Pergi Jauh Setelah Subuh, Bolehkah Tak Berpuasa Ramadhan?
Puasa Ramadhan merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Sebagaimana pada umumnya kewajiban dalam Islam, tidak ada tekanan sampai di luar kemampuan masing-masing hamba. Orang harus shalat dengan berdiri jika mampu. Apabila tidak, boleh dengan duduk. Duduk tidak kuat, tidur miring boleh, dan seterusnya.
Begitu pula orang puasa. Bagi orang-orang yang tidak mampu, boleh meninggalkan puasa dengan beberapa ketentuan ibu hamil, menyusui, orang sakit, orang lanjut usia serta orang yang sedang bepergian jauh dengan ukuran jarak minimal masafatul qashri yaitu jarak orang diperbolehkan untuk qashar shalat (88,749 km).
Di antara dalil yang memberikan toleransi bagi orang yang bepergian jarak jauh diperbolehkan tidak puasa adalah:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: “Barangsiapa di antara kalian sedang sakit atau perjalanan, maka gantinya adalah pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah: 184)
Salah satu hadits Rasulullah dari Ka’b bin Ashim juga menyebutkan, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ
Artinya: “Tidak ada kebaikannya sama sekali puasa bagi orang yang sedang bepergian.” (Sunan Ibni Majah, juz 1, halaman 1664)
Menurut pengikut mazhab dzahiri, hadits di atas menyatakan orang yang bepergian tidak sah puasanya, tapi mayoritas ulama memandang lain. Menurut mayoritas, puasanya tetap sah karena melihat perilaku Rasulullah ﷺ saat pergi di bulan Ramadhan, beliau terkadang puasa, di lain waktu tidak puasa. Mana yang lebih utama antara puasa atau tidak bagi musafir, ulama berbeda pendapat. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan jika masih kuat, lebih utama puasa.
وَقَالَ جَمَاهِير الْعلمَاء وَجَمِيع أهل الْفَتْوَى يجوز صَوْمه فِي السّفر وَينْعَقد ويجزيه وَاخْتلفُوا فِي ان الصَّوْم أفضل أم الْفطر أم هما سَوَاء فَقَالَ مَالك وَأَبُو حنيفَة وَالشَّافِعِيّ وَالْأَكْثَرُونَ ان الصَّوْم أفضل لمن اطاقه بِلَا مشقة ظَاهِرَة وَلَا ضَرَر فَإِن تضرر بِهِ فالفطر أفضل
Artinya: “Menurut mayoritas ulama dan semua ahli fatwa, orang musafir boleh berpuasa dan puasanya mengikat keabsahannya. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara puasa atau tidak atau masing-masing mempunyai kedudukan hukum yang seimbang bagi orang musafir?. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta mayoritas ulama menyatakan puasa lebih utama bagi orang yang kuat, tidak merasakan kepayahan. Bagi yang tidak kuat, tidak puasa lebih utama.” (Syarah Ibni Majah, halaman 120)
Lalu bagaimana hukum orang yang pergi dengan tujuan jarak jauh, namun berangkatnya dari rumah setelah subuh?
Orang puasa yang bepergian mendapatkan rukhshah (dispensasi) untuk tidak berpuasa apabila memenuhi dua kriteria. Pertama, jaraknya jauh sebagaimana di sebutkan di atas. Kedua, ia sudah meninggalkan rumah minimal sebelum subuh. Hal ini penting diperhatikan supaya orang yang berpuasa tersebut tidak menyandang dua status sekaligus yakni status sebagai orang yang ada di rumah dan bepergian dalam sehari itu.
Puasa dimulai dari subuh sampai maghrib. Kalau ada orang yang menyandang status sebagai orang mukim di rumah lalu rentang waktu antara subuh sampai maghrib baru pergi di tengah-tengahnya, maka statusnya sebagai musafir tidak penuh. Ada percampuran antara rumah dan pergi. Jika demikian, dimenangkan statusnya di rumah yang mempunyai dampak ia tidak boleh membatalkan puasa walaupun perginya sangat jauh di hari itu juga.
Contoh, ada orang Jalan Puspanjolo Tengah, Semarang pergi dari rumah menuju Jakarta naik pesawat. Apabila sudah masuk waktu subuh atau siang-siang ia masih di rumah, kemudian pergi meninggalkan rumah, maka ia tidak boleh meninggalkan puasa. Demikian dikatakan Imam Nawawi:
ومن أصبح في الحضر صائما ثم سافر لم يجز له ان يفطر في ذلك اليوم
Artinya: “Barangsiapa yang memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan berpuasa, baru kemudian pergi, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya pada hari itu.” (Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, halaman 260)
Pendapat Al-Muzani berbeda dengan pendapat di atas. Ia mengatakan bahwa orang yang pergi jauh di siang hari, di tengah perjalanan ia boleh membatalkan puasanya. Logikanya menurut Al-Muzani seperti orang yang sedang sakit. Orang yang paginya sehat lalu di tengah hari mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.
وقال المزني له أن يفطر كما لو أصبح الصحيح صائما ثم مرض فله أن يفطر
Artinya: “Al-Muzani berkata ‘Bagi orang yang pergi setelah subuh boleh membatalkan puasa sebagaimana orang yang masuk pada waktu subuh dalam keadaan sehat, kemudian mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.”
Menurut pendapat yang dipilih dalam serapan mazhab Syafi'i adalah yang pertama yang menyatakan tidak boleh. Argumentasinya adalah kasus orang sakit dengan orang pergi tidak bisa disamakan. Orang sakit pijakannya karena darurat. Sedangkan orang pergi tidak. Kecuali kalau memang ada orang pergi yang kemudian sakit, hukumnya adalah hukum orang sakit.
والمذهب الأول والدليل عليه انه عبادة تختلف بالسفر والحضر فإذا بدأ بها في الحضر ثم سافر لم يثبت له رخصة السفر كما لو دخل في الصلاة في الحضر ثم سافر في اثنائها ويخالف المريض فان ذلك مضطر الي الافطار والمسافر مختار
Artinya: “Yang menjadi acuan serapan mazhab adalah yang pertama. Argumentasinya bahwa ibadah bisa berbeda sebab pergi dan di rumah. Apabila dimulai dari rumah kemudian pergi, maka tidak mendapatkan dispensasi bepergian sebagaimana orang yang shalat di rumah lalu pergi di tengah-tengah waktu shalat itu, hukumnya tidak mendapatkan rukhshah. Berbeda dengan orang yang sakit. Orang yang sakit memang terdesak atau darurat untuk membatalkan puasa sedangkan orang yang pergi itu opsional, bisa memilih.” (ibid).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, orang yang pergi setelah memasuki waktu subuh menurut pendapat yang kuat adalah tidak diperkenankan meninggalkan puasa pada hari itu. Jika perginya dua hari ke atas, maka hari kedua dan seterusnya ia baru boleh meninggalkan puasa selama belum kembali pulang ke rumah. Apabila hari ketiga sampai ke rumah setelah dzuhur sedangkan ia tidak puasa sejak pagi karena pergi, ia tetap wajib imsak (menahan makan minum) sejak ia sampai rumah hingga waktu maghrib. Hal ini sama dengan orang yang haid. Orang haid boleh makan minum selama siang Ramadhan. Namun apabila ia suci di tengah hari, ia juga harus imsak, tapi tetap besok setelah Ramadhan harus qadha penuh sesuai hitungan yang ditinggalkan. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar