Dinamika
Bhinneka Tunggal Ika
Oleh:
Salahuddin Wahid
Tidak
banyak diketahui orang bahwa Bapak Nasionalisme Indonesia menurut Bung Karno
adalah Ernest FE Douwes Dekker (Setiabudi), cucu keponakan dari Multatuli,
penulis novel Max Havelaar.
Dia pada
1912 mendirikan partai politik pertama, yaitu Indische Partij, bersama Dr
Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Partai itu punya semboyan ”Indie
voor Indische”(Hindia untuk orang Hindia).
Semboyan
itu tumbuh menjadi nasionalisme Hindia dan akhirnya menjadi nasionalisme
Indonesia, lewat Hatta dan kawan-kawan dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda
(1924). Juga melalui Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno di
Bandung.
Douwes
Dekker dan kedua tokoh itu sudah memikirkan suatu bangsa yang bukan diikat
sentimen primordial, kesamaan agama atau geografis, tetapi rasa kesetiakawanan
bangsa yang membebaskan.
Dalam
Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1
Juni 1945, Bung Karno menyampaikan gagasan luar biasa yang lalu dinamai
Pancasila.
Dalam
persidangan BPUPKI, Mr Mohammad Yamin mengusulkan istilah ”Bhinneka Tunggal
Ika” sebagai semboyan negara. Istilah itu diambil dari Kakawin Sutasoma karya
Mpu Tantular, pujangga Majapahit. Usul Mohammad Yamin disetujui semua anggota
BPUPKI.
Munculnya
Bhinneka Tunggal Ika dalam proses pembentukan UUD menunjukkan para pendiri
bangsa punya kesadaran bahwa kita terdiri dari berbagai agama, ras, etnis, suku,
dan budaya yang berbeda-beda, tetapi kita tetap memilih satu dalam bangsa yang
kita namai Indonesia.
Perlu
saling menghargai
Melihat
meningkatnya intoleransi, sejumlah antropolog khawatir bahwa kebinekaan kita
yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia kini terancam. Apa yang menyebabkan itu,
padahal sekian banyak perbedaan di dalam bangsa Indonesia sudah bisa kita atasi
meski belum semua.
Ada
perbedaan dalam aspek lain yang mungkin terlupakan ketika para pendiri bangsa
merumuskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Yang dimaksud ialah aspek perbedaan
ideologi dan pemahaman agama oleh kelompok yang berbeda. Setelah pemberontakan
PKI (1948 dan 1965) dan pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, dan
lain-lain, kita baru menyadari adanya masalah berat dalam perbedaan ideologi.
Masalah
Islam sebagai ideologi sudah kita anggap selesai ketika pada 1985 hampir
seluruh ormas Islam menerima Pancasila. Ternyata kini Islam sebagai ideologi
muncul kembali. Kelompok ini harus kita dekati dan diberi pengertian bahwa NKRI
berdasarkan Pancasila adalah pilihan terbaik, bukan NKRI bersyariah.
Akhir-akhir
ini kita melihat perbedaan tafsir yang amat kontrasterhadap Surat Al-Maidah
Ayat 51 antara kelompok Islam yang satu dan kelompok yang lain. Perbedaan itu
muncul juga dalam beberapa hal lain. Perbedaan itu sebenarnya sudah muncul
lama. Sejak Rasulullah SAW wafat, berkembang dua aliran pemikiran dalam
pembentukan metodologi hukum Islam.
Aliran
pertama berpendapat bahwa syariat Islam bersifat dogmatis, berpegang pada teks
nash murni tanpa menggunakan potensi akal. Tokoh utama aliran ini ialah
Abdullah bin Umar (610- 693 M), Ibnu Abbas (619-687 M), Talhah bin Ubaidillah
(wafat 656 M), dan Amr bin Ash (583-664 M). Imam Maliki (711-795 M) dan Imam
Hambali (780-855 M) termasuk dalam kelompok ini.
Aliran
kedua berpendapat syariat itu bersifat rasional, maka dalam menafsirkan teks
suci kita perlu mengoptimalkan potensi akal. Tokohnya adalah Abdullah bin
Mas’ud (594-663 M), Umar bin Khattab (wafat 644 M), dan Ali bin Abi Thalib
(590- 662 M). Imam Hanafi (699- 767 M) termasuk dalam kelompok ini.
Perbedaan
pemikiran itu berlanjut hingga memasuki periode tabi’in dan lahirlah ahl al
ra’yi yang pendukungnya antara lain Ibrahim al Nakha-i (wafat 717 M), Al
Alqamah (wafat 682M), dan Al Azwad bin Yazid (wafat 697M). Munculnya ahlul
ra’yi itu mempunyai latar belakang sedikitnya hadisyang diriwayatkan di negara
Irak, ditambah lagi banyaknya hadis ”maudu” (palsu) yang lahir dari berbagai
golongan yang mempunyai kepentingan.
Sebagai
informasi, Imam Bukhari hidup pada 810-870 M, 100 tahun setelah ahlul ra’yi
muncul. Di samping itu, Irak adalah negara berperadaban maju yang menjadi
tempat pertemuan sejumlah bangsa. Ini berpengaruh terhadap metodologi
pembentukan hukum. Sementara ahl al hadits adalah aliran pemikiran yang
berpegang pada teks nash dan menghindari pemahaman melalui pemikiran yang
bertentangan dengan nash.
Golongan
ini berpusat di Madinah sejak zaman Rasulullah hingga permulaan pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib.
Dalam
menyikapi pencalonan Basuki Tjahaja Purnama, terjadi debat panas di televisi di
antara kedua kelompok Islam di atas. Pertentangan itu sudah cukup lama ada dan
makin meningkat karena itu perlu dicari kesepakatan tentang perlunya sikap
saling menghargai dan tak saling menyalahkan di antara mereka.
Selain
itu, terkesan ada anggapan bahwa yang tak pro Basuki anti kebinekaan, anti
keindonesiaan. Yang pro Basuki anti Islam. Anggapan itu sama sekali tak benar.
Muslim yang memilih Basuki tetap Islam dan yang tak memilih Basuki tetap
Indonesia. Perbedaan pendapat dan perbedaan sikap itu tak harus membuat kedua
kelompok Muslimkehilangan rasa persaudaraan.
Kaya-miskin
Kita
menggarisbawahi semboyan ”perbedaan itu indah” yang ditulis dalam berbagai
spanduk, tetapi kita perlu mengingatkan bahwa ada perbedaan yang tak indah,
yaitu perbedaan amat kontras antara nasib sejumlah besar rakyat Indonesia yang
hidup di bawah garis kemiskinan dan segelintir orang super kaya yang menguasai
sebagian besar kekayaan di Indonesia.
Perbedaan
seperti itulah yang sejak lama menjadi masalah. Perbedaan kaya-miskin yang
mencolok itu seperti rumput kering yang tinggal menunggu percikan api untuk
membakarnya. Prof Amy Chua, Guru Besar di Yale Law School dalam buku World on
Fire, How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global
Instability, 2003,menyatakan, kelompok minoritas Tionghoa adalah kelompok
market dominant-minorities berkat sistem ekonomi pasar.
Ini yang
menimbulkan rasa iri hati dari kelompok mayoritas yang miskin. Kondisi demikian
amat berpotensi memicu kerusuhan etnis seperti 1963 dan 1998. Kita harus
berjuang keras untuk mengurangi kesenjangan dan meredam potensi konflik.
Terhadap
kelompok intoleran yang melakukan kekerasan berdasarkan agama, yang saling
menyebar kebencian dan kekasaran di media sosial,harus ada upaya penyadaran
secara persuasif. Kalau tidak bisa, penegak hukum harus berani bertindak tegas
sesuai ketentuan yang berlaku.
Mereka
yang berpotensidicuci otaknya oleh kelompok teroris perlu diwaspadai bersama.
Pesantren yang ditengarai berpotensi mencetak teroris perlu diawasi, tetapi
jangan mencurigai semua pesantren. Yang seperti ini tidak sampai satu per
seribu dari sekitar 28.000 pesantren. []
KOMPAS, 7
Januari 2017
Salahuddin
Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar