Halaqah
Pesantren (4)
Oleh:
Azyumardi Azra
Dalam
halaqah pesantren, sekali lagi dikaji apakah dengan perubahan substansi dan
kelembagaannya berpengaruh pada ‘ideologi’ pesantren. Hemat saya, secara umum
pondok dan/atau pesantren masih tetap menganut ideologi Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah, baik Aswaja NU maupun Ahl al-Sunnah Muhammadiyah dan ormas-ormas
arus utama lain yang juga kian giat mengembangkan pesantren.
Dengan
tetap memegangi paham dan praksis Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah, pesantren tetap pula pertama-tama menjadi
lokus penerusan dan penguatan Islam Nusantara atau Islam Indonesia berwatak
Islam wasathiyyah distingtif. Fungsi ini dapat disebut sebagai
pemeliharan dan penguatan tradisi Islam Indonesia. Fungsi lainnya adalah
transmisi ilmu Islam, dan terakhir sebagai lokus kaderisasi calon ulama.
Mencermati
perkembangan dan dinamika pondok atau pesantren, perlu kategorisasi pondok atau
pesantren. Setidaknya kini dua kategori pesantren. Pertama, pesantren Salafiyah
yang menganut paham dan praksis
Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah; dan kedua Pesantren Salafi yang
berpegang pada paham dan praksis Salafi—termasuk Wahabi.
Meski
terjadi banyak perubahan besar di pesantren, saya mengasumsikan, mayoritas
pesantren masih tetap dimiliki para kiyai NU. Juga kian banyak pesantren
Muhammadiyah, al-Washliyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan (NW) dan ormas
arus utama lain, serta jaringan Pondok Moderen Gontor baik yang langsung
dikelola atau didirikan para alumni.
Tantangan
terhadap pesantren Islam washatiyyah datang dari pesantren salafi yang
kelihatan cukup berkembang belakangan ini. Pesantren salafi pada dasarnya tidak
menganut ideologi ‘Aswaja’ atau
Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, tetapi ideologi ‘Salafi’. Pesantren
Salafi sebaliknha menganut paham dan praksis salafi yang menekankan ‘Islam murni’
seperti dipraktikkan kaum Salaf. Pesantren Salafi menolak kompromi dengan
keindonesiaan semacam penghormatan pada bendera merahputih dan lagu Indonesia
Raya.
Tetapi
perkembangan ini memerlukan penelitian lebih jauh tentang pesantren berideologi
Salafi, khususnya tentang kurikulum, proses pembelajaran, posisi dan peranan
kiai, sub-kultur dan viabilitasnya di tengah masyarakat.
Jika
asumsi saya di atas benar—bahwa mayoritas pesantren sebagai lembaga induk masih
dimiliki ormas arus utama—maka lingkungan ideologi keagamaan Islam wasathiyah
inklusif dan akomodatif juga tetap bertahan. Dengan demikian, bisa diharapkan
pandangan dunia yang menerima dan menghormati kemajemukan, inklusivitas dan
toleransi tetap pula bertahan dan bahkan punya peluang untuk dikembangkan lebih
jauh.
By the
same token, literalisme syariah—yang mungkin terdapat pada
‘pesantren’ berideologi Salafi—sulit berkembang di lingkungan pesantren NU dan
juga di pesantren milik ormas Islam arus utama lain. Penekanan yang tetap masih
kuat pada tasawuf dan tarekat di kalangan NU khususnya—yang merupakan part and
parcel dari ideologi ‘Aswaja’—membendung tumbuhnya literalisme syariah atau fiqh di lingkungan
pesantren NU.
Mempertimbangkan
realitas pesantren dan lingkungan Islam lebih luas baik di tingkat nasional,
regional dan internasional, pesantren dapat menjadi lokus utama bagi proses
internasionalisasi Islam wasathiyyah. Sejak Peristiwa 11 September 2001 kian
banyak kalangan pejabat tinggi asing yang berkunjung ke pesantren dan akhirnya
melihat pesantren sebagai lembaga alternatif untuk mencegah bertumbuhnya paham
dan praksis keislaman radikal.
Dalam
konteks itu, pesantren perlu meningkatkan proses internasionalisasi.
Internasionalisasi itu dapat dibangun dengan memperkuat dan memberdayakan
jaringan pondok/pesantren di lingkungan ASEAN. Melalui jaringan ini dapat
diperkuat paham dan praksis Islam wasathiyah.
Selanjutnya,
pesantren dapat mengembangkan sendiri jaringannya dengan lembaga pendidikan
Islam di mancanegara lebih luas—khususnya Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Para
pemikir dan praktisi pendidikan pesantren dapat membantu pengembangan lembaga
pendidikan Islam di mancanegara tidak hanya dalam hal pendidikan saja, tapi
juga dalam sosialisasi dan penguatan paham dan praksis Islam wasathiyyah.
Bekerja
sama dengan Kemenag, Kemendikbud dan lembaga filantropy Islam untuk penyediaan
beasiswa, pesantren dapat meningkatkan jumlah para santri mancanegara, tidak
hanya dari negara-negara ASEAN, tapi juga dari Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika,
Eropa dan Amerika Utara. Pesantren juga dapat bekerjasama dengan NU,
Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang memiliki bobot, leverage, dan jaringan
luas untuk membangun networks dengan para pimpinan, organisasi dan lembaga
mancanegara, sehingga lebih memungkinkan rekrutmen para santri interasional.
Dengan
internasionalisasi baik di tingkat ASEAN maupun mancanegara lebih luas,
pesantren dan mereka yang terlibat dalam segala prosesnya dapat meningkatkan
aktualisasi dan peran Islam
rahmatan lil-‘alamin. []
REPUBLIKA,
12 Januari 2017
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar