkan seorang menahan istrinya untuk itikaf meski sudah izin sebelumnya. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa seorang suami tidak berhak menahan istrinya untuk itikaf setelah istrinya mengajukan izin sebelumnya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 340).
Kami menyarankan pasangan suami dan istri untuk membicarakan baik-baik perihal ibadah itikaf yang direncanakan oleh istrinya. Keduanya juga perlu mempertimbangkan prioritas rumah tangganya di 10 akhir Ramadhan. Pasalnya, ibadah itikaf tidak memungkinkan seseorang untuk keluar dari masjid.
Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar