Krisis
Politik di Turki (2)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sisi
gelap akibat konflik dalam sistem kekuasaan sepanjang sejarah, khususnya di
dunia Muslim, sudah banyak dibicarakan para ahli. Karya Prof. Mahmoud M. Ayoub
di bawah judul: The Crisis of Muslim History (Religion and Politics in Early Islam),
terbitan Oxford: Oneworld Publications, 2009, membantu kita untuk memahami
konflik politik masa dini itu. Ternyata dalam realitas politik, bukanlah sebuah
perkara mudah untuk mengawinkan Islam dengan sistem kekuasaan, sekalipun
Alquran telah memberi rambu-rambu utama yang jelas tentang itu, seperti adanya
sistem musyawarah, prinsip keadilan, dan ajaran persamaan. Rintangannya tidak
bersumber pada ajaran, tetapi terletak pada ketidaktaatan penguasa Muslim untuk
berpedoman kepada rambu-rambu itu. Fenomena ini telah berlaku tidak lama
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 masehi.
Maka apa
yang sedang terjadi di Turki sekarang bukan sesuatu yang baru, sekalipun sangat
disesalkan karena tumpuan harapan kepada negara ini menjadi sirna lagi. Saya
yang sudah puluhan tahun mencoba memahami kaitan agama dan kekuasaan, akhirnya
harus menelan pil pahit, karena titik ujungnya tidak kunjung kelihatan. Islam
sering benar tidak berdaya berhadapan dengan kelakuan penguasa Muslim yang
semau gue memainkan simbol-simbol agama untuk mempertahankan kekuasaan duniawi.
Tidak jarang dengan stempel ulama. Erdogan kini sedang berada dalam sorotan
tajam ini. Saya tidak menggunakan sumber-sumber Barat, tetapi melulu dari
sumber penulis Turki dalam tulisan ini.
Menurut
catatan Mustafa Akyol dalam artikelnya berjudul “Gulenist Crisis Sets off
Intra-Islamic Debate in Turkey” yang diposkan pada 2 September 2016, menyebut
nama Prof. Mustafa Cagrici, mantan mufti Istanbul, seorang teolog. Belum lama
ini pernyataan Cagrisi telah memicu kontroversi karena pendapatnya dalam
ungkapan: “perlunya mempertanyakan komunitas-komunitas Islam.” Yang
dipertanyakan bukan hanya pengikut Gulen, tetapi katanya banyak komunitas
Muslim lain masih percaya kepada mitos Imam Mahdi, tokoh penyelamat yang
akan muncul di akhir zaman.
Padahal,
kata Cagrici, kepercayaan serupa itu tidak terdapat dalam Alquran. Mitos-mitos
ini, tulis Cagrici, “muncul dari informasi keagamaan yang bengkok, diproduksi
selama berabad-abad,” dan pengikut Gulen telah mengubahnya menjadi sebuah
bahaya karena kemampuan mereka mendapatkan kekuasaan yang besar. Seperti kita
maklum, Erdogan bahkan memasukkan gerakan Gulen ini sebagai gerakan teror.
Akibatnya, masyarakat Turki terbelah dan saling mencurigai. Ini jelas sebuah
malapetaka, saat Turki sedang berjuang keras untuk masuk dalam lingkungan Uni
Eropa, sebuah tikungan yang berliku. Belum lagi betapa beratnya menangani
pengungsi Suriah yang tumpah ke negara itu.
Persisnya
apa yang terjadi, saya tidak tahu, tetapi pengikut-pengikut Gulen yang tulus
jelas tidak menyadari sisi gelap dari gerakan yang ditengarai berbau Imam Mahdi
ini. Mereka adalah korban belaka. Inilah komentar Mustafa Akyol tentang gejala
ini: “Masalah-masalah teologis yang kita lihat dalam komunitas Gulen sebenarnya
berakar dalam tradisi Sunni yang melepaskan diri dari individualisme dan
rasionalisme sebagai ongkos bagi ketaatan dan mistisisme. Kepercayaan yang kuat
pada apokalitisme—bahwa kita sedang berada di ‘akhir zama dan seorang
penyelamat diperlukan’—juga sesuatu masalah yang umum pada berbagai kelompok
Muslim, semuanya memandang pemimpinnya sendiri sebagai seorang yang sedang
ditunggu itu.”
Akyol
benar. Ini bukan hanya terdapat di Turki, tetapi di berbagai bagian dunia
Muslim di saat nalar umat tidak kuasa lagi menjelaskan dan menanggung krisis
yang sedang dialami. Anggota masyarakat lalu mencari solusi yang bersifat
apokalistik itu. Apalagi di Turki, gerakan sufi demikian kuat, sebuah gerakan
spiritual yang tidak mustahil bisa berimpitan dengan kepercayaan apokalitisme itu.
Dengan terbelahnya masyarakat Turki dan adanya penangkapan besar-besaran
terhadap mereka yang dikategorikan sebagai pengikut Gulen, wibawa Erdogan tentu
semakin berkurang.
Umumnya
jika kewibawaan melemah, maka seorang penguasa akan menempatkan keluarga
dekatnya sebagai perisai bagi pengamanan kekuasaannya. Ini bisa mendorong bagi
terciptanya sistem politik dinasti. Akankah Turki akan bergerak mundur menuju
sistem politik yang ketinggalan zaman itu? Kita bicarakan selanjutnya. []
REPUBLIKA,
04 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar