Senin, 18 Mei 2020

Nasaruddin Umar: Kontemplasi Ramadhan (2): Meraih Ketenangan Batin

Kontemplasi Ramadhan (2)

Meraih Ketenangan Batin

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Kenyamanan bisa dibeli di hotel berbintang, kelezatan bisa dibeli di restoran mewah, keindahan bisa disaksikan di obyek-obyek wisata, akan tetapi ketenangan tidak bisa dibeli dengan uang. Uang, kekayaan, dan jabatan belum tentu menghadirkan ketenangan. Ketenangan bukan hanya miliknya orang kaya atau pejabat tetapi ketenangan juga bisa dirasakan oleh orang-orang miskin. Ketenangan lebih merupakan akibat daripada sebab. Ketenangan adalah pemberian (given/kasab) dari Tuhan. Ketenangan menyangkut urusan jiwa (state of mind). Hanya orang-orang yang berani melawan dirinya sendiri yang mampu merasakan ketenangan.

 

Kekhususan bulan Ramadhan ialah menyuguhkan berbagai latihan spiritual (spiritual training/mujahadah). Di antara latihan spiritual itu ialah berpuasa atau menahan diri tidak makan, minum, berhubungan seks, dan perbuatan-perbuatan yang berselera rendah lainnya. Pusa mendidik jiwa untuk merasakan ketenangan batin dan kebahagiaan rohani. Orang-orang arif sering mengatakan, puncak kebahagiaan adalah ketenangan batin. Nabi Muhammad Saw juga pernah mengatakan: Al-gina ginan nafs (kekayaan sesungguhnya ialah kekayaan batin). Tanpa kekayaan dan kebahagiaan batin maka sesungguhnya hanya kekayaan dan kebahagiaan semu. Dengan demikian, kita tidak bisa memandang enteng orang miskin harta atau materi sebab tidak sedikit di antara mereka yang menemukan kebahagiaan batin. Sebaliknya kita juga tidak bisa takjub sepenuhnya kepada para pemilik kekayaan materi sebab itu belum tentu mereka merasa bahagia dan tenang. Manusiawi memang jika orang-orang menghendaki kedua-duanya, karena kita juga diajari doa oleh Allah Swt sendiri: Rabbana atina fiduunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa quna 'adzabannar (Ya Allah anugrahkanlah kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari api neraka). Manusia ideal menghendaki kebahagiaan dunia akhirat.

 

Sesungguhnya Islam tidak melarang orang mengumpulkan kekayaan materi, bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif tetapi tetap efisien dan efektif. "Dunia adalah cermin akhirat", demikian kata Nabi. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses. Ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji, bahkan puasa, pun membutuhkan cost. Semuanya perlu biaya dan biaya itu urusan dunia. Kiat untuk mencapai dan mempertahankan kondisi kebahagiaan batin ialah menurut para 'arifin ialah menggabungkan antara optimisme dan semangat juang (al-raja' wa al-mujahadah) di dalam diri. Idealnya setiap orang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan halwat atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Nabi di Goa Hira, ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping isterinya Khadijah yang kaya dan bangsawan. Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan kediaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana 'uzlah (pemisahan diri) sementara dari hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Bisa saja dengan melakukan i'tikaf di salahsatu mesjid, misalnya yang sering dilakukan di dalam bulan suci Ramadlan.

 

Di dalam mesjid kita berniat untuk beri'tikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Al-Qur'an lebih banyak, shalat, tafakkur dan berzikir. Niatkan bahwa mesjid ini adalah goa Hira atau goa Kahfi, yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Ashhabul Kahfi, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan. Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan akan melahirkan generasi lemah (dha'if) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak. Kita perlu mengingat bahwa jika kehidupan di akhirat setara dengan 1000 tahunnya dunia, maka kalau ada orang dikarunia usia 70 tahun maka itu artinya sekitar 3 menitnya akhirat. Maukah kita menukar hanya tiga menit dengan keabadian akhirat, masya Allah.

 

Sesungguhnya milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baqa di akhirat. Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan shadaqah, luruskanlah pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita tafakkur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahdzan innallaha ma'ana (Jangan khawatir, Allah bersama kita). Allahu a'lam. []

 

DETIK, 25 April 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar