Krisis
Politik di Turki (IV)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Di mata
Burak, hanya tersedia dua kemungkinan bagi masa depan politik Turki: berlakunya
sebuah sistem dinasti atau hancur. Tidak difikirkan kemungkinan ketiga:
terciptanya sebuah kompromi politik—sebagaimana yang saya sarankan—, demi
menghindari dua kemungkinan yang dilihat Burak. Sistem dinasti dalam sebuah
bangunan republik demokrasi mengandung pertentangan dalam dirinya, sebab
menutup peluang bagi tokoh lain di luar lingkungan keluarga untuk tampil
sebagai pemimpin formal. Adapun kemungkinan masa depan Turki yang suram, jika
bukan berantakan, tentu harus dicegah dan dihindari. Semua elite politik Turki
semestinya cukup dewasa dan jernih memikirkan masa depan bangsanya yang telah
dibangun dengan susah payah melalui kekuasaan sipil oleh AKP.
Bagi
terciptanya sistem dinasti, Burak menyebut bahwa Erdogan mungkin menyiapkan
penggantinya yang berasal dari anak atau menantunya yang memang memperoleh
pendidikan tinggi di berbagai universitas di Amerika Serikat. Ada tiga kandidat
yang menonjol: Sumeyye Erdogan (perempuan), dan dua menantunya: Berat Albayrak
dan Selcuk Bayrakter. Tetapi, menurut Burak, gerakan ke arah sistem dinasti ini
pasti akan mendapat perlawanan, termasuk dari orang dekat Erdogan. Dilemanya
justru terletak di sini, tulis Burak. Jika Erdogan tidak menyiapkan
penggantinya dengan tetap memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri, maka
sistem politik yang telah dibangun Erdogan selama ini akan hancur, sebab dia
tidak mungkin berkuasa selama-lamanya. Akibatnya, masa depan politik Turki akan
goncang dan perpecahan dalam AKP sendiri sukar dihindari.
Sebenarnya
Erdogan punya empat anak: Burak, Esra, Bilal, dan Sumeyye. Bilal sebenarnya
cukup mumpuni, tetapi pada tahun 2003 dia disebut terlibat dalam skandal
korupsi yang menghebohkan itu. Namanya sudah cacat di mata publik. Maka,
akhirnya, menurut Burak, yang punya peluang besar untuk menggantikan Erdogan
adalah menantunya Berat Albayrak, suami Esra, dengan latar belakang pendidikan
M.B.A. di sebuah universitas Amerika.
Pada bagian
akhir artikel Burak, pesimisme itu tidak bisa dibendung lagi. Apa pun pilihan
Erdogan, muaranya akan memupus semua harapan. Tetapi satu yang nyaris pasti,
prediksi Burak, Musim Dingin Turki akan datang, baik dalam bentuk dinasti
autokratik atau dalam bentuk perselisihan internal yang disebabkan oleh
perbelahan etnis dan politik yang gagal didamaikan, seperti kelompok sekuler
berhadapan dengan kelompok Islamis. Pihak oposisi tentu akan lebih gembira
sekiranya sistem yang telah dibangun Erdogan benar-benar hancur, karena melalui
mekanisme demokrasi mereka telah kehabisan akal untuk mengalahkannya.
Inilah
Turki, saudaraku, yang semula menjadi tumpuan harapan bangsa-bangsa Muslim,
kini sedang berada di persimpangan jalan terjal dan licin. Tabiat Erdogan yang
enggan berbagi kuasa dengan partai-partai lain telah memicu polarisasi politik
yang semakin ruwet dan panas. Untung saja posisi militer Turki dalam keadaan
lemah. Mitranya Mursi di Mesir hanya sempat berkuasa dalam tempo singkat,
Erdogan jauh lebih beruntung, tetapi untuk berapa lama bisa tahan? Alangkah
rumitnya mengawinkan nilai-nilai Islam dengan sistem kekuasaan, tidak dalam
teori, tetapi sepenuhnya dalam praktik. Ada pendapat lain dari tuan dan puan?
Siapkan argumen yang kuat, jangan asal bunyi, seperti banyak kelakuan di
medsos! []
REPUBLIKA,
17 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar