Demokrasi,
Integrasi, Makar
Oleh: Moh
Mahfud MD
Apakah
demokrasi dalam hidup bernegara merupakan sistem yang baik? Jawabannya pasti
tidak. Demokrasi hanyalah sistem yang paling sedikit kelemahannya jika
dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang semuanya memuat unsur jelek. Sejak
zaman Yunani kuno Plato sudah mengingatkan, demokrasi berpotensi menimbulkan
massa liar dan beringas. Demokrasi juga terlalu berisiko memperjudikan nasib
negara karena memberikan hak kepada rakyat yang pada umumnya awam untuk
menentukan arah dan kepemimpinan negara.
Di dalam
masyarakat yang kurang terdidik yang muncul bisa-bisa demokrasi jual beli,
transaksional, bahkan demokrasi kriminal. Aristoteles, yang juga murid Plato,
mengingatkan bahwa di dalam demokrasi banyak demagog, agitator ahli pidato, dan
jago membuat janji tetapi tidak pernah bisa memenuhinya. Banyak politikus
demagog di dalam demokrasi yang tidak bisa memenuhi janjinya baik karena dia
tidak tahu atas kompleksitas apa yang dijanjikannya maupun karena sejak awal
niatnya memang membohongi.
Demokrasi,
dalam faktanya, juga sering dijadikan mekanisme kolusi untuk berkorupsi.
Artinya, korupsi bisa dibangun melalui mekanisme demokrasi oleh pejabat-pejabat
yang dipilih melalui mekanisme ”formal” demokrasi juga. Tetapi, demokrasi
tetaplah merupakan pilihan terbaik dari alternatif-alternatif sistem lain yang
juga berpotensi melahirkan praktik-praktik buruk.
Demokrasi
tetaplah yang terbaik jika dibandingkan dengan otokrasi, oligarki, tirani,
monarki, bahkan dengan aristokrasi sekali pun. Para pendiri negara kita,
Indonesia, paham benar kekuatan dan kelemahan berbagai sistem itu. Selain soal
dasar ideologi negara para pendiri juga sudah memperdebatkan apakah Indonesia
akan dibangun berdasar sistem kerajaan atau republik, berdasar monarki atau
demokrasi.
Sampai-sampai
pilihan atas bentuk pemerintahan republik dan demokrasi dilakukan melalui
voting di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Setelah perdebatan seru pada stem (voting) di BPUPKI tanggal 11 Juli
1945 disepakatilah Indonesia didirikan sebagai negara dengan bentuk
pemerintahan republik yang kemudian disebut Negara Republik Indonesia.
Selain
memilih negara republik sebagai bentuk pemerintahan, para pendiri negara juga
memilih bentuk kesatuan sebagai bentuk negara. Jadilah negara kita sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pilihan atas demokrasi dengan bentuk
pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, dengan demikian, merupakan
kesepakatan para pendiri negara yang juga adalah pemimpin bangsa yang kemudian
dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Begawan
konstitusi KC Wheare, penulis buku the Modern Constitutions, memang mendalilkan
bahwa konstitusi adalah resultante alias kesepakatan para pembentuknya sesuai
dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat
dibuat. Tetapi, pilihan kita atas demokrasi bukan tidak menghadapi problem
serius dalam menjaga kelangsungan negara.
Demokrasi
ada kalanya mengancam integrasi, prinsip lain yang tak kalah penting dalam
bernegara. Integrasi dan demokrasi sama pentingnya bagi kelangsungan negara.
Negara dibangun agar terjadi integrasi (kebersatuan) yang kokoh, demokrasi
dibangun guna memberi peluang bagi setiap individu dan kelompok primordial
sekali pun untuk menyatakan aspirasinya dalam penyelenggaraan negara.
Dilema
antara demokrasi dan integrasi terjadi karena keduanya mempunyai watak yang
berlawanan. Demokrasi ingin membebaskan, sedangkan integrasi ingin mengekang.
Dilema itu pernah ditulis oleh Clifford Geertz dalam topik the Integrative
Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States ( 1971).
Kegagalan
mengelola keseimbangan antara demokrasi dan integrasi bisa menimbulkan
disintegrasi, bahkan kehancuran. Pakistan memecahkan diri dari India pada tahun
1947, padahal sebelumnya merupakan kesatuan Hindustan di bawah Britania Raya,
karena sentimen agama. India didominasi Hindu, sedangkan Pakistan didominasi Islam.
Selanjutnya Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan pada 1971 karena perbedaan
primordial kedaerahan, bahasa, dan warna kulit.
Orang-orang
Pakistan tinggal di wilayah barat, berbahasa Urdu, dan berkulit terang;
sedangkan orang-orang Bangladesh tinggal di daerah timur, berbahasa Bengali,
dan berkulit agak gelap. Kita bersyukur, sampai saat ini Indonesia masih dapat
menjaga integrasi dengan sistem demokrasi yang beberapa kali mengalami uji
perubahan.
Meskipun
begitu, problem tentang dilema antara demokrasi dan integrasi bukannya tidak
ada di Indonesia. Kasus yang sekarang ramai, sangkaan makar terhadap 12 orang
yang, antara lain, memunculkan nama tersangka Rachmawati dan Sri Bintang
Pamungkas, pada dasarnya merupakan dilema antara membangun demokrasi dan
menjaga integrasi.
Pada satu
pihak para tersangka merasa menggunakan hak-hak politiknya dengan mekanisme
demokrasi sesuai dengan jaminan konstitusi. Di pihak lain, aparat hukum negara
melihat penggunaan hak-hak tersebut mengancam integrasi karena, disangka,
berbau makar. Disinilah dilemanya, terasa ada perbenturan kepentingan antara
membangun demokrasi dan menjaga integrasi.
Maka itu,
diperlukan sikap kenegarawanan dari semua pihak, baik yang ingin menggunakan
jalur demokrasi maupun yang ingin menjaga integrasi. Integrasi harus dijaga
sebagai harga mati, demokrasi harus dibangun sebagai mekanisme pemenuhan
ketentuan konstitusi. Demokrasi dan integrasi harus berjalan harmonis karena
keduanya merupakan jiwa konstitusi.
Demokrasi
tidak boleh liar, integrasi tidak dapat sewenang-wenang. Semua harus bekerja di
dalam koridor konstitusi. Konstitusi kita menentukan, Indonesia bukan negara
demokrasi (berkedaulatan rakyat) semata, tetapi negara nomokrasi (berkedaulatan
hukum) juga. Sikap kenegarawananlah yang bisa menyuburkan keduanya. []
KORAN
SINDO, 14 Januari 2017
Moh
Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar