Menjawab
Tantangan 2017
Oleh:
Susilo Bambang Yudhoyono
Tahun
2016 yang dinamis telah kita tinggalkan. Kini kita memasuki tahun 2017 yang tak
akan bebas dari tantangan. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang pandai memetik
pelajaran dari masa lalunya dan kemudian melangkah ke depan untuk berbuat yang
lebih baik lagi.
Potret
besar kita pada 2016 sebenarnya tak buruk meskipun masih banyak masalah yang
belum kita selesaikan. Misalnya, yang positif, kecuali terjadi gejolak
sosial-politik di pengujung tahun, situasi nasional kita terjaga dengan baik.
Sementara yang belum kita atasi sepenuhnya adalah upaya memulihkan ekonomi
nasional kita, yang tiga tahun terakhir ini mengalami tekanan yang cukup berat.
Pertumbuhan
ekonomi yang melambat menekan pula taraf hidup rakyat, utamanya kalangan miskin
dan tak mampu. Adalah benar, lemahnya ekonomi Indonesia tak lepas dari pengaruh
ekonomi global yang belum pulih sejak terjadi krisis besar 2008-2009. Namun,
kita juga harus jujur dan mau melakukan introspeksi, barangkali ada
langkah-langkah kita yang belum optimal dan belum efektif.
Sungguhpun
secara umum keadaan nasional kita relatif stabil dan damai, gejolak yang
terjadi di pengujung tahun, yaitu berlangsungnya aksi unjuk rasa dalam jumlah
yang sangat besar, perlu mendapatkan perhatian yang serius. Serius karena isu
yang semula tergolong sederhana itu dengan cepat berkembang menjadi isu yang
rumit dan sensitif. Serius karena guliran dari yang semula merupakan kasus
hukum tiba-tiba menyentuh sesuatu yang sangat peka, yaitu perbedaan identitas,
baik agama maupun etnis.
Pengalaman
menunjukkan, baik di dunia maupun di negeri sendiri, konflik antaridentitas
(agama, etnis, dan suku) sering berkembang menjadi tragedi yang memilukan
karena harus ditebus oleh jatuhnya korban jiwa dan rusaknya sendi-sendi harmoni
dan toleransi. Karena itu, secara bijak dan tepat kita harus segera menyudahi
salah pengertian dan benturan sosial yang bisa membahayakan kerukunan kita
sebagai bangsa.
Ke depan,
kita mesti memiliki kesadaran dan tekad yang kuat untuk menjernihkan kembali
riak-riak sosial yang terjadi di pengujung tahun 2016 yang lalu itu. Mari kita
petik pelajarannya dan kemudian bergerak maju (move on). Kita diingatkan bahwa
dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk, harus dimiliki kepekaan yang tinggi
untuk tidak melukai perasaan saudara-saudara kita yang kebetulan berbeda dalam
keyakinan berikut sistem nilainya.
Kita juga
harus ingat, kebinekaan yang di satu sisi adalah rahmat tetapi di sisi lain
menghadirkan kerawanan tersebut harus terus-menerus kita rawat dan kelola
baik-baik. Semua bertanggung jawab dan semua menjadi bagian dalam merawat
kebinekaan ini. Inilah yang utama. Tak ada resep yang ajaib.
Peluang
ekonomi 2017
Dalam
artikel yang saya tulis dan dimuat harian Kompas pada 2 Januari 2017, saya
telah menyampaikan pandangan saya tentang perkembangan lingkungan strategis dan
outlook 2017. Dalam tulisan itu saya kedepankan berbagai kecenderungan,
unknowns (hal-hal yang tidak kita ketahui), dan juga game changers (pengubah
jalannya sejarah). Di samping itu, juga saya angkat perkembangan geopolitik dan
geoekonomi, yang terjadi pada tingkat global ataupun kawasan, yang berpengaruh
pada negara kita, Indonesia.
Dengan
berbagai outlook tentang apa yang bakal terjadi pada 2017, Indonesia bukan
hanya sekadar mempersiapkan diri, melainkan harus menentukan sasaran-sasaran
strategis dan arah kebijakan (policy direction) agar Indonesia sukses dalam
mengarungi tahun 2017. Diperlukan kecerdasan dan kecermatan bagi pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat madani (civil society) untuk menetapkan strategi dan
menjalankan aksi-aksi nyata. Pilihan sering tidak mudah. Namun, dengan memahami
tantangan dan peluang yang tersedia, Indonesia bisa melakukan langkah-langkah
yang tepat dan efektif.
Menurut
pandangan saya, prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo masih tetap pada
pemulihan ekonomi nasional. Mengapa? Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5
persen berturut-turut tiga tahun terakhir, penerimaan negara menurun secara
signifikan karena penerimaan pajak juga menurun. Hal ini wajar karena sektor
riil dan dunia usaha mendapatkan tekanan serius. Akibatnya, tak mudah untuk
memberikan stimulus fiskal untuk menggenjot pertumbuhan karena bisa-bisa
berakibat terhadap membengkaknya utang negara.
Daya beli
masyarakat juga menurun sehingga golongan kurang mampu sulit memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Inflasi kita memang tergolong rendah, tetapi itu semua akibat
menurunnya permintaan (demand). Masih susahnya orang mendapatkan pekerjaan juga
menambah tekanan ekonomi pada tingkat rumah tangga.
Peluang
ekonomi yang tersedia pada 2017 adalah perkiraan membaiknya harga komoditas
pertanian, pertambangan, dan perminyakan. Diharapkan penerimaan negara dapat
ditingkatkan. Namun, sebagai catatan, jika harga minyak terus meningkat hingga
mencapai 70 dollar AS per barrel, otomatis harga BBM akan naik. Jika harga BBM
harus dinaikkan, pemerintah perlu mempersiapkan prakondisi sosial baik-baik,
termasuk mental masyarakat kita.
Peluang
yang lain adalah di bidang investasi. Mengingat pasar domestik kita terus
tumbuh, kita bisa menarik lebih banyak investor. Jika investasi dapat kita
tingkatkan, sumbangannya terhadap pertumbuhan akan nyata mengingat belanja
pemerintah dan konsumsi rumah tangga masih terbatas. Namun, perlu diingat,
investasi akan mencari pasar yang reliable di negara yang aman dan stabil.
Itulah sebabnya, di bagian awal tulisan ini saya sungguh ingin ketegangan
sosial-politik yang terjadi pada akhir 2016 bisa diakhiri sehingga investor tak
ragu dan takut menanamkan modalnya di Indonesia.
Taraf
hidup dan kesejahteraan
Pembangunan
ekonomi haruslah bermuara pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu, jika pemerintahan Presiden Jokowi meniatkan memulihkan
dan meningkatkan perekonomian hingga 2019, sasaran strategis dan arah kebijakan
harus dirumuskan dengan baik. Tentunya yang dikejar bukanlah hanya pembangunan
yang serba benda, misalnya infrastruktur fisik. Pembangunan berkelanjutan abad
ke-21 mencakup pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial (equity), dan pemeliharaan
lingkungan. Karena itu, sejak awal perlu ditetapkan perimbangan yang tepat di
dalam mengalokasikan sumber daya pembangunan. Contohnya, anggaran untuk
infrastruktur tidaklah boleh meniadakan anggaran untuk pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan pengurangan kemiskinan.
Kalau hal
itu dapat dicapai, dalam keadaan sesulit apa pun, masyarakat tidak akan
”memberontak” karena mereka merasa tidak ditinggalkan. Ketimpangan
sosial-ekonomi juga tidak akan menjadi-jadi. Prioritas untuk membangun sumber
daya manusia, termasuk penguasaan teknologi dan inovasi juga diperlukan, karena
human capital yang andal inilah yang akan menjadi motor penggerak pembangunan
jangka panjang.
Sebagai
seorang yang pernah bertugas selama tujuh tahun di jajaran pemerintahan
sebelumnya dan hampir lima tahun menjadi pejabat senior di Bank Dunia, Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah sosok yang tepat untuk membantu Presiden
Jokowi dalam menentukan kebijakan dasar ekonomi ke depan, sejiwa dengan green
economy dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang kini dianut
bangsa-bangsa sedunia.
Elemen
dan dimensi kehidupan bangsa tentulah bukan hanya berkaitan dengan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Diperlukan pula ruang yang cukup bagi rakyat untuk
berekspresi dan ikut serta dalam menentukan nasib dan masa depannya. Indonesia
2017 dan ke depannya haruslah memastikan bahwa baik ekonomi maupun demokrasi
terus tumbuh dan mekar. Dahulu, pada era Orde Lama dan era Orde Baru kita
seolah harus memilih, ekonomi atau demokrasi. Saya harus mengatakan bahwa mitos
itu telah kita patahkan. Pada era Reformasi, utamanya 10 tahun ketika saya dan
kawan-kawan diberikan amanah untuk mengelola kehidupan bangsa, ekonomi dan
demokrasi kita tumbuh secara bergandengan.
Meskipun
di sana-sini masih ada persoalan, ekonomi kita tumbuh rata-rata sekitar 6
persen dan termasuk peringkat atas di antara sesama anggota G-20. Sejarah juga
membuktikan, pertumbuhan itu kita capai tanpa harus meminggirkan hak politik
dan demokrasi. Adalah benar bahwa kebebasan dan penggunaan HAM tak boleh
absolut dan melampaui batas dan adalah benar pula jika untuk kepentingan umum
negara dan pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan, tetapi bagaimanapun
nilai-nilai demokrasi harus tetap hidup. Yang paling merugi adalah ketika
demokrasi tidak hidup, ekonomi dan kesejahteraan rakyat pun tidak didapatkan.
Saya
yakin kita bisa mewujudkan dua sasaran kembar itu. Saya amat tahu, di pihak
Presiden Jokowi banyak pencinta dan pejuang demokrasi dan HAM. Dengan senang
hati pastilah mereka ingin bersama-sama Presiden kita menghidupkan demokrasi di
negeri ini.
Dunia dan
kawasan kita akan tetap dinamis. Demikian pula keadaan dalam negeri sendiri.
Namun, kita harus menjadi bangsa pemenang dan bukan bangsa yang kalah. Untuk
itu, diperlukan sikap dan tindakan yang adaptif dan antisipatif, di atas nilai,
prinsip, dan kerangka bernegara yang kita anut. Mari kita doakan agar Presiden
Jokowi senantiasa diberikan bimbingan oleh Allah SWT, Tuhan yang mahakuasa,
agar senantiasa sukses dalam memimpin kita semua, menuju Indonesia yang lebih
maju, adil, rukun dan damai, demokratis dan sejahtera.
KOMPAS, 9
Januari 2017
Susilo
Bambang Yudhoyono | Presiden RI 2004-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar