Durasi Pandemi Covid-19 dan Tata Kelola Distribusi Pangan
Oleh: Bambang Soesatyo
DEFISIT bahan kebutuhan pokok di sejumlah provinsi
mengungkap kembali persoalan klasik tentang tata kelola distribusi yang belum
efektif. Karena itu, semua kementerian dan lembaga terkait harus segera
memperbaiki tata kelola distribusi agar defisit bahan kebutuhan pokok tidak
menambah persoalan baru selama periode pandemi Covid-19.
Peningkatan efektivitas distribusi bahan kebutuhan
pokok di tengah periode pandemi Covid-19 sangat jelas urgensinya. Covid-19
sudah mewabah di semua provinsi. Pembatasan sosial dengan segala konsekuensinya
menyebabkan masyarakat tidak nyaman. Jangan sampai defisit bahan kebutuhan
pokok menambah persoalan. Efektivitas distribusi bahan kebutuhan pokok harus
segera ditingkatkan agar tidak ada lagi daerah yang harus mengalami kekurangan
bahan kebutuhan pokok. Siapa pun paham bahwa ketika defisit kebutuhan pokok
mencapai skala yang ekstrem, persoalan akan melebar tidak karuan.
Semua kementerian dan lembaga (K/L) terkait perlu
menggarisbawahi dua pernyataan Presiden Joko Widodo yang sudah dipublikasikan.
Pertama , pernyataan tentang defisit kebutuhan pokok di sejumlah daerah itu.
Kedua , ketika Presiden mengingatkan potensi gelombang kedua persebaran dan
penularan Covid-19 di dalam negeri dan memerintahkan semua aparatur negara
memperketat pengawasan pada klaster-klaster baru persebaran Covid-19.
Klaster-klaster susulan itu meliputi lalu lintas pekerja migran, jamaah tablig
di Gowa (Sulawesi Selatan), dan rembesan pemudik. Presiden sudah menerima data
tentang 89.000 pekerja migran yang tiba di Indonesia. Bahkan, ada kemungkinan
16.000 lagi pekerja migran akan tiba.
Siapa pun tidak mengharapkan terjadinya gelombang
kedua persebaran dan penularan Covid-19 di dalam negeri. Sebaliknya, kerja
nyata memutus rantai penularannya harus semakin diintensifkan. Itu sebabnya
Presiden mengajak semua elemen masyarakat menargetkan penurunan jumlah pasien
Covid-19 sepanjang Mei 2020 ini.
Namun, skenario terburuk harus tetap diperhitungkan. Jika
gelombang kedua penularan itu menjadi kenyataan, durasi pandemi Covid-19
menjadi berlarut-larut. Ketidaknyamanan yang sekarang dirasakan bersama pun
akan berkepanjangan pula. Agar tidak mengeskalasi masalah baru sepanjang
pandemi Covid-19, persoalan defisit bahan kebutuhan pokok tingkat provinsi
tidak boleh terjadi lagi.
Pada masa lalu, faktor konektivitas antarpulau dan
transportasi sering mengganggu distribusi bahan kebutuhan pokok di seluruh
wilayah. Faktor lain yang juga patut dicermati adalah kemungkinan perbedaan
data antarinstitusi atau K/L tentang kebutuhan dan stok. Persoalan ego-sektoral
pun tidak jarang menjadi faktor yang merusak koordinasi antarinstitusi.
Kemudian, kalau temanya tentang pengelolaan kebutuhan
pokok tingkat provinsi atau wilayah, kepedulian dan kemauan untuk proaktif para
kepala daerah menjadi sangat penting. Tinggi-rendahnya permintaan dan stok
bahan kebutuhan pokok daerah itu harus menjadi perhatian para kepala daerah
dari hari ke hari. Persoalan ini hendaknya segera diatasi semua K/L terkait dan
para kepala daerah untuk menghindari defisit bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Apalagi, sejak pandemi Covid-29 memunculkan kecemasan
akan ketersediaan bahan pangan, masyarakat sudah diberi tahu bahwa pemerintah
menjamin dan sudah mengamankan 11 bahan kebutuhan pokok masyarakat. Stok beras,
daging sapi dan ayam, minyak goreng, telur, bawang putih, bawang merah, aneka
cabai, dan gula dipastikan tersedia dalam jumlah yang cukup. Jaminan dari
pemerintah itu pun sudah terbukti sebagaimana dilaporkan sejumlah daerah.
Karena melimpah, harga telur ayam bahkan sampai turun, demikian juga dengan
beras, gula, daging sapi dan daging ayam.
Pertanyaannya, mengapa ada begitu banyak daerah
defisit bahan kebutuhan pokok? Sudah pasti karena pola distribusi yang belum
efektif. Distribusi dari daerah sentra produksi atau daerah surplus ke pasar di
seluruh wilayah Tanah Air belum berjalan sebagaimana seharusnya.
Kepedulian Daerah
Padahal, oleh faktor kesuburan tanah dan kecocokan
tanaman pangan, sentra-sentra produksi bahan pangan di dalam negeri sudah
terbentuk dengan sendirinya sejak dahulu kala. Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi, serta sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan tercatat
sebagai lumbung beras nasional. Komoditas pangan lainnya, mulai tanaman
sayuran, bawang, cabai, hingga gula, memiliki sentra produksinya masing-masing.
Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi pemasok daging sapi
yang dibutuhkan banyak provinsi lainnya. Sentra produksi telur dan daging ayam
tersebar di berbagai daerah. Tantangannya adalah mewujudkan konektivitas semua
sentra produksi bahan pangan itu ke seluruh provinsi agar bahan pangan itu
terdistribusikan ke pasar-pasar di setiap daerah.
Defisit bahan kebutuhan pokok yang terjadi pada
periode pandemi Covid-19 saat ini hendaknya mendorong pemerintah sebagai
regulator, khususnya semua K/L terkait, membenahi dan meningkatkan efektivitas
distribusi bahan pangan. Tata kelola distribusi yang terjaga tidak hanya
menjamin ketersediaan, tetapi juga menjadi instrumen yang mampu mencegah
gejolak harga.
Tidak kalah pentingnya kepedulian pimpinan daerah,
baik gubernur, bupati, ataupun wali kota. Sepanjang periode pandemi Covid-19,
semua kepala daerah hendaknya tidak hanya fokus pada penerapan pembatasan
sosial untuk cegah-tangkal penularan Covid-19, tetapi juga peduli dan sensitif
terhadap stok kebutuhan pokok masyarakat setempat.
Untuk mencegah panic buying , kekurangan stok setiap
bahan kebutuhan pokok tidak boleh mencapai skala yang ekstrem. Karena itu, para
menteri ekonomi dan semua kepala daerah harus peduli sekaligus mengamankan
rantai distribusi semua bahan kebutuhan pokok masyarakat. Efektivitas
koordinasi harus terus diperbaiki dan ditingkatkan. Penerapan pembatasan sosial
hingga PSBB (pembatasan sosial berskala besar) tidak boleh memutus atau merusak
rantai distribusi bahan kebutuhan pokok.
Belum lama ini, Presiden sendiri yang mengungkap
terjadinya defisit bahan kebutuhan pokok di sejumlah daerah atau provinsi.
Kalau hal ini harus disuarakan langsung oleh Presiden, tentu karena para
pembantu presiden dan para kepala daerah terlambat atau belum menangani persoalannya.
Misalnya, defisit stok beras terjadi di 7 provinsi, stok jagung defisit di 11
provinsi, stok cabai besar defisit di 23 provinsi, stok cabai rawit defisit di
19 provinsi, stok telur ayam defisit di 22 provinsi, dan stok gula pasir
defisit di 30 provinsi.
Kekurangan stok bahan kebutuhan pokok di beberapa
daerah itu mestinya bisa dihindari, karena ketersediaannya di dalam negeri
dilaporkan lebih dari cukup. Telur ayam melimpah di pasar, begitu juga gula
pasir dan ketersediaan jagung. Bahkan stok beras dilaporkan surplus hingga Juni
2020. Kalau ada daerah yang mengalami defisit beras, jagung, telur ayam, gula
pasir, masalahnya tentu pada lalu lintas informasi antarinstitusi yang tidak
efektif.
Akibatnya, komoditas yang tersedia tidak
terdistribusikan ke daerah yang butuh atau defisit. Masalah lain yang perlu
diwaspadai adalah kemungkinan terganggunya rantai distribusi dari daerah
surplus ke daerah defisit akibat penerapan pembatasan sosial. Hal ini harus
segera diatasi para menteri dan kepala daerah untuk mencegah panik masyarakat.
Dalam situasi ketika pandemi Covid-19 masih
berlangsung, kepedulian semua kepala daerah terhadap keamanan stok bahan
kebutuhan pokok masyarakat di daerahnya masing-masing sangat penting. Penerapan
pembatasan sosial memang masih harus dilanjutkan. Tetapi perhatian pada
penerapan pembatasan sosial itu tidak boleh mengurangi kepedulian atau urgensi
mengamankan stok kebutuhan pokok masyarakat di setiap provinsi. []
KORAN SINDO, 08 Mei 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar