Membayar Zakat dalam Bentuk Pembebasan Utang
Cara membayar zakat yang umum dilakukan oleh masyarakat dan sesuai dengan tuntunan syariat adalah dengan memberikan harta yang dizakati secara langsung kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Semisal harta yang dizakati adalah hewan kambing, maka yang wajib dibayarkan adalah kambing; jika berupa beras, maka yang dikeluarkan juga berupa beras.
Selain itu, banyak pula masyarakat yang lebih memilih membayar zakat dengan langsung menggunakan uang, karena dipandang lebih simpel dan lebih bermanfaat bagi orang yang menerima zakat. Cara demikian diperbolehkan dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah.
Praktik pemberian harta zakat dengan cara langsung serah-terima seperti di atas sangat sesuai dengan anjuran Rasulullah dalam salah satu haditsnya:
أَنَّ اللّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada mereka membayar zakat atas harta (yang mereka miliki), diambilkan dari golongan kaya dari mereka dan dibagikan kepada golongan fakir dari mereka,” (HR Bukhari Muslim).
Lalu bagaimana dengan pembayaran zakat dengan bentuk pembebasan utang kepada orang yang berhak menerima zakat yang kebetulan memiliki tanggungan utang pada orang yang berkewajiban membayar zakat (muzakki)? Apakah zakat dalam bentuk pembebasan utang ini dapat dibenarkan secara syara’, mengingat tidak ada serah terima barang atau harta dalam praktik tersebut?
Menurut para ulama, pembayaran zakat dalam bentuk pembebasan utang seperti di atas tidak benar dan berakibat pada tidak sahnya zakat. Hal ini dikarenakan praktik tersebut sejatinya bukanlah membayar zakat dalam arti yang sebenarnya, tapi lebih cenderung mengarah pada praktik pembebasan utang (ibra’) yang memiliki perincian hukum yang berbeda dengan zakat. Sebab dalam zakat harus terdapat pemberian kuasa kepemilikan (tamlik) yang bermula dari serah-terima harta zakat, sedangkan dalam praktik ini sama sekali tidak ditemukan adanya serah-terima tersebut. Seperti yang ditegaskan dalam kitab Asna al-Mathalib:
ـ )ولو قال) لفقير له عنده حنطة وديعة (اكتل) لنفسك (مما أودعتك) إياه (صاعا) مثلا (وخذه لك ونوى به الزكاة) ففعل (أو قال جعلت ديني) الذي (عليك زكاة لم يجزه) .
أما في الأولى فلانتفاء كيله له وكيله لنفسه غير معتبر والترجيح فيها من زيادته .
وأما في الثانية فلأن ما ذكر فيها إبراء لا تمليك وإقامته مقامه إبدال وهو ممتنع في الزكاة ذكره الرافعي في باب الهبة عن صاحب التقريب وطريق الأجزاء فيها أن يقبض الدين ثم يرده إليه إن شاء ذكره في الروضة
“Jika seseorang berkata pada seorang fakir ‘Takarlah gandum yang aku titipkan padamu sebanyak satu sha’ lalu ambillah gandum itu’ dengan niatan sebagai zakat. Atau ia berkata pada orang fakir tadi ‘Aku menjadikan utang yang kau tanggung sebagai harta zakat, maka dua praktik di atas tidak mencukupi atas zakatnya.
Pada kasus pertama (gandum) dianggap tidak cukup karena ia tidak menakar sendiri gandum itu untuk diberikan pada orang fakir, sedangkan penakaran yang dilakukan oleh orang fakir untuk dirinya sendiri tidak dapat dijadikan acuan (secara syara’).
Pada kasus kedua dianggap tidak cukup karena praktik di atas adalah pembebasan utang (ibra’) bukan memberi kepemilikan (harta zakat) sedangkan menempatkan posisi pembebasan utang sebagai pemberian kepemilikan adalah bentuk pertukaran dan hal ini tercegah dalam bab zakat. Sedangkan cara agar mencukupi sebagai zakat adalah dengan menerima terlebih dahulu terhadap pembayaran utangnya, lalu mengembalikan harta tersebut kepadanya (sebagai zakat) jika ia mau,” (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 5, hal. 209)
Berdasarkan pendapat ini, maka zakat dalam bentuk pembebasan utang hanya dapat sah ketika muzakki (orang yang berkewajiban membayar zakat) menerima terlebih dahulu pembayaran utang dari pihak mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Ketika muzakki sudah menerimanya, maka uang tersebut diserahkan kembali kepada mustahiq dengan niatan sebagai pembayaran zakat yang wajib baginya. Praktik demikian dapat dihukumi sah zakatnya ketika memang tidak ada pensyaratan terselubung yang mewajibkan harta zakatnya untuk dikembalikan. Jika terdapat pensyaratan pada saat penyerahan harta zakat, maka tidak dihukumi sah keduanya, yakni pembayaran zakat dan pelunasan utangnya. Ketentuan demikian dijelaskan dalam referensi yang sama:
ـ (وإن دفعها لمديونه وشرط أن يعطيه إياها عن دينه لم يجزه) ولا يصح قضاء الدين بها كما صرح به أصله (لا إن نويا) ذلك ولم يشترطاه فإنه يجزئ ويصح القضاء بها
“Jika seseorang menyerahkan harta zakat kepada orang yang ia utangi, dan ia mensyaratkan agar harta tersebut setelah itu dikembalikan kepada dirinya atas pembayaran utangnya, maka hal demikian tidak cukup (sebagai zakat) dan pembayaran utangnya dianggap tidak sah. Berbeda halnya ketika mereka berdua berinisiatif melakukan hal di atas, namun tidak saling mensyaratkan, maka dalam hal ini dianggap mencukupi pembayaran zakat dan sah pembayaran utangnya,” (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 5, hal. 209).
Perbedaan antara adanya syarat dan tidak pada praktik di atas adalah ketika tidak ada pensyaratan pada saat muzakki membayar zakat, maka mustahiq tidak wajib untuk menyerahkan kembali harta yang ia terima kepada pihak muzakki sebagai bentuk pelunasan utangnya. Tapi ia bebas mengalokasikan harta tersebut untuk hal-hal lainnya. Berbeda halnya ketika terdapat pensyaratan pada saat pembayaran zakat untuk dikembalikan kembali pada muzakki yang menjadikan zakatnya tidak sah.
Namun rupanya dalam kitab al-Majmu’ ditemukan pendapat yang memperbolehkan praktik pembayaran zakat dalam bentuk pembebasan utang, meskipun tanpa adanya serah terima. Dengan berdasarkan kesimpulan bahwa mengambil kembali harta yang telah dibayarkan sebagai zakat dari orang yang memiliki tanggungan utang padanya adalah hal yang diperbolehkan. Pendapat ini merupakan pendapat Imam ‘Atha’ dan Hasan al-Bashri. Berikut referensinya:
ـ (فرع) إذا كان لرجل على معسر دين فأراد أن يجعله عن زكاته وقال له جعلته عن زكاتي فوجهان حكاهما صاحب البيان (أصحهما) لا يجزئه وبه قطع الصيمري وهو مذهب أبي حنيفة وأحمد لأن الزكاة في ذمته فلا يبرأ الا باقباضها (والثاني) تجزئه وهو مذهب الحسن البصري وعطاء لأنه لو دفعه إليه ثم أخذه منه جاز فكذا إذا لم يقبضه كما لو كانت له عنده دراهم وديعة ودفعها عن الزكاة فإنه يجزئه سواء قبضها أم لا
“Cabang permasalahan. Ketika orang yang tidak mampu punya tanggungan utang pada seorang laki-laki, lalu laki-laki tersebut berinisiatif untuk menjadikan utang yang ditanggung oleh orang di atas sebagai zakat, laki-laki tersebut seraya berkata: “Aku menjadikan utang yang kamu tanggung sebagai zakatku”. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, seperti halnya yang dikutip oleh pengarang kitab al-Bayan. Pendapat yang kuat menghukumi bahwa zakat dengan cara tersebut dianggap tidak mencukupi. Pendapat ini didukung oleh Imam ash-Shaimiri, dan merupakan pendapat dalam mazhab Abu Hanifah dan Ahmad, sebab zakat berada dalam tanggungan lelaki di atas, dan ia tidak terbebas dari kewajiban zakat kecuali dengan menyerahkan harta zakat (pada mustahiq zakat).
Pendapat kedua menghukumi bahwa zakat dengan cara di atas dianggap cukup. Pendapat ini merupakan pendapat Hasan al-Bashri dan Imam ‘Atha’, sebab jika harta zakat diberikan pada orang yang tidak mampu di atas, lalu diambil kembali, maka hal tersebut tetap diperbolehkan. Begitu juga ketika ia tidak menggenggam harta zakat itu, seperti halnya ketika seseorang menitipkan dirham pada orang lain, lalu ia menjadikan dirham tersebut sebagai harta zakat, maka dirham tersebut mencukupi sebagai zakat, baik ia menggenggamnya (setelah dititipkan) ataupun tidak,” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 210).
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi praktik pembayaran zakat dalam bentuk pembebasan utang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat dan merupakan pendapat mayoritas ulama tidak membenarkan praktik tersebut—sebab zakat hanya sah dengan adanya serah terima harta zakat. Sedangkan pendapat lain, yakni menurut Imam ‘Atha’ dan Hasan al-Bashri berpandangan bahwa praktik pembayaran zakat dengan cara di atas adalah sah.
Meski demikian, sebaiknya bagi kita agar tetap berpijak pada pendapat mayoritas ulama, sebab merupakan pendapat yang kuat (ashah) dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar