Bangsa
Yatim Piatu
Oleh:
Muhammad Ainun Nadjib
Bangsa
Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di
antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah
tabungan kebencian, dendam, dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam.
Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau untuk
mencelakakan anak-cucu kita sendiri kelak.
Masing-masing
yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya. Dan,
tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan
mempersalahkan pihak ini atau itu. Minimal, untuk sementara, ada baiknya
menghindari ”kenikmatan” menuding ”siapa yang salah”. Sebab, kalau salah-benar
diposisikan pada subyek, kemudian yang ditegakkan adalah pro-kontra, maka semua
akan terjebak situasi subyektif: kalau ”pro” suatu pihak, maka ia ”benar 100
persen”; kalau ”kontra” suatu pihak, maka ia ”salah 100 persen”. Kita berada
sangat jauh dari kedewasaan berpikir.
Produknya,
kita bermasalah terhadap dua hal. Pertama, anak cucu kita akan kebingungan
mempelajari sejarah ”kebenaran melawan kebenaran” dan ”kebaikan melawan
kebaikan”. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri sebab
”setiap orang dan pihak ada benarnya dan ada salahnya”. Tidak bisa benar
mutlak, tidak bisa salah absolut.
Meskipun
pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan
mendiskusikan ”siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih menemukan
”apa yang salah”. Itu perlu pengorbanan pada harga diri subyektif
masing-masing. Sebab, keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran,
kejernihan, dan kejantanan untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran
orang lain.
Berpikir,
bersikap, dan bertindak NKRI
Yang saya
maksud ”puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di
panggung di mana ”yang kuat mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin akan
menang di pengadilan ataupun di pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor yang
dianggap kontraproduktif terhadap kemenangan itu mungkin akan dipastikan untuk
dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri.
Minimal dieliminasi.
Mungkin
yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih
mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul
adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam
hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga
berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai bineka?
Kalau
belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah sopo siro
sopo ingsun (siapa kamu siapa aku, emang-nyakamu siapa!). Salah satu outputnya
adalah adigang adigung adiguna (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi
dikotomisnya adalah ”Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah ”Putih
melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa yakin dan memiliki
argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil sehingga
mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari
oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas
juga meyakini bahwa ia adalah ”Habil yang dibunuh Qabil” dan ”Putih yang
diberangus oleh Hitam”.
Mana Bapa
Adam? Mana Ibu Hawa? Habil ataupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam
Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya meskipun ia mengancam putranya
yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam-Hawa mempelajari
keduanya dengan sabar. Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang
dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil. Posisi Adam tak
ubahnya berpikir dan bersikap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yatim
piatu tiada tara
Bangsa
Indonesia adalah anak yatim piatu. Tidak punya bapak yang disegani dan tidak
ada ibu yang dicintai. Saya coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi.
Pertama,
ketika lahir, NKRI memang lebih berpikir ”membikin sesuatu yang baru” dan
kurang berpikir ”meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih ”sejarah
adopsi” dan tidak merasa perlu menekuni ”sejarah kontinuasi”. Kita dirikan
”negara” dan ”republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai,
birokrasi, dan hukum.
Kita
meneruskan ”mesin Belanda” meskipun dengan memastikan pengambilalihan
kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi kemungkinan formula yang otentik hasil
karya kita sendiri, yang merupakan kontinuitas kreatif dari apa yang sudah
dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak merdeka kita memang seolah-olah
”sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri. Padahal, Belanda sendiri, juga
banyak negara Eropa lain, tetap berpijak pada kerajaan ”orangtua” mereka. Fakta
yang itu justru tidak kita adopsi.
Juga
tidak belajar kepada Majapahit, umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam
Wuruk adalah kepala negara, Gajah Mada adalah perdana menteri. Kepala negara
bikin kebijakan dan sistem kontrol, perdana menteri berposisi eksekutif dalam
kontrol negara. Hari ini kepala pemerintahan kita adalah juga kepala negara.
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
sebagainya adalah lembaga negara, tapi faktanya mereka berlaku sebagai lembaga
pemerintah karena bangsa Indonesia tidak merasa perlu membedakan antara negara
dan pemerintah.
Negara
adalah bapak, Tanah Air adalah ibu (Pertiwi). Negara adalah keluarga,
pemerintah adalah rumah tangga. Manajemen rumah tangga adalah bagian dari
manajemen keluarga. Pegawai negeri sipil (PNS) yang diganti namanya jadi
aparatur sipil negara (ASN) tidak beralih kesadaran bahwa mereka adalah abdi
negara, yang patuh kepada UU negara. Bukan abdi pemerintah, yang taat kepada
atasan. Kalau anak merasa ia adalah bapak yang memiliki dan menguasai ibu, maka
sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan atas NKRI hari ini dan di masa depan.
Sekarang
anak-anak sedang nikmat bertengkar, tidak ada bapak yang mereka segani, tidak
ada ibu yang mereka cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para
tetangga mengincar kita, menginfiltrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa
kita, menggerogoti hak milik kita untuk dijadikan milik mereka.
Kedua, di
antara bapak-ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberikan pesan tentang sandang
pangan papan, keris pedang cangkul, gundul pacul, kawula gusti, dan sebagainya.
Pasti banyak juga pesan dari nenek moyang mereka yang Sunda, Minang, Bugis,
Batak, Sasak, Madura, dan ratusan lainnya, yang setelah merdeka semua itu kita
sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu menyebabkan
sekarang kita tidak lagi punya ”pusaka”, dalam dimensi kejiwaan bangsa ataupun
dalam penerapan tata sistem, konstitusi, dan hukum pengelolaan kebersamaannya.
Yang tak
kita ketahui
Apa yang
di awal tulisan ini saya sebut sebagai ”puncak eskalasi pertengkaran” adalah
jika pemerintah, yang bertindak atas nama negara, menerapkan ing ngarsa sung
kuwasa: berdiri paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai dan dengan
kekuatan untuk mengalahkan.
Adapun
posisi manusia itu ngawula atau menghamba. Maka, sila ke-1 Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba kepada Tuhan. Dalam
peradaban kerajaan, raja diverifikasi, dikualifikasi, kemudian dipercaya
sebagai representasi dari Tuhan. Maka, kawula, rakyat, menghamba kepada raja
sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.
Bangsa
Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses
identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui
raja atau presiden siapa, bisa keliru, itu persoalan lain. Dan, ini bukanlah
soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi, jelas ada yang
perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula
pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani bangsa Indonesia.
Kita
membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali cara pandang,
sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi pandang, bahkan
kearifan pandangterhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware ataupun
software-nya. Bineka harus kita tunggal-ika-kan, bukan memelihara dan
memperuncing permusuhan di antara bineka.
Untuk
jangka pendek, secara pribadi, saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat
sehari-hari. Bahwa, kalau engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak
kau perlakukan sebagai subyek utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih
bisa menunda bencana. Tapi, kalau NKRI bukan konsiderasi primer
langkah-langkahmu, maka tidak ada yang bisa menghindari bencana.
Engkau
bisa mudah menguasai pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga,
menaklukkan ormas-ormas. Tapi, pemerintah berbeda dengan bangsa Indonesia,
bangsa Indonesia berbeda dengan rakyat Indonesia, rakyat Indonesia berbeda
dengan hamba-hamba Tuhan di tanah air Indonesia. NU berbeda dengan nahdliyin,
Muhammadiyah berbeda dengan muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan umat
Islam, dan umat Islam berbeda dengan Islam.
Ada yang
bisa kau kalahkan, kau taklukkan, kau rampok, kau tindas, dan perhinakan. Tapi,
ada yang tidak. Yang tidak bisa kau taklukkan itu adalah dimensi dan energi
yang juga ada di semesta dan tanah yang disebut Indonesia. Ada yang sama sekali
tak kita ketahui tentang besok pagi. []
KOMPAS,
19 Januari 2017
M Ainun
Nadjib Budayawan; Pimpinan Jamaah Maiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar