Mayoritas Diam
Oleh: Azyumardi Azra
Adanya mayoritas diam (silent majority) telah cukup lama menjadi
perhatian sekaligus sasaran kritik kalangan aktivis dan Indonesianis. Fenomena
ini terkait dengan kenyataan, diamnya warga mayoritas menimbulkan banyak dampak
negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks itu, pernyataan Megawati Soekarnoputri tentang
silent majority dalam peringatan hari lahir ke-44 Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), Selasa (10/1) pekan lalu, sangat tepat waktu dan perlu.
Megawati dalam pidatonya yang oratoris mengimbau, sudah saatnya silent majority
bersuara dan menggalang kekuatan untuk mempertahankan NKRI, Pancasila, UUD
1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Megawati melihat, NKRI dalam kesulitan. Salah satu kesulitan itu
adalah memelihara keutuhan eksistensi negara-bangsa (nation- state) Indonesia.
Dengan mengisyaratkan bahaya diamnya mayoritas, Megawati percaya, ”mayoritas
rakyat Indonesia mencintai NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika”.
Di sini, bagi rakyat mayoritas, mencintai saja tak cukup. Cinta
rakyat mayoritas kepada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika
mesti diekspresikan secara terbuka, khususnya ketika empat prinsip dasar
negara-bangsa Indonesia ini mendapat tantangan serius yang bisa mengancam
persatuan, kesatuan, dan keutuhan Indonesia.
Siapa sebenarnya yang dimaksud Megawati dengan rakyat mayoritas
yang diam itu? Dari sudut politik, tampaknya yang dimaksudkan adalah mayoritas
absolut dari totalitas warga yang memiliki kecintaan dan komitmen sepenuhnya
kepada negara-bangsa Indonesia dengan empat prinsip dasar UUD 1945, Pancasila,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Di luar kumpulan mayoritas ini adalah minoritas yang menolak atau
skeptis terhadap negara-bangsa Indonesia lengkap dengan keempat prinsip
dasarnya. Mereka punya orientasi ideologi transnasional dengan tujuan
menciptakan negara dalam bentuk lain, misal khilafah atau daulah Islamiyah.
Sebagai gejala sosiologis-politis sekaligus religio-politis,
kelompok minoritas ini cenderung agresif dan militan. Berkat demokrasi, mereka
dapat secara bebas menggunakan ruang publik untuk menegaskan diri, lengkap
dengan tujuan yang ingin mereka capai yang tidak sejalan dengan keempat prinsip
dasar negara-bangsa Indonesia.
Berhadapan dengan fenomena ini, warga mayoritas sebaliknya lebih
banyak bersikap pasif. Meski tidak setuju dengan ekspresi dan agenda minoritas
yang kian menguasai panggung, mereka bersikap berdiam diri.
Sikap membisu mayoritas memunculkan banyak dampak negatif.
Kebisuan mayoritas, misalnya, terlihat dalam hal korupsi yang mengakibatkan
penyakit ini tetap menjadi salah satu masalah besar dan serius. Selama berpuluh
tahun, rakyat umumnya hanya diam melihat dan mengalami korupsi yang merajalela
sejak tingkat paling bawah sampai tingkat atas birokrasi.
Alih-alih bersuara lantang menentang, mayoritas warga memilih diam
dan permisif atau merestui (condoning) serta menerima korupsi dalam berbagai
bentuknya. Hasilnya, korupsi seolah menjadi budaya yang sangat sulit
diberantas. Dampak negatif lain juga terlihat dalam kehidupan keagamaan. Banyak
bukti historis dan empiris yang memperlihatkan, kaum Muslim yang merupakan
penduduk mayoritas Indonesia adalah umat beriman yang inklusif akomodatif.
Namun, berbagai perkembangan hampir dua dasawarsa ini menunjukkan
meningkatnya sikap tidak toleran di sebagian warga atas nama agama. Intoleransi
itu meruyak, baik intra-agama maupun antar-agama.
Menghadapi gejala tidak menguntungkan ini, mayoritas umat
beragama—khususnya pemimpin arus utama—lebih banyak berdiam diri. Jika ada yang
bersuara, nadanya tidak cukup tegas dan lantang sebagai peringatan (warning)
untuk mencegah keadaan lebih buruk. Problemnya adalah mayoritas warga yang diam
menghadapi masalah dan kendala yang membuat mereka tidak bisa menembus
kebisuan. Akibatnya, mereka sering menjadi buih, terombang-ambing terseret
arus.
Banyak faktor yang membuat mayoritas lebih banyak berdiam diri.
Umumnya rakyat mayoritas lebih sibuk dengan urusan dan kegiatan sehari-hari
yang bukan tidak sering bersifat eksistensial bagi masing-masing.
Lagi pula, kebanyakan rakyat mayoritas tidak berorientasi politis
dan juga bukan aktivis politis-ideologis transnasional. Boleh jadi juga mereka
tidak terlalu paham tentang ideologi dan praksis ideologi religio-politik
transnasional. Jika cukup paham, dalam diam mereka lebih nyaman dengan realitas
politik kebangsaan yang bersifat indigenous.
Sementara di lingkungan elite kepemimpinan politik mayoritas,
sikap diam lebih banyak didasarkan pertimbangan pragmatis tentang dukungan
konstituen. Bukan tidak jarang di antara mereka malah berpihak dan merestui
pemahaman serta praksis religio- politik yang tidak sesuai dengan keempat
prinsip dasar negara-bangsa Indonesia.
Kecenderungan sama juga ada di lingkungan kepemimpinan sosial,
budaya, dan agama. Kepemimpinan agama, khususnya di lingkungan ormas arus utama
yang besar, sering lebih sibuk dengan rutinitas pengelolaan organisasi dan
berbagai lembaganya.
Kepemimpinan ormas bersifat kolektif dan kolegial juga sering
membuat tidak mudah bagi pemimpin puncak memberikan respons memadai dan tepat
terhadap dinamika dan eskalasi sosial, politik, dan agama yang dimunculkan
minoritas militan intoleran.
Dalam keadaan seperti itu, organisasi dan kelompok masyarakat
madani (civil society) menjadi sangat penting. Indonesia kaya dengan
organisasi, kelompok, dan lembaga civil society (LSM) yang bergerak dalam
advokasi demokrasi, jender, HAM, perdamaian, dan toleransi. LSM masyarakat
sipil sepatutnya kian memperkuat perannya sebagai salah satu lokomotif untuk
menarik gerbong-gerbong mayoritas dari kebisuan. []
KOMPAS, 17 Januari 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar