Kamis, 12 Januari 2017

Buya Syafii: Krisis Politik di Turki (III)



Krisis Politik di Turki (III)
Oleh: Ahmad Syafi'i Maarif

Quo vadis Turki bawah Erdogan? Baru sekitar 14 tahun Partai AKP mendominasi panggung politik Turki, kini mulai bermunculan pertanyaan tentang hari depan republik ini. Ketika terjadi pergolakan di dunia Arab dalam bentuk Musim Semi Arab akhir tahun 2010, nama Erdogan, mantan wali kota Istanbul itu, berkibar tinggi sebagai pahlawan yang dipuja di kawasan itu.

Dunia pun terkesima oleh tokoh Islamis ini dengan memberikan banyak penghargaan doktor honoris causa kepada Erdogan yang berhasil menjinakkan sekularisme Turki, warisan Kemal Ataturk itu. Bukan hanya sebatas itu, pertumbuhan ekonomi Turki semula juga melejit di bawah Erdogan. Mengapa sekarang merosot lagi?

Sebuah artikel panjang di dunia maya yang menarik, ditulis oleh seorang sarjana Turki, Dr Burak Kadercan, sekarang sebagai asisten profesor pada the Naval War College, Amerika Serikat. Judulnya “Dynasty or Collapse? Erdogan's Choice and What Comes Next for Turkey”, tertanggal 17 Agustus 2016. Gelar PhD dalam ilmu politik diperoleh Burak dari Universitas Chicago tahun 2011. Tulisannya tentang Turki dan pergolakan di dunia Arab cukup banyak yang dapat diakses mudah, berkat internet. Bagian berikut terutama didasarkan kepada artikel Burak Kadercan ini dengan beberapa catatan saya.
Terjemahan judul artikel itu adalah: “Dinasti atau Hancur? Pilihan Erdogan dan Apa yang akan Berlaku Berikutnya Bagi Turki.” Judulnya saja sudah membayangkan pesimisme bagi hari depan Turki. Jika sistem dinasti yang dipilih Erdogan untuk Turki masa depan, pasti akan memicu perlawanan keras dari berbagai kalangan, termasuk dari tokoh-tokoh AKP.

Pilihan lain: hancur? Saya belum sepesimistis Burak. Apakah tidak mungkin diupayakan pilihan ketiga: ada kompromi politik di antara elite Turki dengan syarat Erdogan siap mengendurkan syaraf kekuasaannya demi sebuah Republik Turki yang utuh, demokratik, dan bersatu. Saya benar-benar risau mengikuti perkembangan politik Turki terakhir.

Burak mengawali kalimat analisisnya dengan: “Kisah Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki yang kontroversial, terus berlanjut. Berawal dari asal-mula yang sederhana, mantan wali kota Istanbul itu naik ke puncak panggung politik Turki pada saat negeri itu sedang melewati salah satu krisis ekonomi dan politik yang sangat menantang. Tahun 2002, Partai Keadilan dan Demokrasi (AKP) yang baru dibentuk Erdogan mencatat kemenangan pemilihan yang memesona dan merebut kursi terbanyak di parlemen. Dalam tenggat waktu 14 tahun terakhir, Erdogan secara bertahap dan sistematis melakukan konsolidasi bagi kekuasaan politiknya.”

Dilanjutkan: “Hanya satu yang dia tidak miliki, sampai 15 Juli, yaitu sebuah tindakan kepahlawanan, yang secara ideal didampingi oleh sebuah 'mukjizat'.” Dengan kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016 itu, Erdogan bertindak cepat dengan meminta rakyat turun ke jalan berdemonstrasi guna menentang komplotan kudeta. Benar saja, imbauan Erdogan mendapatkan sambutan luar biasa dari rakyat, maka sebuah diktator militer menjadi gagal diwujudkan.

“Ujungnya, di bawah kepemimpinan Erdogan, rakyat mengatakan “tidak” kepada percobaan kudeta, peristiwa pertama dalam sejarah Republik Turki. Hasilnya, kultus pribadi Erdogan meraih puncaknya yang baru: reis (kepala) kini telah menjadi sebutan semiresmi. Dan si reis sekarang sedang berada di tepi penciptaan sebuah Turki 'baru': Turki Erdogan,” tulis Burak.

Proyek Turki Erdogan ini akan “mengubah gambaran politik Turki dan membangunnya kembali dalam bayangan dirinya di tengah krisis politik yang kronis, lalu bagaimana berikutnya?” tanya Burak. Beberapa kemungkinan bisa berlaku, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, seperti yang tecermin pada judul artikel Burak di atas. []

REPUBLIKA, 10 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar