Jumlah
Besar Jadi Beban Sejarah
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sekiranya
diizinkan mengerang, saya akan lakukan siang dan malam, tetapi agama
melarangnya. Tidak ada manfaatnya mengerang dan meratap panjang, tanpa berbuat
sesuatu kebajikan untuk semua, betapa pun kecil nilainya. Umat Muslim yang
bertebaran di muka bumi dalam jumlah sekitar 1,6 miliar dan akan terus
membengkak dari waktu ke waktu nyaris lumpuh dalam perlombaan peradaban. Tetapi
apakah dunia memperhitungkan jumlah besar ini, kecuali untuk diperas dan
dipermainkan, sementara yang menjadi sasaran permainan masih saja merasa
sebagai umat yang terbaik yang dikhotbahkan dari mimbar ke mimbar? Perasaan
palsu semacam ini belum beranjak jauh dari dari hampir seluruh komunitas Muslim
dari timur sampai ke barat, dari utara sampai ke selatan. Muslim Indonesia adalah
bagian yang disorot dalam tulisan ini, dan saya yang lemah ini hanyalah sebuah
skrup alit (kecil)
yang berada di tengah sorotan itu.
Siapakah
yang bisa menghilangkan beban kehinaan sejarah ini? Tidak seorang pun, kecuali
mereka sendiri yang mau sadar dan jujur dalam membaca diri mereka dalam
kaitannya dengan perjalanan peradaban global, yang baik atau pun yang nista.
Tuhan sendiri, tanpa inisiatif kolektif umat Muslim, berdasarkan logika Alquran
(surat al-Ra’d:11 dan surat al-Anfâl: 53) terkesan akan berdiam diri,
membiarkan umat ini tenggelam dan tersungkur hingga ke kerak bumi yang
terdalam, jika kelakuan bahlul mereka, termasuk saya sendiri, tidak berubah
secara radikal dan berani untuk keluar dari kotak kelam dan pengap kesadaran
sejarah yang sudah berjalan dalam lapisan abad yang panjang.
Dunia
Arab Muslim jangan ditanya lagi, semuanya tiarap dalam keputusasaan dan
penderitaan. Negara-negara besar sedang berpesta menghancurkan mereka. Mereka
yang waras sudah tidak betah dan tidak nyaman lagi hidup di kampung halamannya.
Mereka hijrah dan berkarya di belahan dunia lain. Prof. Komaruddin Hidayat
dalam artikelnya baru-baru ini di bawah judul: “Mengapa Denmark Menjadi Salah
Satu Negara Termakmur Dunia? sungguh sangat menyengat dan menyayat. Bukan saja
termakmur, selain Selandia Baru, tetapi juga aman dan nyaman untuk tempat
tinggal bagi siapa saja, padahal mereka tidak pernah mengaku sebagai umat yang
terbaik.
Dalam
artikel itu dikatakan bahwa hanya ada satu kata kunci filosofi yang menyatu
dengan kehidupan rakyat mereka: kejujuran, sesuatu yang nyaris sirna dalam
komunitas Muslim yang tidak jarang senang hidup dalam serba topeng kepalsuan
dan suka menfitnah, tanpa rasa dosa dan dusta. Tentu pasti ada pengecualian
yang masih menjaga nilai-nilai luhur agamanya, tetapi sering hidup dalam
kesunyian di tengah kebisingan ketidakjujuran.
Sebuah
umat yang hidup dalam kenistaan sejarah akan sangat sulit mengembangkan nalar
jernih, cerdas, dan tulus, sekalipun mereka berpendidikan tinggi dengan gelar
profesor, tetapi terkepung dalam himpitan kehinaan di titik nadir.
Kesulitannya, tak mau mengakui secara jujur dengan jalan bersedia menengok borok
kebanggaan palsu yang telah diidap terlalu lama. Jeritan Iqbal kepada Rumi abad
yang lalu terasa masih segar untuk dibaca:
Pikiranku
tinggi menyentuh langit;
Tapi di
bumi aku terhina, kecewa, dan sengsara.
Urusan
dunia tak mampu kutangani;
Dan aku
tetap saja menghadapi rintangan di jalan ini.
Mengapa
urusan dunia terlepas dari penguasaanku?
Jawaban
telak Rumi di bawah ini membuka lorong buntu itu:
Siapa pun
yang [mengaku dapat] berjalan di langit;
Mengapa
harus sulit baginya melangkah di bumi?
(Dikutip
dari Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago-London: The
University of Chicago Press, 1982, hlm. 58).
Inti
pesannya sangat terang benderang: lepaskan diri dari pengakuan palsu dan hadapi
kenyataan dengan penuh kejujuran, keberanian, sekalipun harus melukai diri
sendiri. Tanpa sikap ini, Tuhan sendiri jangan diharap akan membela nasib
manusia tertindas, tetapi pongah dan culas, dan bahkan sering berteriak atas
nama Tuhan. Ini adalah sebuah krisis mental yang perlu segera dicarikan obatnya
dengan jalan beragama secara tulus dan jujur. Jalan lain pasti akan berujung
dengan kebuntuan. Beban sejarah yang sangat berat hanya dapat dilepaskan dengan
membiarkan nurani berbicara sebening dan sebersih mungkin. Saya sendiri belum
tentu mampu melakukannya. Siapa tahu tuan dan puan lebih punya kemampuan untuk
keluar dari krisis lingkaran setan ini. []
REPUBLIKA,
24 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar