Pertumbuhan
tidak Kurangi Kemiskinan
Oleh:
Sri Mulyani Indrawati
SAYA
melihat di seluruh dunia banyak negara yang mengalami ketimpangan pesat dari
mulai 0,35% sampai mendekati 0,5%. Bahkan di Amerika Latin sampai 0,7%. Artinya
betul-betul cuma segelintir orang yang merasakan kesejahteraan. Brasil
dikatakan sukses karena Presiden Lula mengoreksi dari 0,7% jadi 0,6%. Itu dalam
satu dekade menjadi presiden. Satu upaya yang luar biasa keras. Indonesia saat
mencapai 0,4% alarm berbunyi. Ini berbahaya. Komentar datang dari mana-mana,
media massa, masyarakat, partai politik, hingga stakeholder, dan ini
disuarakan. Presiden Jokowi merespons dengan berbagai kebijakan karena kita
tidak ingin naik lagi.
Ini tidak
mudah karena harus berlanjut dalam jangka menengah. Kalau kita lihat angka
kemiskinan, yang harus diwaspadai adalah pertumbuhan kita tidak bisa mengurangi
kemiskinan secara lebih cepat. Intervensinya bukan hanya melalui cash transfer,
tapi juga memotong tali kemiskinan antargenerasi. Kalau keluarga miskin tidak
bisa memberikan nutrisi anak mereka sejak di dalam perut sehingga anak tidak
sehat, tidak punya akses kesehatan, tidak punya akses pendidikan, pasti anak
mereka akan miskin dan cucu mereka juga demikian. Inilah kemiskinan
antargenerasi.
Inilah
yang dipotong dan akhirnya diciptakan kartu pintar, kartu kesehatan. Mungkin
ini sifatnya terlihat populis, tapi ini kebijakan yang harus dilakukan. Dari
sisi stabilitas, inflasi dan nilai tukar bisa mengalami stabilitas dengan
komparasinya di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri secara historis dan di
luar dengan negara-negara setara kita. Inflasi 2016 ialah yang terendah dalam
satu dekade terakhir dan nilai tukar kita bisa bertahan atau bahkan mengalami
apresiasi cukup sedikit di 2016, ketika seluruh dunia mengalami pelemahan di
saat dolar AS mengalami penguatan luar biasa.
Daya
saing
Eksternal ekspor dan impor serta cadangan devisa kita relatif comfortable. Kalau kita lihat, cadangan devisa di atas US$100 miliar dengan ekspor dan impor yang selalu kita buat imbang. Yang paling penting adalah capital inflow atau arus modal karena mereka percaya terhadap prospek dan stabilitas ekonomi Indonesia. Bagaimana kita melihat tantangan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Kita lihat dalam konteks hari ini berarti berbicara mengenai konteks tentang bagaimana memberantas kemiskinan, bagaimana mengurangi ketimpangan, bagaimana membuat masyarakat kita produktif memiliki daya saing.
Dari sisi
institusi karena orang sering lupa bahwa keberhasilan suatu negara maju dia
tidak hanya berdasarkan hanya dari pembangunan fisik, dia juga membutuhkan
pembangunan institusi. Institusi harus memiliki tata kelola yang baik, bersih,
dan efektif. Ada institusi yang bersih, tetapi dia tidak efektif maka tidak
banyak berguna juga. Dia bagus untuk inspirasi, tetapi tidak mampu untuk
melayani masyarakat. Jadi, kita perlu institusi yang tata kelolanya baik,
bersih, tetapi efektif. Ini adalah tantangan pembangunan bagi banyak negara di
dunia.
Saya
dalam kapasitas pekerjaan saya sebelumnya melihat banyak negara di dunia
mengalami apa yang disebut middle income trap. Dia biasanya mampu dari negara
miskin, yaitu pendapatannya di bawah US$1.000 per kapita menjadi sekitar
US$3.000-US$3.500. Kemudian dia stuck saja di sana. Lama-lama sampai mendekati
US$10 ribu-US$11 ribu per kapita, tetapi dia tidak pernah naik menjadi high
income country. Biasanya ciri-cirinya ialah tata kelola dan institusi yang
bersih dan efektif sangat tertinggal dari kemajuan ekonominya sehingga waktu
muncul kelas menengah masyarakat yang menginginkan aspirasi pemerintahan yang
bersih yang berfungsi dan akuntabel, selalu dikecewakan.
Kekecewaan
terus-menerus, apalagi menjadi penyakit yang sangat sering terjadi, adalah
munculnya apa yang disebut elite capture. Ada sekelompok elite atau biasanya
elite di dekat mereka yang sudah menguasai negara tersebut, yang hanya
terus-menerus memfokuskan policy-nya untuk kebaikan elite itu sendiri, dan itu
terjadi di banyak negara. Apakah itu namanya menjadi oligarki, atau menjadi
kronisme, namanya bisa macam-macam. Tetapi Anda bisa lihat dari Afrika hingga
Timur Tengah, Rusia, Amerika Latin, Asia, banyak negara yang tidak pernah bisa
lepas dari elite capture itu, biasanya mereka mengalami trap di tengah. Ini
adalah salah satu pekerjaan rumah yang sangat luar biasa di dalam institusi.
Makanya kami di Kementerian Keuangan dari 10 tahun lalu hingga sekarang
berbicara tentang reform. Itu karena saya percaya Indonesia berhak dan harus
memiliki institusi yang kuat dan bersih serta akuntabel.
Tanggung
jawab kemenkeu
Karena berbicara tentang Kementerian Keuangan, menjadikan APBN sebagai instrumen yang menjadi tanggung jawab kami. APBN merupakan instrumen pembangunan yang luar biasa penting. Di dalam menciptakan tidak hanya pertumbuhan, tetapi mendekatkan kita kepada tujuan menyejahterakan masyarakat yang adil dan makmur. Seperti sebuah APBN banyak negara, dia terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dari sisi pendapatan negara, kalau kita lihat, tren 10 tahun terakhir peningkatan dari sisi revenue atau penerimaan. Namun, kalau tadi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang terutama didorong komoditas, Indonesia dalam hal ini, kami belum mampu untuk meng-capture-nya dalam bentuk penerimaan pajak yang cukup besar.
Ini
adalah PR yang cukup besar kalau kita lihat dari rasio penerimaan kita mengalami
penurunan. Ini yang kemudian muncul indikator bahwa Indonesia dianggap sebagai
negara yang inequality dan bahkan sudah masuk kepada sektor-sektor yang
dianggap di-capture dan tidak mampu kita pajaki sehingga benefit dari sektor
tersebut, terutama pertambangan, infrastruktur besar hanya dianggap
menguntungkan untuk kelompok yang di atas daripada kelompok yang di bawah.
Kegiatan
pertambangan di Indonesia ketika economic boom pada saat komoditas tinggi, dia
tidak membayar pajak sehingga negara tidak mampu melakukan redistribusi. Ini
pekerjaan rumah yang luar biasa besar. Kalau sekarang kita melakukan tax
amnesty karena kita yakin bahwa kita perlu melakukan deklarasi dan melihat,
melakukan pemetaan terhadap potensi penerimaan negara. Belanja negara telah
mencapai Rp2.080 triliun dan ini peningkatan yang cukup besar. Namun, kalau
dilihat dari GDP kita, sebetulnya juga tidak terlalu besar. Jadi, kalau kita
lihat APBN Indonesia, kita mampu untuk lari atau belanja lebih banyak apabila
kita mampu mengumpulkan penerimaan yang lebih banyak. []
MEDIA
INDONESIA, 20 January 2017
Sri
Mulyani Indrawati | Menteri Keuangan Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar