Jejak dan Derap Peradaban Islam (6)
Antara Kontinutas dan Orisinalitas
Oleh: Nasaruddin Umar
Islam tidak dilahirkan di dalam ruang kosong yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sudah sarat dengan budaya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak pernah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang samasekali baru. Ia bahkan dengan tawadhu' dikatakan dalam hadisnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia" (innama bu'itstu li utammim makarim al-akhlaq). Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan peradabannya yang yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengejar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (utulub al-'ilm wa lau bis Shin). Ia juga mengatakan: "Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di manapun kalian temukan" (al-hikmah dhalah al-mu'min fahaitsu wajadaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur'an juga sejak awal menyerukan pentingnya memelihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala sesuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikatakan: "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya" (la nufarriq baina ahadin min rusulih). (Q.S. al-Baqarah/2:285).
Dengan demikian, pola imitative budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang dipopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid'ah hassanah, sebuah kelanjutan tradisi yang konstruktif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tentang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. Kebudayaan dan peradaban (civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dengan budaya dan peradaban sebelumnya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit diingkari. Di manapun dan sejak kapanpun dalam lintasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sintesa dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumrah dan wajar, karena bukankah pada mulanya anak manusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)?
Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke
zaman memiliki nilai-nilai universal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam
sebagai jaran yang sarat dengan nilai-nilai universal sudah barang tentu
memiliki pola dialektik sejarahnya. Dengan kata lain, satu sisi harus
mempertahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi
lain harus mampu menembus batas-batas geografis dengan separangkat nilai-nilai
lokalnya. Dalam kenyataan dialektika sejarah Islam, selain harus
"menjinakkan" sasaran-sasarannya maka ia pun harus dijinakkan oleh
sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak
benua India, dan Nusantara, maka terlebih dahulu ia harus mengalami proses
pemesiran, pemersian, pengindian, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam
periode awal, Islam yang lahir dan tumbuh di jazirah Arab lalu berekspansi
keluar di kawasan sekitarnya, maka nilai-nilai Islam pun harus mengalami
penyesuaian ke dalam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall
Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagia Barat. []
DETIK, 21 April 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar