Menyuarakan
Mayoritas yang Diam
Oleh:
Hasibullah Satrawi
Guru
besar hukum Islam dan Timur Tengah di Universitas California di Los Angeles,
AS, Khaled Abou el-Fadl, berpandangan bahwa kelompok radikal di dunia Islam
sejatinya adalah kelompok kecil. Sebaliknya, kelompok moderat merupakan
kelompok mayoritas. Namun, kelompok radikal yang kecil terasa besar di tengah
diamnya kelompok moderat yang ia sebut sebagai silent majority.
Beberapa
perkembangan mutakhir yang terjadi di republik ini menunjukkan bahwa pandangan
Khaled Abou el-Fadl di atas masih memiliki ruang relevansi yang sangat luas di
tengah kehidupan masyarakat. Betapa tidak, kelompok-kelompok non-arus utama
belakangan acap mewarnai ruang publik, khususnya melalui aksi damai di semua
jilidnya.
Padahal,
berapa pun jumlah umat yang turun ke jalan dalam aksi damai (ataupun aksi-aksi
tandingannya) tetaplah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jumlah
mereka yang memilih sikap diam di rumah masing-masing. Namun, karena dalam
hening, sikap dan suara mayoritas diam ini nyaris dianggap nihil. Bahkan, pada
beberapa bagian, suara dan sikap mayoritas diam ini menjadi ajang perebutan
klaim bagi mereka yang kerap bersuara lantang di ruang publik; masing-masing
pihak mengklaim mewakili aspirasi kelompok mayoritas diam.
Terlepas
apakah pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) benar-benar mengandung unsur
penodaan agama atau tidak, terma penodaan agama telah menjadi denyut nadi
sebagian umat dalam beberapa waktu terakhir. Mereka telanjur meyakini bahwa
kemuliaan agama ataupun kitab sucinya telah dinodai. Hal ini bisa terlihat
jelas dari sikap dan kegelisahan masyarakat umum di tingkat akar rumput,
khususnya di kalangan basis-basis utama umat Islam. Sekali lagi, hal ini
terlepas apakah pernyataan Ahok memang mengandung unsur penodaan agama atau
tidak.
Oleh
karena itu, ketika diajak untuk turun ke jalan menyampaikan aspirasinya, mereka
acap tidak berdaya untuk menolak. Nyaris tak ada kekuasaan apa pun untuk
menghalanginya; apabila tidakada angkutan umum pun, mereka berjalan kaki.
Dengan
kata lain, turun ke jalan tak ubahnya panggilan agama yang membuat mereka rela
meninggalkan rutinitasnya, rela mengeluarkan uang pribadinya. Bahkan, sebagian
pihak sampai pada tahap melupakan sakitnya demi untuk bisa berpartisipasi dalam
aksi yang diyakini demi kemuliaan agama ini.
Tentu
masing-masing pihak harus melakukan refleksi mendalam dan jujur: kenapa bisa
terbentuk denyut nadi umat seperti ini? Dari segi hukum sebab-akibat, tak
mungkin denyut nadi ini tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya atau jatuh dari
langit tanpa ada proses. Dengan kata lain, ada proses panjang dan kompleks
menuju terbentuknya denyut nadi ini.
Kegamangan
kelompok moderat
Ironisnya,
ketika denyut nadi umat sudah terbentuk seperti di atas, kelompok moderat
justru terjebak dalam sikap kegamangan yang akut. Di satu sisi turut
berkontribusi bagi terbentuknya denyut nadi tersebut, tetapi di sisi lain
mereka khawatir persoalan ini menjebol komitmen kebangsaan yang ada.
Kelompok
moderat juga gamang menempatkan diri di antara sikap pemerintah dan tuntutan
umat. Bahkan, kelompok moderat juga gamang antara mendukung atau melarang aksi
turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Singkat
kata, kegamangan yang ada telah membuat kelompok moderat enggan memberikan
saluran bagi umat untuk menyampaikan aspirasinya. Sementara kelompok non-arus
utama justru memberikan saluran sebesar-besarnya bagi umat yang hendak
menyampaikan aspirasi.
Itu
sebabnya, jangan heran jika kelompok-kelompok non-arus utama tampak seperti
penguasa umat. Hampir bisa dipastikan, sebagian dari mereka yang turun ke jalan
adalah umat dari ormas- ormas moderat. Namun, karena kelompok moderat terjebak
dalam kegamangan seperti di atas, kelompok non-arus utama berhasil menjadi
lidah dan bersuara atas nama mereka.
Menurut
hemat penulis, inilah yang membuat kelompok silent majority semakin asyik
dengan keheningan dan sikap diam mereka. Di satu sisi, kelompok ini merasakan
kekhawatiran mendalam terkait dengan dampak dari persoalan yang semakin liar
ini. Akan tetapi, di sisi lain, mereka tidak rela suaranya diatasnamakan oleh
kelompok yang selama ini cenderung bersikap radikal.
Bahkan,
mereka mungkin juga tidak rela suaranya dijadikan modal untuk kepentingan
kontestasi politik pilkada yang melebur dalam hiruk-pikuk persoalan ini. Dalam
kondisi seperti ini, sikap paling aman bagi mereka adalah diam. Suara paling
merdu adalah keheningan.
Suara
perdamaian
Oleh karena
itu, tak ada pilihan lain, kelompok moderat harus keluar dari kegamangan yang
ada; memberikan saluran bagi denyut nadi umat sekaligus membuat kelompok silent
majority bersuara. Memberikan saluran bagi denyut nadi umat artinya memahami
bahwa sebagian masyarakat saat ini telanjur meyakini akan terjadinya penodaan
agama. Sejauh ini masyarakat sangat menghormati dan menaruh harapan tinggi
terhadap proses hukum yang berlangsung.
Di satu
sisi, kehadiran kelompok moderat dalam kondisi seperti ini sangat penting untuk
memastikan aspirasi masyarakat mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait,
khususnya aparat penegak hukum. Di sisi lain, kelompok moderat bisa menjadi
wadah yang nyaman dan terkontrol bagi masyarakat, khususnya pada saat-saat
keluarnya vonis pengadilan sebagai kalimat terakhir dari persoalan ini.
Lebih
jauh lagi, kehadiran kelompok moderat seperti ini bisa membuat kelompok silent
majority keluar dari ruang heningnya dan bersuara lantang. Akan tetapi, tentu
saja demi perdamaian dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
bersifat majemuk.
Diakui
atau tidak, perdamaian adalah cita-cita tertinggi dari masyarakat luas. Para
pihak yang belakangan saling melakukan aksi pengerahan massa juga mengklaim
aksinya demi perdamaian, bahkan aksi super damai. Pun diakui atau tidak,
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat majemuk masih
menjadi komitmen semua pihak, termasuk para pihak yang belakangan saling
melakukan aksi pengerahan massa.
Dengan
kata lain, sekompleks dan sepelik apa pun persoalan yang timbul akibat persoalan
dugaan penodaan agama yang dilakukan Ahok, masyarakat tidak menghendaki masalah
ini berkembang menjadi konflik yang sarat dengan kekerasan, alih-alih
menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat majemuk. Apabila
ada pihak-pihak yang menghendaki demikian, mereka adalah kelompok kecil yang
dari dahulu memang tidak menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
senantiasa menggunakan cara-cara kekerasan dalam perjuangannya.
Dalam
konteks seperti ini, kehadiran dan peran kelompok moderat dapat menjadi gembok
kebangsaan bagi penyelesaian persoalan dugaan penodaan agama melalui jalur
hukum. Pada waktu yang bersamaan, peran dari kelompok moderat dapat menutup
pintu-pintu fitnah kebangsaan yang belakangan bermunculan dengan memanfaatkan persoalan
dugaan penodaan agama ini. []
KOMPAS,
24 Januari 2017
Hasibullah
Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar