Krisis
Politik di Turki (III)
Oleh:
Ahmad Syafi'i Maarif
Quo vadis Turki
bawah Erdogan? Baru sekitar 14 tahun Partai AKP mendominasi panggung politik
Turki, kini mulai bermunculan pertanyaan tentang hari depan republik ini.
Ketika terjadi pergolakan di dunia Arab dalam bentuk Musim Semi Arab akhir
tahun 2010, nama Erdogan, mantan wali kota Istanbul itu, berkibar tinggi
sebagai pahlawan yang dipuja di kawasan itu.
Dunia pun
terkesima oleh tokoh Islamis ini dengan memberikan banyak penghargaan doktor honoris causa kepada
Erdogan yang berhasil menjinakkan sekularisme Turki, warisan Kemal Ataturk itu.
Bukan hanya sebatas itu, pertumbuhan ekonomi Turki semula juga melejit di bawah
Erdogan. Mengapa sekarang merosot lagi?
Sebuah
artikel panjang di dunia maya yang menarik, ditulis oleh seorang sarjana Turki,
Dr Burak Kadercan, sekarang sebagai asisten profesor pada the Naval War
College, Amerika Serikat. Judulnya “Dynasty or Collapse? Erdogan's Choice and
What Comes Next for Turkey”, tertanggal 17 Agustus 2016. Gelar PhD dalam ilmu
politik diperoleh Burak dari Universitas Chicago tahun 2011. Tulisannya tentang
Turki dan pergolakan di dunia Arab cukup banyak yang dapat diakses mudah,
berkat internet. Bagian berikut terutama didasarkan kepada artikel Burak
Kadercan ini dengan beberapa catatan saya.
Terjemahan
judul artikel itu adalah: “Dinasti atau Hancur? Pilihan Erdogan dan Apa yang
akan Berlaku Berikutnya Bagi Turki.” Judulnya saja sudah membayangkan pesimisme
bagi hari depan Turki. Jika sistem dinasti yang dipilih Erdogan untuk Turki
masa depan, pasti akan memicu perlawanan keras dari berbagai kalangan, termasuk
dari tokoh-tokoh AKP.
Pilihan
lain: hancur? Saya belum sepesimistis Burak. Apakah tidak mungkin diupayakan
pilihan ketiga: ada kompromi politik di antara elite Turki dengan syarat Erdogan
siap mengendurkan syaraf kekuasaannya demi sebuah Republik Turki yang utuh,
demokratik, dan bersatu. Saya benar-benar risau mengikuti perkembangan politik
Turki terakhir.
Burak
mengawali kalimat analisisnya dengan: “Kisah Recep Tayyip Erdogan, presiden
Turki yang kontroversial, terus berlanjut. Berawal dari asal-mula yang
sederhana, mantan wali kota Istanbul itu naik ke puncak panggung politik Turki
pada saat negeri itu sedang melewati salah satu krisis ekonomi dan politik yang
sangat menantang. Tahun 2002, Partai Keadilan dan Demokrasi (AKP) yang baru
dibentuk Erdogan mencatat kemenangan pemilihan yang memesona dan merebut kursi
terbanyak di parlemen. Dalam tenggat waktu 14 tahun terakhir, Erdogan secara
bertahap dan sistematis melakukan konsolidasi bagi kekuasaan politiknya.”
Dilanjutkan:
“Hanya satu yang dia tidak miliki, sampai 15 Juli, yaitu sebuah tindakan
kepahlawanan, yang secara ideal didampingi oleh sebuah 'mukjizat'.” Dengan
kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016 itu, Erdogan bertindak cepat dengan meminta
rakyat turun ke jalan berdemonstrasi guna menentang komplotan kudeta. Benar
saja, imbauan Erdogan mendapatkan sambutan luar biasa dari rakyat, maka sebuah
diktator militer menjadi gagal diwujudkan.
“Ujungnya,
di bawah kepemimpinan Erdogan, rakyat mengatakan “tidak” kepada percobaan
kudeta, peristiwa pertama dalam sejarah Republik Turki. Hasilnya, kultus
pribadi Erdogan meraih puncaknya yang baru: reis (kepala)
kini telah menjadi sebutan semiresmi. Dan si reis sekarang
sedang berada di tepi penciptaan sebuah Turki 'baru': Turki Erdogan,” tulis
Burak.
Proyek
Turki Erdogan ini akan “mengubah gambaran politik Turki dan membangunnya
kembali dalam bayangan dirinya di tengah krisis politik yang kronis, lalu
bagaimana berikutnya?” tanya Burak. Beberapa kemungkinan bisa berlaku,
sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, seperti yang tecermin pada judul
artikel Burak di atas. []
REPUBLIKA,
10 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar