Antara
Jongos dan Tuan
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dulu
penjajah Belanda memanggil pelayan atau pesuruh laki-lakinya sebagai jongos.
Dalam perkembangan kebahasaan, kemudian sebutan itu juga berlaku untuk kaum
perempuan. Tidak ada yang salah bekerja sebagai jongos karena itu merupakan
pilihan atau keterpaksaan. Tetapi, yang perlu diwaspadai adalah mentalitas
jongos dalam bentuk ABS (asal bapak senang) untuk meraih tujuan duniawi.
Saya baru
saja tamat membaca terjemahan karya Sterling Seagrave, Para Pendekar Pesisir, Sepak Terjang
Gurita Bisnis Cina Rantau (1999). Saya merasa malu sendiri,
mengapa karya penting itu menanti 18 tahun baru sempat dibaca. Itu pun atas
kebaikan Dr Jagaddhito Prabukusumo, dosen belia Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga yang menghadiahi saya buku itu sekitar Oktober 2016.
Karya ini
tergeletak begitu saja di meja selama hampir empat bulan karena tidak saya
hiraukan. Barulah pekan ketiga Januari 2017 karya itu saya lihat dan kemudian
dikunyah sampai rampung pagi Ahad, 29 Januari. Karya inilah yang mengilhami
judul tulisan ini yang membuat perasaan bergolak, marah, tetapi timbul hasrat
yang kuat untuk belajar dari Cina Rantau ini tentang bagaimana menjinakkan uang
yang sering liar di tangan gen lain, khususnya umat Islam yang gemar berdemo
untuk menyembunyikan kekalahan hampir pada semua lini kehidupan.
Kembali
sejenak kepada mentalitas jongos yang sebagian adalah hasil pendidikan
Indonesia merdeka yang akarnya dapat ditelusuri sejak ratusan yang silam dalam
bentuk kultur feodalisme yang masih berlanjut sampai hari ini. Hampir dapat
dipastikan sistem pendidikan Indonesia tidak mendorong peserta didik untuk
menjadi tuan di negaranya sendiri, khususnya di dunia bisnis. Saya sendiri,
mantan PNS, sampai batas tertentu juga mengalami mentalitas jongos itu saat
ingin naik pangkat: harus sedikit berbaik dengan atasan agar prosesnya tidak
dihambat, karena semua persyaratan telah dipenuhi.
Mentalitas
jongos ini tidak jarang diidap juga oleh sementara menteri. Demi menyenangkan
bosnya yang kebetulan jadi presiden, menteri ini sering tidak begitu fokus
dalam tugasnya karena mentalitas jongosnya mengarahkannya agar pandai-pandai
mengambil hati sang bos. Akibatnya, kementerian yang dipimpinnya menjadi
telantar karena pemborosan dana yang kemudian menjadi beban bagi penggantinya.
Ini berkali-kali terjadi yang menyebabkan negara sering tertatih-tatih menata
birokrasinya yang sampai hari ini belum juga sehat dan bersih.
Mentalitas
jongos ini dengan ABS-nya adalah virus jahat yang menjadi perintang untuk maju
karena sering berbicara tidak atas dasar fakta yang benar. Tetapi, seorang bos
feodal justru menggandrungi virus semacam ini. Perkara bangsa dan negara tidak
terurus dengan baik berada di luar perhatian utamanya. Sosok manusia macam ini
tidak pernah naik kelas dari posisi politisi menjadi negarawan.
Inilah
kekurangan Indonesia sejak menjadi bangsa merdeka tahun 1945. Ada beberapa
negarawan yang muncul, tetapi karena terlalu idealis tidak suka bertarung di
medan laga. Mereka membiarkan lawan politiknya untuk terus memimpin sekalipun
pasti akan membawa kehancuran. Bung Hatta termasuk dalam kategori ini.
Kita
lanjutkan karakter Cina perantau. Melalui petualangan panjang, berliku, dan
keras, disertai aroma harum dan aroma busuk, mereka mungkin saja jadi jongos.
Tetapi tuan dan puan jangan salah hitung. Posisi jongos itu tidak pernah
permanen, sebab yang diincarnya adalah posisi tuan, sekali lagi dalam dunia
bisnis. Thailand, Filipina, Malaysia, Indonesia, apalagi Singapura sudah
tergenggam di tangannya.
Jangan
semata salahkan perantau bermata sipit ini. Mengapa kita tidak mau belajar
kepada mereka dengan mengambil sisi-sisi harumnya semisal disiplin, kerja
keras, solidaritas, dan pantang menyerah? Sekadar berdemo, tanpa kesediaan
belajar, hanya akan memperpanjang mentalitas jongos.
Sementara
sisi busuk para perantau ini seperti, suka menipu, menyogok, curang, dan kongkalikong dengan
penguasa demi uang, jangan ditiru. Sahabat saya, Eddie Lembong, punya teori
tentang kultur penyerbukan silang. Intinya, semua suku bangsa ini harus siap
untuk saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya positif yang dimiliki
masing-masing suku, baik suku pendatang lama maupun pendatang baru.
Dan di
atas itu semua, menurut hemat saya, agar kehidupan bangsa ini aman, damai, dan
tenteram, kesenjangan sosial-ekonomi yang masih sangat lebar perlu secara
sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang dari negara perlu segera
diwujudkan. Perintah sila kelima Pancasila sesungguhnya hanya tunggal: jangan
biarkan kesenjangan ini menjadi pangkal malapetaka bagi hari depan bangsa ini.
Akhirnya,
Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di muka bumi harus menjadi tuan di
negeri ini dengan cara membuang jauh-jauh mentalitas jongos yang masih diidap
oleh sebagian kita. Jika tidak ada perubahan secara mendasar dalam sikap mental
kita, jangan berharap doa panjang akan didengar Tuhan. []
REPUBLIKA,
31 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar