Jumat, 20 Januari 2017

Sri Mulyani: Trump dan Ekonomi Global



Trump dan Ekonomi Global
Oleh: Sri Mulyani Indrawati

INDONESIA dibangun, dibentuk, dan dilahirkan pendiri bangsa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Saya coba mengingatkan itu terus-menerus di dalam perspektif kita menganalisis situasi hari ini. Juga untuk mengkritisi kebijakan sendiri supaya kita makin baik karena itu membuat kita mampu maju, memperbaiki kualitas dari kebijakan, dan untuk meyakinkan bahwa kebijakan itu bisa mencapai tujuannya yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Mari kita mulai dengan melihat dari indikator yang sering digunakan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia

Dalam satu dekade bisa dikatakan Indonesia tumbuh cukup stabil. Namun kalau kita lihat dari 2006-2016, di tengah-tengah itu sebetulnya terjadi krisis dunia, 2008-2009. Jadi kalau saya memberikan perspektif sepanjang satu dekade adalah bahwa Indonesia memiliki komposisi ekonomi yang memiliki daya tahan. Dalam situasi-situasi turbulensi baik itu karena faktor keuangan global, atau karena adanya faktor perdagangan internasional yang melemah, atau faktor perdagangan internasional yang menguat, kemudian komoditas meningkat tajam, kemudian turun secara tajam juga, Indonesia punya kemampuan daya tahan menjaga kinerjanya.

Ini adalah satu aset. Jadi kalau kita lihat saat ini, 2016, akan menunjukkan masa-masa yang cukup berat dari ekonomi Indonesia. Karena faktor yang selama ini mendorong pertumbuhan ekonomi mengalami pelemahan, apakah itu perdagangan internasional, apakah itu yang berdampak pada harga komoditas, apakah itu berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, yang sangat memengaruhi tidak hanya confidence, tapi secara riil juga memengaruhi dua hal, perdagangan internasional yaitu ekspor dan impor, atau capital flow dari modal yang biasanya berasal dari negara yang lebih kaya untuk masuk ke negara kelas menengah dan kelas miskin.

Untuk 2017, Indonesia diperkirakan akan mencapai pertumbuhan 5,1% berdasarkan asumsi APBN 2017. Saya memahami di luar pemerintah ada banyak proyeksi, bahkan dalam hal ini, Bank Indonesia yang masih bagian dari pemerintahan juga punya proyeksi 5%-5,4%. Lalu World Bank 5,3%, masih lebih optimistis dalam beberapa faktor. Dan consensus forecast untuk 2017 adalah 5,2%. Kalau kita lihat dari sisi komposisi yang menunjang pertumbuhan ekonomi, ekonomi selalu dibagi menjadi sisi permintaan dan penawaran.

Dari sisi permintaan, ini adalah motor penggerak yang biasanya pemerintah dengan menggunakan kebijakan, bisa memengaruhi. Komposisi dari permintaan dari perekonomian Indonesia sama dengan negara lain seperti konsumsi, yang terdiri dari masyarakat, yang entah kaya entah miskin, entah menengah. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari dengan melakukan konsumsi. Itu menjelaskan 58,3% dari seluruh perekonomian Indonesia.

Motor penggerak

Di negara maju bahkan bisa 60%-70% adalah konsumsi dari household. Investasi, sebagai sisi permintaan kedua yang dilakukan sektor produksi di dalam melakukan ekspansi atau dalam kegiatan produksinya menjelaskan 29,7%. Lainnya adalah pemerintah 9,1% serta sisanya ekspor minus impor. Dari permintaan ini, konsumsi rumah tangga yang menjelaskan cukup besar. Secara otomatis juga menjelaskan, agar ekonomi bisa tumbuh berkeadilan dan memakmurkan masyarakat, masyarakat harus mampu menikmati setiap persentase pertumbuhan itu.

Konsumsi biasanya cukup bertahan dan menjadi sekaligus motor penggerak. Dalam 10 tahun terakhir men-drive konsumsi Indonesia mendekati 5% dan 2016 kuartal tiga yang sudah keluar angkanya adalah 5%. Ini menggambarkan bahwa Indonesia memiliki daya tahan dari sisi motor penggerak sisi permintaan. Investasi dalam 10 tahun terakhir drive-nya 6,8%. Tahun 2016 merupakan tahun yang cukup berat. Ketua Dewan Komisioner OJK menggambarkan sektor keuangan yang selama ini menjadi intermediary dari sisi penabung dan kemudian yang melakukan investasi, seperti perbankan, memang mengalami konsolidasi akibat tekanan harga komoditas yang menurun sehingga kalau kita lihat pertumbuhan investasi di tahun ini akan mengalami tekanan yang berasal dari berbagai faktor.

Termasuk dalam hal ini sentimen dan ketidakpastian global atas terpilihnya Presiden Donald Trump yang hari ini (kemarin) atau Jumat (waktu setempat) akan dilantik. Kemudian kalau kita lihat dari sisi eksternal, ekspor dan impor untuk negara Asia adalah negara-negara yang cukup mengandalkan pasar global. Tiongkok dalam hal ini selama tiga dekade bisa berubah dari negara miskin menjadi negara kelas menengah atas karena menggunakan pasar global sebagai salah satu pusat pertumbuhan melalui ekspor impornya. Pertumbuhan ekspor impornya hampir selalu dua digit.

Negative growth

Indonesia juga negara Asia yang menggunakan pasar global sebagai tempat untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bisa men-sustain pertumbuhan. Selama satu dekade pertumbuhan ekspor impor itu sekitar 5%. Pada 2016 gross dari global trade mengalami pelemahan, yang sebetulnya sudah sejak 2015. Presiden Jokowi itu terpilih saat global environment mengalami perubahan yang cukup fundamental, yaitu global trade mengalami perubahan yang cukup signifikan, di saat adanya puncak yang disebut supply chain yang tidak lagi mengalami pertumbuhan besar seperti dekade yang lalu.

Ini yang membuat kita harus waspada, apa faktor yang menjadi betul-betul penyebab di dalam negeri yang membuat tidak bisa kita kontrol. Kemudian apa faktor yang tidak bisa kita kontrol, tapi kita bisa minimalkan dampaknya ke ekonomi. Itu adalah bagaimana cara kita untuk agar selalu mendesain policy untuk bisa responsif untuk tahu secara persis apa penyebab satu masalah sehingga kita tak salah diagnosis dan tidak salah dalam membuat reaksi. Pemerintah walaupun selama ini perannya hanya 9% di dalam GDP, tidak hanya penting dari sisi size APBN-nya melalui konsumsi maupun investasi di bidang infrastruktur.

Namun, pemerintah juga memiliki pengaruh yang cukup besar melalui kebijakan dan ini dua hal yang harus terus-menerus dilakukan di dalam pemerintahan. Pertumbuhan konsumsi pemerintah selama ini adalah 6,3%. Untuk 2016 kuartal III mengalami negative growth karena kami terus melakukan beberapa penyesuaian dari APBN 2016 dan sudah ditutup 31 Desember lalu. Tujuannya adalah untuk menjaga confidence terhadap instrumen APBN. Yang lebih penting bagi pemerintah dalam hal ini adalah pengaruhnya terhadap confidence, memiliki influence yang kuat dan sehat. Inilah yang harus dijaga di dalam APBN. Dari sisi produksi, perekonomian Indonesia dari sisi primer, sekunder, tersier, untuk sektor-sektor di pertanian, pertambangan perikanan selama ini memiliki kontribusi 23,6% terhadap GDP.

Seperti yang tadi saya sampaikan, saat dunia mengalami booming, ekonomi growth di negara maju sangat tinggi, demand komoditas meningkat tajam, dan juga supply chain alami peningkatan. Ini membawa akibat terhadap permintaan terhadap berbagai macam komoditas di dunia dan inilah yang muncul dalam bentuk harga maupun volume dari sektor-sektor primer di Indonesia yang mengalami peningkatan cukup baik dalam satu dekade. Industri pengolahan yang menjelaskan 22% dari GDP kita selama ini menjadi sektor yang diandalkan untuk menciptakan pekerja. Oleh karena itu, begitu penting bagi pemerintah untuk berbagai macam penyederhanaan kebijakan.

Itu tidak hanya memfasilitasi pengusaha, tapi juga ujungnya untuk membuat masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi di dalam kegiatan ekonomi. Sektor jasa memang dalam tiga dekade terakhir meningkat luar biasa di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Namun, sektor ini harus hati-hati diinterpretasikan. Ada sektor jasa yang formal memiliki value added sangat tinggi dan ada sektor jasa informal yang menyerap tenaga kerja yang banyak. Bila kita bicara keadilan, kita harus khawatir kalau sektor jasa tumbuh tinggi tapi hanya di tempat yang eksklusif. Sementara itu, yang informal nilai tambahnya kecil dan pertumbuhannya kecil. Ini akan menciptakan jurang di antara kaya dan miskin. Ini adalah tren yang harus diwaspadai.

Sektor riil

Di Amerika dan Eropa mereka mengalami pelebaran jurang meningkat karena sektor keuangan. Entah apakah itu pasar modal atau perbankan, dia bisa tumbuh double digit, bahkan saat krisis bisa rebound lagi seperti di AS. Di sektor riil, jasa informal yang low value added, dia struggle. Ini yang menjelaskan kenapa Donald Trump terpilih. Dia mewakili kelompok menengah bawah pada sektor yang disebut pengolahan maupun sektor jasa yang tidak menikmati peningkatan ekonomi.
Indonesia harus terus melihat ini sebagai tantangan yang harus direspons dengan kebijakan pemerintah. Kami sudah melihat dan mendeteksi ini sebagai suatu hal yang harus diwaspadai dan direspons. Ini bukan fenomena yang butuh kebijakan yang dalam setahun dapat menyelesaikan masalah. Ini adalah fenomena yang perlu keberlanjutan dan pemikiran terus-menerus.

Untuk Indonesia, selain indikator ekonomi makro tadi, kita harus lihat dari sisi spasial karena Indonesia adalah negara kepulauan, bukan hanya Jakarta atau Jawa. Indonesia adalah seluruh negara kepulauan yang jumlahnya puluhan ribu. Di sini ada perbedaan yang harus direspons dari sisi kebijakan. Lihat Pulau Jawa, yang menjelaskan 57% GDP Indonesia. Menggambarkan bahwa mayoritas kegiatan ada di sini. Pertumbuhan selama 10 tahun terakhir 6% dengan tingkat kemiskinan 10,1%. Pertumbuhan tinggi tapi tingkat kemiskinan juga tinggi. Sumatra, tumbuh 4,95%, tingkat kemiskinannya 11,1%. Kalimantan tumbuh 4,1%, kemiskinan 6,5%.

Sulawesi selalu tumbuh relatif rata-rata lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pulau ini diversifikasinya luar biasa sukses. Mungkin karena tidak didominasi komoditas, walaupun punya beberapa tambang, tidak seperti Sumatra, Kalimantan, atau Papua. Dia bisa mendiversifikasikan dengan sektor ekonomi lain sehingga tumbuh 7,5% walaupun kemiskinannya 11%. Bali, Nusa Tenggara, yang tidak bergantung pada komoditas, tumbuh 5,8% dengan kemiskinan 14,7%. Papua tumbuh 4% dengan tingkat kemiskinan 22%. Ini adalah suatu peta Indonesia saat ini, menggambarkan butuhnya perhatian dari sisi kebijakan. Kalau kita lihat dari sisi nasional, rasio kesenjangan yang diukur Gini ratio mengalami perbaikan dalam dua tahun terakhir. Ini capaian luar biasa. []

MEDIA INDONESIA, 20 January 2017
Sri Mulyani Indrawati | Menteri Keuangan Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar