Selasa, 17 Januari 2017

BamSoet: Bahaya Hoax Dan Serangan Siber



Bahaya Hoax Dan Serangan Siber
Oleh: Bambang Soesatyo

Belajar dari keberhasilan agen rahasia Rusia menjebol pertahanan siber (cyber defence) Amerika Serikat (AS), kekuatan dan kemampuan BSN harus dirancang sedemikian rupa agar efektif menangkal serangan siber (cyber attack) dari negara lain. Inisiatif pemerintah membentuk dan membangun BSN berada di jalur yang benar, bahkan momentumnya pun tepat. Tidak hanya didorong oleh maraknya penyebaran berita bohong atau hoax, diyakini bahwa inisiatif pemerintah menghadirkan dan memfungsikan BSN juga lebih dilandasi alasan, pertimbangan, dan kebutuhan strategis.

Salah satu alasan yang utama adalah menangkal potensi serangan siber oleh agen rahasia negara lain. Serangan siber dari negara yang satu ke negara lain kini bukanlah cerita fiksi atau kisah imajiner. Dia sudah menjadi sebuah kenyataan. Dan, pihak yang sudah merasakan dampak serangan siber itu bukan sembarang negara, melainkan negeri adidaya bernama AS itu. Badan- badan intelijen AS yang kondang seperti Central Intelligence Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI) sudah membuat pengakuan terbuka bahwa jaringan agen rahasia Rusia berhasil membobol pertahanan mereka.


Bakal Presiden AS Donald Trump pun akhirnya mengaku dan percaya dengan kesimpulan CIA dan FBI yang menuduh Rusia melakukan serangan siber untuk mengintervensi pemilu AS. Padahal, Trump sebelumnya mengejek intelijen AS menyebarkan hoax. Pembobolan pertahanan siber AS oleh Rusia itu tidak hanya membuat malu, tetapi juga membangun rasa cemas di AS. Komunitas agen rahasia AS dalam FBI maupun CIA kini mencemaskan masa depan keamanan nasional negeri itu Kasus peretasan dokumen Partai Demokrat AS oleh agen rahasia Rusia itu patut mengingatkan semua pihak di dalam negeri terhadap penyebaran berita bohong sepanjang November 2016, khususnya berita bohong yang diasumsikan bersumber dari lembaga-lembaga negara seperti Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Seperti diketahui, sampai pekan kedua November tahun lalu, publik di dalam negeri disuguhi hoax tentang instruksi kapolri, hoax tentang hasil rapat BIN, hingga hoax tentang rush money besar-besaran. Penebaran aneka hoax itu memang patut dilihat sebagai upaya pihak tertentu mengeskalasi ketidakpastian. Muatan informasi dalam beberapa hoax itu jelas-jelas sudah mengarah pada upaya merusak stabilitas dan keamanan nasional serta mengganggu ketertiban umum.

Ragam berita bohong itu dimunculkan di ruang publik dengan menunggangi aksi damai sejumlah elemen masyarakat yang mengecam kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki TjahajaPurnamaaliasAhok. Tak hanya diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi saat itu, tetapi juga upaya untuk mengeskalasi atau memperlebar persoalan. Namun, tidak berlebihan untuk melihat aneka hoax itu sebagai upaya awal pihak tertentu meretas dokumen-dokumen penting dan rahasia di lingkungan Polri, BIN, hingga perbankan nasional.

Faktor yang patut digarisbawahi adalah fakta bahwa pelaku penyebaran informasi sesat itu sudah berani merangsek ke institusi Polri dan kapolri dengan tujuan mengacaukan pola dan sistem komando. Pelaku juga berupaya memanipulasi informasi BIN serta coba membangun rasa cemas, panik, dan mendorong masyarakat atau nasabah bank menarik dana (rush). Dalam konteks keamanan, kredibilitas, dan urgensi rahasia negara, beberapa hoax itu patut dikategorikan sebagai masalah sensitif karena bertujuan merusak kredibilitas kapolri, institusi BIN, hingga upaya membuat panik nasabah bank.

Rentan

Selain ragam hoax pada November 2016 itu, ada juga faktor pengingat lain yang perlu dikedepankan untuk menyegarkan kesadaran dan kewaspadaan bersama. Faktor itu adalah serangan intelijen asing dengan modus penyadapan. Kasus-kasus ini membuktikan Indonesia rentan terhadap serangan intelijen asing. Pada 2013 publik di dalam negeri heboh sebab media asing melaporkan bahwa presiden RI, ibu negara, sejumlah menteri, dan pejabat tinggi negara menjadi target penyadapan oleh para agen rahasia Defence Signals Directorate Australia.

Selama 15 hari sepanjang Agustus 2009, intelijen Australia bisa mendeteksi kegiatan presiden RI melalui telepon genggam. Dan, menjelang akhir 2010, Wikileaks mengaku memiliki tak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik Pemerintah AS. Informasi rahasia itu mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu laporan diplomatik yang dikirim Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta dan Konsulat Jenderal (Konjen) AS di Surabaya.

Kini potensi ancamannya tak lagi hanya berupa penyadapan atau pencurian dokumen. Ragam rahasia negara bisa dibobol dengan modus serangan siber. Sekali lagi, kasus serangan siber oleh agen rahasia Rusia ke AS patut dijadikan pelajaran yang mengingatkan pentingnya Indonesia meningkatkan kewaspadaan agar tidak menjadi target serangan siber dari negara lain. Karena itu, upaya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mempercepat pembentukan BSN harus didukung.

Lebih cepat terbentuk dan operasional akan lebih baik. Bagaimana pun, kasus serangan Rusia ke AS akan menjadi preseden sehingga Indonesia harus responsif. Menurut hasil penelitian Kaspersky Lab pada 2015, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia-Pasifik yang berpotensi besar menjadi target serangan siber. Indonesia berada di urutan kedelapan negara APAC paling rentan. Serangan siber tidak hanya menyasar perbankan, tetapi juga industri lain.

Kalau serangan siber bisa menargetkan semua subsektor ekonomi, modus serangan serupa tentu saja bisa juga menargetkan semua kementerian dan lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan dan DPR. Kasus penyadapan telepon presiden RI oleh agen rahasia Australia setidaknya sudah membuktikan hal itu. Jangan sampai serangan siber oleh agen rahasia negara lain bisa menyasar dokumen-dokumen rahasia di Kantor Presiden RI atau DPR RI.

Patut disyukuri bahwa pemerintah bergerak cepat mewujudkan BSN. Rencananya, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) akan dijadikan embrio BSN. BSN akan memperkuat fungsi Lemsaneg. Nanti BSN akan mengoordinasikan fungsi dan peran unit Cyber Deffence di Kementerian Pertahanan, Cyber Intelligence di BIN, dan Cyber Security di tubuh Polri. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sedang menyiapkan 100 ahli teknologi informasi (IT) untuk memperkuat BSN.

Selain dibekali materi mengenai bela negara, mereka juga sedang menempuh pendidikan di berbagai institusi di dalam dan luar negeri. Mempercepat kehadiran BSN patut dipahami sebagai langkah Indonesia beradaptasi dengan tantangan zaman. Apalagi, fakta dan penelitian sudah mengonfirmasi bahwa negara ini rentan serangan siber. Indonesia punya pengalaman buruk dengan Australia yang pernah menyadap presiden RI.

Aksi penyadapan itu diketahui sebagai kerja sama agen rahasia Australia dengan Badan Keamanan Nasional AS atau National Security Agency (NSA). Sudah bukan rahasia lagi bahwa AS dan sekutunya tidak pernah berhenti mematamatai teman sendiri atau negara lain yang berseberangan. Sedangkan Australia tak pernah berhenti menaruh curiga terhadap sejumlah negara di Asia- Pasifik, termasuk Indonesia.

Maka, wajar jika Indonesia boleh curiga bahwa Australia dan AS punya agenda melakukan serangan siber ke Indonesia. Untuk merespons serangan siber dari negara mana pun, kekuatan dan kapabilitas BSN harus dirancang sedemikian rupa agar efektif menangkal serangan.

KORAN SINDO, 16 Januari 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar, Presidium KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar