Mbah Kuwu Sangkan,
Tokoh Babad Alas Islam Cirebon
Gerbang makam Mbah Kuwu Sangkan |
Cirebon merupakan
salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Selama ini masyarakat
masyhur hanya mengenal Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tokoh
utama penyebar Islam di Jawa Barat, salah satunya di Cirebon.
Tetapi jika ditelusuri
lebih jauh, tokoh babad alas Islam di Cirebon atau orang yang pertama kali
membangun pondasi keislaman adalah Mbah Kuwu Sangkan (lahir sekitar 1423
masehi). Atas peran sentralnya itu, Tim Anjangsana Islam Nusantara STAINU
Jakarta bergerak menelusuri jejak Mbah Kuwu di daerah Cirebon Girang, Kecamatan
Talun, Kabupaten Cirebon, Senin (23/1/2017).
Menurut Peneliti
Pusat Kajian Cirebon (Cirebonesse) IAIN Syekh Nurjati Mahrus el-Mawa, Mbah Kuwu
merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. “Masyarakat mengenal Mbah Kuwu
sebagai uwa-nya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,” ujar Mahrus yang
juga Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini.
Dalam berbagai
literatur menurut Mahrus, Mbah Kuwu mempunyai 5 nama yaitu Pangeran Cakrabuana,
Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah, dan Mbah Kuwu Sangkan
Cirebon Girang itu sendiri.
Mbah Kuwu Sangkan
terlahir tiga bersaudara, yakni Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang, beserta
Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang.
Sebagai Putra
Mahkota, Mbah Kuwu mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya, Prabu Siliwangi.
Hal ini terbukti dari pencapaiannya yang berhasil menduduki takhta Cirebon di
bawah Kerajaan Pasundan yang saat itu dipimpin Raja Galuh, dan Mbah Kuwu
merupakan raja pertama.
Perjuangan Mbah Kuwu
membangun Cirebon dan menyebarkan Islam dimulai pada usianya yang kala itu
masih menginjak 25 tahun. Ia mulai berdakwah, hingga mencapai puncaknya saat ia
menduduki singgasana kerajaan Cirebon, dari situ ia memiliki kekuatan untuk memperluas
wilayah dakwahnya.
Semasa hidup, Mbah
Kuwu memiliki dua istri, yakni Nyi Endang Golis dan Nyai Ratna Lilis. Dari
pernikahannya dengan Nyi Endang Golis dianugerahi keturunan Nyi Pakung Wati
yang kelak menjadi salah satu pendamping Syekh Syarif Hidayatullah.
Syekh Syarif
Hidayatullah sendiri merupakan putra dari Nyai Rarasantang, adik Mbah
Kuwu Sangkan. Sedangkan dari pernikahannya dengan Nyai Ratna Lilis dianugerahi
seorang putra bernama Pangeran Abdurrokhman.
Menurut beberapa
catatan sejarah, Mbah Kuwu Sangkan menyukai sejumlah hewan, yakni kucing Candra
Mawa, Macan Samba, dan Kebo Dongkol Bule Karone. Ketiga hewan tersebut diyakini
sudah punah dan sekarang menurut kepercayaan orang setempat ketiga hewan itulah
yang menjaga makam Mbah Kuwu.
Bentuk dari ketiga
hewan tersebut dapat dilihat pada patung-patung hewan yang ada di sekitar
lokasi makam. Mbah kuwu menetap di daerah Cirebon Girang, Talun sampai akhir
hayatnya pada tahun 1500-an Masehi atau abad 16 awal. Sumber sejarah lain
menyebut, Mbah Kuwu Sangkan wafat tahun 1529 Masehi.
Pelopor kebudayaan
Pasundan Islami
Selain Panglima
Ulung, Mbah Kuwu Sangkan adalah Pelopor Kebudayaan pasundan Islami. Dalam masa
4 abad lamanya yaitu menaklukkan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu.
Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.
Pangeran Cakrabuwana
mulai memerintah Cirebon pada 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum
mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang
kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 Masehi hingga tahun 1479
Masehi.
Mbah Kuwu juga
memiliki kriteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang
sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai macam
Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan mengembangkannya.
Ayahnya, Prabu
Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu kemiliteran,
politik dan kesaktian sejak kecil. Demi mencerdaskan anaknya, ia diserahkan
kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama
Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah Syekh Qurotullain, Syekh
Nurjati, Syekh Bayanillah, Ki Gde Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang, dan Ki Gde
Bango Cangak.
Dakwah Islam mulai
menyebar luas di daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang,
Sumedang, Purwakarta, Karawang, Priangan, Bogor yang kemudian mengalir ke
Banten.
Dari proses dakwah
tersebut, wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan,
antara Cirebon dan Banten. Kemudian, Ibu Kota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke
Lemah Wungkuk. Di sana lalu didirikan Keraton baru yang dinamakan Keraton
Pakungwati.
Beberapa sumber
setempat menyebut, pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana. Namun,
orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah
Syekh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik
dengan Sunan Gunung Jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati
adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan.
Di depan makam
sebelum memasuki gerbang, ada bangunan bernama Palinggihan Ichsanul Kamil.
Bangunan berwarna merah dan dikelilingi oleh pagar bercorak khas Islam di
wilayah Cirebon itu merupakan tempat meditasi Mbah Kuwu Sangkan untuk berinteraksi
dengan Tuhannya. Palinggihan sendiri berasal dari kata lungguh yang
berarti "duduk".
Sumber:
1. Wawancara dengan
Mahrus el-Mawa
2. Penulusuran
langsung ke Makam Mbah Kuwu Sangkan, Senin, 23 Januari 2017.
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar