Masjid
dan Politik
Oleh:
Azyumardi Azra
Apa
hubungan masjid dan politik? Meski Islam dipercayai para penganutnya sebagai
mengatur segala aspek kehidupan, apakah politik — yang lazimnya terkait
kekuasaan (power)—
kompatibel dengan masjid yang merupakan tempat suci di mana kaum beriman
menyembah Allah Yang Maha Suci.
Pada
pihak lain, politik lazimnya bersifat divisif — cenderung memecah belah.
Kepentingan politik tak bisa lain membuat orang dan kelompok bersifat partisan,
mementingkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain.
Di sinilah kemudian terjadi kontestasi kepentingan yang bukan tidak sering
berujung pada konflik fisik dan kekerasan — yang tidak selaras dengan kesucian
masjid.
Fenomena
semacam ini terjadi bukan hanya di masa kini, tetapi — suka atau tidak —
memiliki preseden historis panjang. Sejak masa Dinasti Umayyah dan berlanjut
dengan Dinasti Abbasiyah sehingga mencapai era Dinasti Usmani (Turki) menjelang
masa moderen, para penguasa berlomba mendirikan masjid.
Kenapa
para penguasa yang lebih berorientasi keduniaan gemar mendirikan masjid?
Tujuannya bukan hanya untuk memfasilitasi warga Muslim beribadah, tetapi juga
guna kepentingan politik. Mereka umumnya meski bukan sosok yang dikenal alim,
tetapi dengan membangun masjid menampilkan diri sebagai orang yang memiliki
perhatian pada salah satu keperluan pokok umat untuk beribadah dengan baik.
Sebab
itu, nama penguasa — sultan atau raja — disebut dan didoakan dalam khutbah dan
ceramah. Masjid menjadi tempat paling efektif untuk menyampaikan kebijakan dan
perintah penguasa. Berkombinasi dengan konsep politik Sunni yang menekankan
kepatuhan total pada penguasa, masjid mengukuhkan religio-politik Islam sejak
masa klasik dan abad pertengahan.
Fragmentasi
politik kaum Muslimin karena penjajahan Eropa mengakibatkan masjid tidak lagi
dapat menjadi pusat propaganda politik penguasa Muslim. Jika penguasa Muslim
yang dipertahankan penguasa kolonial Eropa — misalnya Inggris di Semenanjung
Malaya — dengan wewenang terbatas pada urusan keagamaan dan adat resam Melayu,
masjid diintegrasikan ke dalam ranah kekuasaan penguasa lokal. Dalam keadaan
ini, masjid tidak dapat lagi digunakan untuk kepentingan melawan kekuasaan
kolonial dan penguasa lokal sekutunya.
Sebaliknya
di Indonesia, kekuasaan politik Muslim lokal (kerjaan atau kesultanan) umumnya
dihapuskan kolonial Belanda. Karena itu, umat Muslimin dengan berbagai lembaga
dan pranatanya—termasuk masjid—menjadi independen dari politik. Kolonial
Belanda kemudian memandang masjid sebagai bagian ‘Islam ritual’ yang tidak
perlu dicampuri; berbeda dengan ‘Islam politik’ yang harus ditindas karena
dapat mengancam status-quo kekuasaan kolonial Belanda.
Hasilnya,
kebijakan itu dalam jangka panjang adalah rahmat terselubung (blessing in disguise) bagi
Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia mandiri dalam membangun masjid, mushala,
langgar dan seterusnya; juga dalam memberikan khutbah dan ceramah. Masjid menjadi
salah satu pusat terpenting pengembangan ‘Islam kultural’ yang menghasilkan
banyak warisan (legacy)
Islam Indonesia.
Perkembangan
inilah yang dapat menjelaskan kenapa masjid di Indonesia tidak pernah menjadi
ajang politik. Khutbah dan ceramah di masjid berlangsung secara bebas tanpa
harus ada sertifikat dan izin dari pihak berwenang semacam Kementerian Agama
dan/atau Kepolisian.
Khutbah,
ceramah atau halaqah di masjid atau mushala dalam dua atau tiga dasawarsa
terakhir juga sering bertema atau menyinggung soal politik. Tetapi jelas bukan
politik kekuasaan partisan yang berorientasi pada kekuasaan. Sebaliknya, lebih
menyangkut ajaran Islam tentang prinsip sistem politik dan etika politik yang
sering disebut sebagai high politics.
Meski
demikian, belakangan ini mimbar masjid sering digunakan untuk penyebaran paham
radikal, provokasi dan agitasi politik. Survei tentang masjid oleh Center for
the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta pada 2010 menemukan
meluasnya penggunaan mimbar masjid untuk kepentingan politik. Pengurus masjid
dan jamaah lama-kelamaan menjadi permisif pada paham dan praksis kekerasan.
Misalnya, 9 persen takmir masjid yang disurvei di wilayah DKI Jakarta setuju
penggunaan kekerasan atas nama amar ma’ruf nahi mungkar; dan dengan persentase
sama mereka menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia. Cukup alarming, 31 persen setuju
pemberlakuan hukum jinayah (pidana) syariah seperti potong tangan dan rajam.
Meski
kabar ini tidak menggembirakan, tetapi Indonesia beruntung karena masjid tidak
memiliki tradisi sebagai pusat aktivisme politik kekuasaan seperti terjadi di
Dunia Arab, misalnya. Ini juga terkait kenyataan Jumat di Indonesia bukan hari
libur, sehingga jamaah kembali ke rutinitas mereka seusai Jumatan.
Jika ada
upaya menjadikan masjid sebagai pusat aktivisme politik di tanahair, jelas
tidak sesuai dengan realitas historis dan tradisi umat Islam Indonesia. Jika
ada kasus-kasus isolated di mana masjid mau dijadikan pusat aktivisme politik,
ini dapat memunculkan kontestasi dan konflik baru di antara jamaah dan umat
secara keseluruhan.
Karena
itu kesucian masjid perlu dijaga. Silakan politik kekuasaan partisan dilakukan
di tempat lain. Dengan begitu masjid tetap menjadi rumah Allah yang sejuk,
damai dan membawa berkah. []
REPUBLIKA,
19 Januari 2017
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar